Bab 2
Setelah Nila selesai membuat laporan polisi dan baru kembali ke rumah untuk mengemasi barang-barangnya, pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras.
Johan berdiri di ambang pintu dengan wajah gelap. Di belakangnya, Rovan dan Ryan menatapnya dengan penuh amarah, seolah-olah Nila telah melakukan kejahatan besar.
"Kamu melapor polisi dan menuduh Selvi membunuh seseorang, 'kan?" Suara Johan dingin seperti es. "Dia membunuh siapa? Kamu belum puas bikin masalah?"
Sebelum Nila sempat bicara, Rovan maju dan mendorongnya keras. "Mama jahat! Mama mau bikin Tante Selvi mati, ya?"
Ryan juga ikut berlari ke arahnya dan memukul kaki Nila dengan tinju kecilnya. "Mama jahat! Tante Selvi itu baik, kenapa Mama harus memfitnah dia?"
Nila terdorong mundur dan hampir jatuh, hingga punggungnya membentur lemari. Rasa sakit membuatnya meringis pelan.
Dengan mata memerah, dia menatap mereka dan suaranya gemetar. "Dia menukar boneka itu dengan Kevin ... itu sebabnya Kevin jatuh ke dalam minyak panas dan meninggal. Aku lapor polisi untuk menangkap dia. Apa itu salah?"
Ayah dan dua anak itu langsung terpaku.
Johan tiba-tiba tertawa dingin. "Kamu ngomong apa sih? Selvi mana mungkin melakukan hal seperti itu!"
Nila tertawa getir dan air matanya ikut jatuh. "Kalau begitu ... coba saja kamu telepon Kevin. Lihat apakah dia menjawab atau nggak."
Johan mengerutkan alis, lalu mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kevin.
"Tut ... tut ... "
Nada sambung terdengar lama, sampai akhirnya panggilan otomatis terputus.
Tidak seorang pun mengangkat.
Ekspresi Johan sedikit berubah. Saat dia baru membuka mulut ingin bicara, pintu kamar pelan-pelan terbuka.
Selvi muncul di sana. Dengan wajah pucat dan tubuh lemah, dia bersandar di pintu. "Aku dengar Kevin lagi pergi liburan kelulusan. Mungkin sinyalnya jelek, jadi dia nggak bisa menerima telepon."
Rovan dan Ryan langsung berlari ke arah Selvi, dan menopang tubuhnya dari sisi kiri dan kanan. "Tante Selvi! Kenapa kamu sudah keluar dari rumah sakit? Dokter bilang kan Tante harus istirahat!"
Selvi tersenyum lemah dan sedikit pasrah. "Aku dengar Nila lapor polisi dan menuduhku membunuh seseorang. Mana mungkin aku nggak datang menjelaskan?"
Dia menatap Nila dengan mata lembut tapi penuh keputusasaan. "Nila, aku tahu apa yang kamu khawatirkan. Meski dulu aku dan Johan saling mencintai, tapi itu sudah lewat. Sekarang kalian sudah menikah. Aku hanya bisa diam mendoakan kalian dan nggak akan pernah merusak rumah tangga kalian. Kamu sebenarnya nggak perlu memfitnahku ... tuduhan membunuh itu terlalu berat."
Rovan menatapnya penuh kekaguman. "Lihat cara Tante Selvi berpikir! Dibandingkan sama Mama, dia jelas jauh beda!"
Ryan membelalakkan mata dan mengerutkan bibir. "Kakak benar. Mama cuma pandai berbohong dan menyakiti orang lain!"
Nila gemetar marah hingga kukunya menekuk ke telapak tangan. "Kalau polisi sudah menyelidiki semuanya, kalian akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah."
"Menyelidiki?" Johan mentertawakan dengan dingin. "Kebenarannya adalah kamu memfitnah Selvi! Apa lagi yang perlu diselidiki?"
Dia menatap Nila dari atas sampai bawah, dan berkata dengan nada tegas dan tak terbantahkan. "Aku sudah menarik kasus itu dan memberi peringatan semuanya. Nggak ada satu pun polisi di seluruh Kota Bornia yang berani menangani laporanmu."
Nila menatapnya dengan tak percaya. Saat dia ingin bicara, tiba-tiba ponselnya berdering.
Itu telepon dari kantor polisi.
[Nona Nila, kasus itu sudah kami tarik ... Pak Johan yang memerintahkannya. Jadi kami nggak bisa berbuat apa-apa. Kami harap Anda bersabar. Di seluruh Kota Bornia, nggak ada yang berani menangani kasus ini.]
Setelah telepon ditutup, Nila berdiri di tempat, dan seluruh tubuhnya gemetar.
Rasa sakit, putus asa, kemarahan, dan semua emosi menekan hatinya, membuatnya nyaris pingsan seolah-olah seseorang merobek hatinya.
Namun akhirnya, dia tersenyum.
Dia tersenyum menatap suami dan anak-anaknya sampai meneteskan air mata.
Entah kenapa, hati Johan tiba-tiba terasa sesak.
Dia menurunkan nada suaranya. "Baiklah, sampai di sini saja urusan ini. Kali ini aku memang agak keterlaluan, sampai membuatmu kaget. Aku minta maaf."
Dia terdiam sebentar, lalu menambahkan, "Apa pun kompensasi yang kamu mau, aku bisa memberikannya."
Air mata Nila masih menetes, tapi tatapannya perlahan mulai dingin.
Dia mengangkat tangan menghapus air matanya, lalu berjalan ke laci. Gerakannya lambat, seolah setiap langkah adalah perpisahan dengan dirinya yang dulu.
Saat dia mengambil surat cerai, jarinya sedikit gemetar. Tapi itu bukan karena marah atau sedih, melainkan ketenangan yang melegakan.