Bab 3
Orang tua aku juga ikut tersenyum.
Terutama ibuku. "Ternyata diam-diam dia memberi kejutan untuk Queny, aku kira ... "
"Gio, kamu sungguh perhatian, tapi kamu beli banyak sekali, ini terlalu boros."
Bibi Silvia membuka tas belanja itu dan melihat isinya, semuanya adalah gaun yang indah. Dia mengangguk puas. "Gio, seleramu memang bagus, pakaian-pakaian ini sangat cantik. Nanti saat kamu dan Queny mengikuti kompetisi musik, suruh Queny pakai gaun-gaun ini, dia pasti akan membuat semua orang terpesona."
Gio terus-menerus tersenyum dengan pahit, seolah-olah dalam sekejap dia akan menangis.
Aku tahu dia pasti sedang memikirkan bagaimana caranya menjelaskan hal ini pada Fany nanti.
Namun, itu semua bukan yang terpenting. Saat ini, aku lebih memikirkan tentang kompetisi musik.
Gio memang berengsek, tapi dia cukup berbakat.
Sejak kecil, dia telah menunjukkan bakat pendengaran yang unik, lagu-lagu menjadi lebih enak didengar setelah dinyanyikannya.
Bibi Silvia mendaftarkan banyak kelas musik untuknya, aku juga mendaftar untuk menemaninya.
Meskipun kami berdua belajar musik bersama sejak kecil, tapi aku tidak memiliki bakat.
Justru dia, ketika naik ke panggung untuk tampil, dia seperti sedang mengadakan konser besar.
Selama masa sekolah, banyak gadis diam-diam menyukainya, memanggilnya Pangeran Musik, bahkan menulis surat cinta untuknya.
Saat mendengar pengakuan cinta orang lain, dia akan tersenyum dan berkata, "Maaf, aku nggak bisa menerimanya, aku sudah punya Queny."
Ada yang akan bertanya padanya, "Apakah semua lagumu ditulis untuk Queny?"
Dia mengangguk dengan tenang.
Di kehidupan sebelumnya, dia mengikuti kompetisi musik dan menyanyikan lagu yang ditulisnya untuk Fany, lalu meraih juara dan menjadi terkenal hanya dalam semalam.
Kemudian, banyak perusahaan musik mencarinya untuk menandatangani kontrak, mengeluarkan banyak uang untuk membeli hak cipta lagu itu.
Dia juga terus-menerus menulis banyak lagu dan menghasilkan banyak uang.
Dan uang ini juga menjadi dasar bagi keberhasilannya dalam usahanya di masa depan.
Saat itu aku juga ikut serta, sayang ... malah tidak masuk nominasi.
Namun, di kehidupan sebelumnya, Fany bersikap kekanak-kanakan dan tidak mengizinkan Gio untuk ikut serta dalam kompetisi.
Saat itu aku tidak tahu bahwa pria ini tidak ikut kompetisi karena Fany, jadi aku bahkan dengan susah payah mencoba membujuknya, tapi dia sama sekali tidak mau mendengarkanku.
Karena tidak bisa membujuknya lagi, aku langsung memberi tahu orang tuanya.
Akhirnya, orang tuanya mengancam Gio dengan bunuh diri jika pria itu tidak ikut kompetisi.
Sekarang setelah dipikir-pikir, aku benar-benar sering ikut campur urusan orang lain.
Semua orang mengira bahwa pakaian-pakaian ini dibeli untukku, jadi orang tuaku dan Bibi Silvia mendesakku untuk segera memakainya agar kita bisa berfoto bersama dengan bahagia.
Aku sudah melihat ukurannya, pakaian ini sama sekali tidak muat untukku, jika aku memakainya, bukankah Fany akan bertengkar hebat dengan Gio?
Mungkin mereka akan putus ...
Sebaiknya kedua orang itu tetap bersama, jangan sampai putus.
aku berpura-pura tidak suka sambil melihat-lihat pakaian, lalu berkata, "Aku nggak suka baju ini! Aku juga nggak ingin memakainya! Bawa pergi saja!"
Gio melihatku dengan ragu. "Kamu nggak mau?"
Nada suaranya tidak terdengar senang, melainkan terkejut.
Karena selama bertahun-tahun ini, setiap kali dia memberiku sesuatu, aku selalu terlihat sangat menyukainya, meskipun barang-barang itu hasil sisaan dari Fany.
Ibuku menarik bajuku dan berkata dengan suara kecil, "Queny, sifatmu ini harus diubah. Gio sudah niat membelikanmu barang, kamu harus menerimanya dengan senang, kalau kamu begini dia pasti akan merasa sedih."
"Ibu, aku benar-benar nggak suka ... "
"Kamu ... "
Ibuku menghela napas, lalu tersenyum kepada Gio dan berkata, "Gio, niat baikmu sudah diterima oleh Bibi dan Queny, terima kasih, ya."
Gio mengangguk, lalu melihatku lagi, tidak tahu apa maksudnya.
Selanjutnya, Gio terpaksa berfoto bersama kami.
Selama proses itu, dia terus-menerus membalas pesan dengan tampak bingung.
Mungkin Fany marah, tapi dia tidak bisa pergi dari sini.
Dia beberapa kali bilang ingin ke toilet, tapi dilarang oleh Bibi Silvia. "Tunggu sebentar, tinggal beberapa foto lagi maka selesai."
Aku merasa kasihan padanya, jadi aku berkata, "Bibi, biarkan dia pergi dulu, untuk masalah toilet kadang nggak bisa ditahan."
"Gio, lihat itu Queny, dia selalu memikirkanmu sepanjang hari, kamu harus benar-benar menghargai wanita sebaik Queny. Setelah menikah, perlakukan dia dengan baik, mengerti nggak?"
Gio mengangguk. "Aku pasti akan melakukannya, kalau gitu aku pergi dulu!" Saat hendak pergi, dia menoleh ke arahku, tidak tahu apakah karena merasa bersalah atau karena merasa terima kasih?
Tentu saja, semua ini tidak penting.
Selama hubungannya baik-baik saja dengan Fany, maka sudah cukup.
Setelah selesai mengambil foto dan kembali ke asrama, aku berbaring di tempat tidur untuk beristirahat sejenak. Kemudian, aku bangkit lagi, mengambil gitarku dan mulai belajar dengan lebih giat.
Meskipun aku tidak memiliki bakat dalam musik, tapi kerja keras dapat menghilangkan kekurangan.
Aku berharap tidak tereliminasi dengan cepat dari kompetisi musik kali ini seperti di kehidupanku sebelumnya.
Setidaknya bertahan hingga babak terakhir, sehingga masih bisa mendapatkan hadiah puluhan juta.
Setelah belajar di perpustakaan selama beberapa hari, aku menerima pemberitahuan wawancara dari Grup Puspita.
Aku dengan gembira pergi mempersiapkan wawancara, aku juga meminta teman sekamarku untuk membantu memilih pakaian.
Weni melihat pakaian yang aku keluarkan, terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala dengan kecewa. "Queny, pakaian-pakaianmu ini semua terlihat sudah ketinggalan zaman."
Kata 'ketinggalan zaman' ini menusuk hatiku, aku berkedip. "Weni, kamu bilang ketinggalan zaman?"
"Kalau nggak percaya, tanyakan pada Joana dan yang lainnya."
Teman sekamarku lainnya juga mengangguk. "Kamu nggak boleh pergi wawancara dengan berpakaian seperti anak kecil, harus lebih dewasa."
Weni menepuk bahuku. "Wawancara adalah hal yang penting, bagaimana kalau aku meminjamkan bajuku padamu, rasanya gaun kecil bergaya Chanel ini sangat cocok untukmu."
Kemudian, dia mengeluarkan sebuah gaun berwarna biru muda dari lemari pakaiannya, gaun tersebut dirancang dengan sopan dan anggun.
"Cepat coba sana."
Aku akan mencoba.
Weni menyentuh dagunya. "Cukup bagus, terlihat seperti seorang wanita yang berbakat dan terampil. Percayalah, kamu pasti akan berhasil dalam wawancara kali ini!!"
Setelah mendengar kata-katanya, aku jadi merasa lebih percaya diri.
Aku naik taksi untuk ke Grup Puspita, aku melihat ada banyak orang, mungkin mereka semua datang untuk wawancara.
Perasaan gugup langsung meningkat di hatiku.
Siapa sangka, aku malah bertemu dengan Gio dan Fany di sini, keduanya bergandengan tangan, bermesraan di depan umum, tertawa hingga tidak bisa menutup mulut.
Orang yang tidak tahu mungkin mengira mereka berdua adalah pasangan yang sedang jatuh cinta.
Aku berpura-pura tidak melihatnya dan ingin segera pergi.
Siapa sangka Gio malah memanggilku, "Queny?!"
Sekarang aku tidak bisa pergi lagi, aku hanya bisa memaksakan sebuah senyuman. "Gio ... "
Gio mengamatiku dengan seksama. "Kapan kamu membeli baju ini? Kenapa sebelumnya aku nggak pernah melihatmu memakainya? Cukup bagus."
Fany langsung memutarkan bola matanya dengan kesal.
Aku memang belum pernah berpakaian seperti ini, hari ini adalah pertama kalinya.
Aku berkata dengan jujur, "Ini punya teman sekamarku, aku meminjamnya, tapi aku rasa gaya ini nggak cocok untukku."
"Kenapa kamu meminjam baju teman sekamarmu?"
"Ini ... " Aku merasa sedikit panik, tersenyum canggung, karena aku sudah berjanji untuk bergabung dengan Grup Cempaka, tidak disangka sebelum bergabung dengan Grup Puspita, aku harus mengungkapkan hal ini lebih awal.
Namun, biarlah terungkap!
Lagi pula, aku juga tidak takut.
Aku tersenyum dan berkata, "Aku datang untuk wawancara, aku nggak punya pakaian yang sesuai, jadi aku meminjamnya dari teman sekamar."
"Wawancara?" Gio merasa terkejut, bahkan ekspresi Fany juga tampak menjadi kaku.
"Queny." Gio mengernyitkan dahi, mulai menyalahkanku. "Kita bukannya sudah sepakat untuk masuk Grup Cempaka bersama? Kenapa kamu jadi ingkar janji? Diam-diam wawancara di perusahaan pamanku tanpa sepengetahuan dariku."
"Kamu benar-benar keterlaluan!"
Aku merasa hal ini konyol, bukankah dia duluan yang menipuku?
Kenapa dia yang jadi korban?
Aku berpura-pura merasa bingung dan berkedip. "Kalau gitu apa yang kalian lakukan di sini?"