Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Ziarah itu berlangsung lancar. Hadi dan Mita lebih dulu pergi sambil berpegangan tangan. Mereka tidak sanggup terlalu lama menatap makam anaknya. Kemudian, Gina juga membawa Riki kembali ke mobil dengan alasan tidak enak badan. Ivan juga enggan berlama-lama di depan makam kakak ipar yang sudah menipunya. Pada akhirnya, hanya Anna yang masih tinggal di makam untuk merapikan semuanya. Dia berjongkok dan bersandar di nisan Rian. Foto Rian yang terpahat di nisan merupakan foto terbaik pria itu. Rian tersenyum menatap ke depan seperti masih hidup. Makin lama Anna menatap foto itu, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Saat masih lima tahun, Anna masih ada di panti asuhan. Dia berebut makanan dengan anak-anak lain. Saat itulah, kakaknya, Rian, datang dan menggenggam tangannya. Senyum hangat Rian waktu itu ibarat sinar mentari pagi yang menembus jendela, dan terus menerangi hidup Anna sejak saat itu. Rian dan Keluarga Roslan memberinya tempat berlindung dari hujan serta angin. Itulah sebabnya, Anna tetap bersyukur meski Keluarga Roslan tidak pernah mengistimewakannya. Sebelum kakaknya meninggal, Rian sempat memegang erat tangannya. Pria itu memintanya untuk menjaga Gina dan Keluarga Roslan, serta si kecil Riki. Anna jelas mengiakan tanpa ragu. Waktu itu, dia masih belum tahu kenapa kakaknya juga meminta maaf padanya. Tapi sekarang ... Anna bangkit berdiri dengan perasaan sedih. Saat hampir keluar gerbang makam, dia malah melihat pemandangan yang membuat kedua matanya terbelalak. Rupanya Gina mengajak Riki ke makam Keluarga Farid. Riki membungkuk memberi hormat di depan batu nisan orang tua Ivan. Dia memanggil mereka kakek dan nenek. Anak itu terlihat seperti cucu yang berbakti. Gina yang ada di sampingnya juga memberi hormat. Setelah Riki selesai memberi hormat, wanita itu menyerahkan buket bunga yang dibawanya sambil berkata dengan malu-malu, "Paman, Bibi, jangan cemas. Riki kan anak Ivan. Suatu hari nanti, aku akan membuatnya kembali ke keluarga asalnya." Darah Anna seolah membeku saat mendengarnya. Wanita yang dulu janji akan menjaga Keluarga Roslan demi kakaknya, sekarang malah bicara begitu. Dia bergegas maju dan langsung melontarkan pertanyaan, "Kak Gina, apa maksud ucapanmu? Riki itu cucu Keluarga Roslan." Riki ikut kaget. Dia menggigit bibir dan langsung sembunyi di balik lengan Gina. Gina tetap tenang dan tersenyum santai. "Anna, aku nggak sedang mengada-ada. Mana mungkin hubungan darah bisa dipalsukan?" Anna nyaris tidak memercayai apa yang barusan dia dengar. "Kak Gina, waktu kakakku nggak bisa punya anak, dia sempat mau menceraikanmu agar kamu bisa terbebas darinya. Tapi kamu sendiri yang mengusulkan untuk diam-diam memakai sperma Ivan. Setelah Riki lahir, Keluarga Roslan juga selalu baik padamu." Gina menepuk punggung Riki sambil tertawa, "Anna, semuanya sudah berubah. Jadi orang harus bisa beradaptasi. Kakakmu sudah tiada, aku tentu harus cari sandaran baru." "Ivan sangat berkuasa, apalagi aku sudah melahirkan anaknya. Kenapa aku nggak boleh memperjuangkannya? Kenapa juga kamu jadi seheboh ini? Bukannya kamu sendiri yang mengantarkan suamimu padaku secara sukarela?" Anna baru tersadar. Kedua matanya membelalak tidak percaya. "Jadi kamu bohong soal nggak bisa melakukan prosedur bayi tabung lagi?" Gina tersenyum sinis. Senyumannya terkesan mengejek. "Anna, suamimu sekarang milikku. Kalau kamu mau menuntut, silakan saja. Memangnya dia percaya padamu? Aku sih nggak jamin." Segera setelah bicara begitu, ekspresi Gina langsung berubah. Dia mengendong Riki dan mundur beberapa langkah. "Anna, Riki cuma datang ziarah. Dia bukannya nggak mengakui kakakmu sebagai ayahnya." Riki ikut menangis keras dengan suara melengking. Anak itu seperti baru diintimidasi saja. "Anna, apa-apaan kamu?" Teriakan Ivan terdengar dari belakang. Pria itu segera berlari ke arah mereka secepat kilat. Dia langsung menggendong Riki. Tatapannya dingin dan menakutkan saat melihat anak itu pucat karena menangis. "Anna, cuma karena Riki bukan anak kakakmu, kamu kira boleh memperlakukannya begini?" Anna tergagap sambil menggeleng panik, "A ... aku ... aku nggak ... Dia sendiri yang ... " Penjelasannya kalah keras dengan tangisan Riki. Gina sendiri terlihat pura-pura menyeka air matanya. "Riki memang salah. Beberapa hari ini dia terlalu lengket denganmu, wajar kalau Anna jadi marah. Tapi Riki cuma seorang anak yang kangen ayahnya." Tatapan Ivan makin terasa menusuk. "Plak!" Tamparan itu mendarat di pipi Anna hingga dia jatuh tersungkur. Pipinya terasa panas, telinganya pun berdengung. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi air matanya lebih dulu menetes membasahi wajah. Kepercayaan yang dia dan Ivan miliki sebagai suami istri dulu telah sirna. Ivan sendiri tidak menyangka dirinya bisa tega menampar Anna. Dia sampai kaget sesaat, tatapannya tampak menyesal. Gina yang menyadarinya pun langsung mencubit tangan Riki. Tangis Riki pun makin menjadi. Dia sampai melepaskan diri dari pelukan Ivan dengan tubuh gemetar. "Bibi jangan marah lagi. Aku nggak akan dekat-dekat dengan Paman lagi. Seperti katamu, Rian itu ayahku, dan aku cucu Keluarga Roslan, oke?" Sorot mata Ivan benar-benar dingin. Tidak ada lagi kehangatan di dalamnya. Dia menggendong lagi Riki dan menarik Gina mendekat. Dia lalu berjalan ke makam orang tuanya. "Ayah, Ibu, aku datang bersama cucu kalian. Wanita ini adalah ibunya, dia juga sedang mengandung cucu kedua kalian." Gina tersenyum malu-malu dan menimpali, "Paman dan Bibi nggak usah cemas. Aku pasti akan melahirkan anak ini dengan selamat." Anna termenung menatap mereka. Air matanya mengalir deras saat melihat tiga orang itu berpelukan hangat. Dia menertawakan kebodohannya sendiri yang berharap Ivan masih punya perasaan untuknya. Dia menertawakan kebodohannya sendiri yang sempat mengira bahwa cinta mereka bisa mengalahkan hubungan darah Ivan dan Riki.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.