Bab 6
Ketika dokter datang, Sharleen sedang mencuci bajunya di kamar mandi dengan ekspresi jijik.
Sementara Aditya terbaring di ranjang, wajahnya pucat dan tampak sekarat.
Mengingat laporan perawat barusan, dokter bertanya tanpa daya, "Tuan Muda Aditya, apa perlu aku kabari orang tua Anda?"
Ketika membayangkan kedua orang tuanya yang berusia enam puluhan dengan rambut beruban datang terburu-buru, Aditya hanya lemah menggeleng. Dokter menghela napas lagi, "Menurutku kalian berdua ... jangan lagi melakukan trik yang mencelakai lawan dan diri sendiri. Bagaimanapun juga, kalian berdua bukan anak kecil lagi."
Sharleen menampakkan wajah imut dengan mata berkaca-kaca dari kembali pintu kamar mandi, "Dokter, aku baru berusia dua puluh tahun, masih kuliah."
Dengan wajah polosnya, bahkan kalau dia bilang baru delapan belas pun dokter akan percaya.
Dokter tercekat sejenak, lalu berpesan, "Pokoknya, nggak peduli berapa pun umurnya, Tuan Muda Aditya masih harus dirawat. Jangan membuatnya tambah sakit. Dia alergi dengan bau durian. Tuan Muda Aditya, sebaiknya Anda fokus menyembuhkan diri sendiri dulu."
Bagaimanapun juga, usianya sudah hampir tiga puluh tahun, jangan menyusahkan diri sendiri.
Kalimat terakhir ditelan kembali oleh dokter, dia tidak berani mengatakannya.
Begitu dokter pergi, Aditya menatap Sharleen dengan ekspresi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, "Kamu baru berumur dua puluh tahun?"
"Nggak, aku berumur dua puluh dua tahun." Sharleen mencakar ambang pintu kamar mandi dan menjawab dengan jujur.
Aditya menghela napas lega. Walaupun tetap muda, setidaknya lebih tua sedikit, "Kenapa tadi bohong sama dokter?"
"Bukankah wajar saja kalau yang masih muda melakukan hal kekanak-kanakan? Aku beda denganmu, sudah tua, tapi masih nggak tahu malu." Sharleen mengedipkan matanya yang basah.
"Sharleen ...." Aditya merasa tekanan darahnya naik lagi.
"Bu Sharleen ...." Perawat melihat Sharleen dengan panik. "Jangan membuat Tuan Muda marah lagi."
"Baiklah."
Sharleen mengangguk, "Aditya, kamu masih sakit, mari berdamai untuk sementara waktu. Aku tahu kamu nggak menyukaiku, aku juga nggak menyukaimu. Tapi kamu nggak percaya. Aku bersumpah di hadapan langit, kalau aku menikah denganmu hanya demi empat ratus miliar itu."
Aditya menarik napas panjang dan menatap wanita di depannya setelah menenangkan diri.
Entah kenapa, kalimat itu membuatnya merasa tidak senang.
Maksudnya apa? Pesona dirinya kalah dibandingkan uang empat ratus miliar itu?
Sudahlah. Kalau sampai dia benar-benar jatuh cinta padanya malah jadi repot.
Bagaimanapun juga wanita yang mengejarnya selama ini sudah sangat banyak.
Saat melihatnya diam, Sharleen melanjutkan, "Seharusnya kita bisa bekerja sama. Kita punya tujuan yang sama, yaitu cerai."
Aditya setuju soal ini. Dia mengangguk, "Kamu punya ide?"
"Menurutku ... kalau ayahmu nggak mengizinkan kita cerai, berarti aku harus membuat ayahmu membenciku. Sekarang kita di rumah sakit, jadi nggak bisa bertemu ayahmu. Setelah kamu pulih dan kembali ke rumah lagi, kalau aku tinggal serumah dengan ayahmu tiap hari, aku bisa cari cara supaya dia membenciku." Sharleen menganalisis.
"Dengan sifatmu ini, tanpa perlu memikirkan cara pun, dia tetap akan membencimu," kata Aditya.
"..."
Sharleen pura-pura tidak mendengarnya, "Jadi kita berdamai saja untuk sementara, ya."
"Kamu sedang memohon padaku?" Aditya mengangkat alis.
Sharleen, "..."
Bukan, mata sebelah mana yang melihatku memohonnya?
Sebelum dia mengatakannya, Aditya mengangguk, "Kalau begitu, aku akan setuju untuk sementara."
Sharleen malas bicara lagi.
Dasar pria sombong.
"Tuan Muda Aditya, maaf kalau lancang, berapa usia Anda?"
Aditya menyipitkan mata, seakan sudah menebak maksudnya. Bibir tipisnya bergerak dan berkata, "Bukan urusanmu."
"Aku rasa Anda mungkin baru berumur delapan belas tahun." Sharleen tersenyum.
"Kamu yakin ini sikap berdamai?" Aditya melihatnya dengan dingin.
Sharleen ingin membalas, Anda sendiri juga tidak kelihatan ada sikap berdamai.
Tapi, setelah dipikir lagi, kalau sampai Aditya kenapa-kenapa di rumah sakit karena dibuat emosi olehnya, Keluarga Wirawan mungkin akan menyeretnya mati bersama.
Sudahlah, orang bijak tidak membuang waktu pada orang picik.
Sharleen kembali ke kamarnya.
...
Beberapa hari berikutnya, dia dan Aditya tidak saling bicara, juga berusaha sebisa mungkin agar tidak bertemu. Akhirnya Aditya keluar rumah sakit juga.
Sopir menjemput mereka pulang ke rumah Keluarga Wirawan.
Sharleen merasa pusing ketika teringat kalau mulai sekarang dia harus tinggal serumah dengan Tito dan Leoni, juga Arvin dan istrinya.
Sharleen awalnya berharap setelah menjadi janda, dia bisa keluar dari rumah besar mereka dan tidak akan banyak berurusan dengan Keluarga Wirawan.
Tidak disangka ... segalanya justru bergerak ke arah masa depan yang sama sekali tidak bisa ditebak.
"Ingat ucapanmu sendiri." Suara Aditya tiba-tiba terdengar di sampingnya.
"Apa?" Sharleen sempat tercengang.
Ekspresi Aditya berubah, "Kamu jangan lupa, kamu bilang akan cari cara supaya ayahku membencimu.."
Sharleen mengedipkan mata, "Tapi bukannya kamu sendiri bilang, meski aku nggak melakukan apa-apa, ayahmu tetap akan membenciku?"
Aditya mengerutkan alis, wajahnya tampak kesal.
Itu ucapannya beberapa hari lalu, kenapa wanita ini begitu pendendam?
"Sharleen, aku harap kamu pegang ucapanmu."
Aditya menghela napas panjang, lalu perlahan membuka mulut, "Aku sama sekali nggak mencintaimu. Meski kamu nggak mau pergi dari sisiku, aku tetap nggak akan melirikmu. Kalau kamu berharap bisa mewarisi hartaku setelah aku mati, maaf saja, lebih baik aku sumbangkan ke yayasan daripada memberikannya padamu."
"Kalian orang kaya apa memang semuanya aneh, merasa diri kalian seperti punya pesona yang nggak ada habisnya?"
Sharleen tidak tahan lagi dan bergumam pelan.
Suasana di dalam mobil hening, Dony yang sedang menyetir hampir tertawa lagi.
Setelah berinteraksi selama beberapa hari ini, dia menemukan kalau Bu Sharleen sangat jago membuat orang emosi.
Benar saja, wajah Tuan Muda Aditya yang terlihat dari kaca spion tampak sangat jelek.
Sudahlah, sejak bertemu Bu Sharleen, wajah tuan muda memang tidak pernah terlihat bagus.
...
Mobil memasuki halaman rumah besar.
Tito, Leoni, juga Sandra sudah menunggu sejak lama.
"Anakku, akhirnya kamu bisa pulang dengan selamat."
Leoni memerah matanya dan menggenggam tangan putranya dengan erat, "Bagaimana kondisimu? Nggak ada yang sakit, 'kan?"
"Dadaku terasa nggak nyaman." Aditya memasang wajah masam.
Leoni panik, "Kenapa dadamu bisa nggak nyaman? Sudah diperiksa dokter belum?"
"Ibu, tubuhku nggak ada masalah." Aditya melirik wanita di belakangnya. "Sakitku ini muncul tiap kali melihat seseorang."
Leoni, "..."
Sandra berkata sinis, "Wajar saja, kalau tiap hari harus ketemu orang yang nggak disukai, kalau aku pun pasti rasanya sesak."
Tito langsung melototi Sandra.
Saat ini, Sharleen maju dan berkata dengan serius, "Ayah, aku dan Aditya memang nggak ada perasaan. Waktu itu aku setuju menikah karena takut menyinggung Keluarga Wirawan. Sekarang dia sudah terlepas dari kondisi berbahaya, menurutku kami nggak perlu lagi memaksakan diri bersama."
Tito yang mendengar itu malah tersenyum puas, "Kamu anak yang jujur, bicara apa adanya, aku suka. Nggak bisa, Keluarga Wirawan nggak boleh mengecewakan anak sebaikmu. Kamu tinggal di sini saja, kalau dia nggak puas sama kamu, biar dia yang pergi."
"..."
Aditya langsung memelototi Sharleen, tatapannya hampir ingin mencabiknya hidup-hidup.
Sharleen spontan bergidik, tidak menyangka justru membuat Tito semakin menyukainya. Bukan itu maksudnya! "Ayah, aku ...."
"Sudahlah, setelah sekian lama tinggal di rumah sakit, ayo masuk makan dulu."
Tito melambaikan tangan, menyuruh pelayan membawa masuk barang bawaan mereka.
Setelah duduk di ruang makan, bibir dingin Aditya mendekat ke telinga Sharleen, "Kamu licik juga, ya."
Sharleen serasa menelan empedu pahit dan benar-benar tidak tahu harus bilang apa.