Bab 1
Dokter yang baru kembali ke negara asalnya, Celine Kurnia, bertaruh dengan rekan sesama dokter bahwa dia bisa menyelesaikan operasi bypass jantung hanya dengan satu tangan.
Namun operasi itu gagal. Merasa malu, Celine langsung melempar alat bedah dan lari keluar dari ruang operasi.
Ibu Nadine justru jatuh koma dan tidak bisa bangun akibat kesalahannya.
Kakak Nadine, yang merupakan seorang pengacara, menggugat Celine. Namun hanya dalam dua hari, izin praktik hukumnya dicabut, dan dia dipenjara selama tiga tahun atas berbagai tuduhan seperti pemalsuan bukti, penyuapan, dan pencemaran nama baik.
Dia mengajukan laporan dengan identitas asli, namun justru data pribadinya disebarkan ke publik, membuatnya menjadi target serangan dan gangguan dari para netizen.
Sosok yang berada di balik semua ini adalah Gian Santoso, suami Nadine yang sudah menikah dengannya selama tujuh tahun. Dia adalah pria berkuasa yang pengaruhnya mencengkeram seluruh ibu kota.
Di rumah sakit.
Tanda-tanda vital ibu Nadine terus menurun, dan alat-alat monitor tak henti berbunyi memberi peringatan.
Nadine menekan tombol panggil berkali-kali, mencari dokter ke segala penjuru, tetapi tidak ada satu pun yang datang.
Dia panik dan hampir putus asa. Pada saat itulah, Gian muncul di depan pintu ruang perawatan, mengenakan setelan khusus, tampak angkuh dan berwibawa. Dia menyodorkan ponselnya kepada Nadine.
"Aku sudah mencabut laporan polisi. Rekam video permintaan maaf dan umumkan ke publik. Setelah itu, ibumu bisa langsung dioperasi."
"Kamu mau ibumu koma atau mati, pilih salah satu."
Suaranya rendah dan tenang, namun tatapan matanya tajam, seolah tak memberi ruang untuk penolakan.
Mata Nadine yang memerah terbelalak, tubuhnya bergetar hebat. Pada akhirnya, dia hanya mampu berkata dengan suara gemetar.
"Kenapa?"
Dia benar-benar tidak mengerti...
Mengapa Gian, suaminya sendiri, justru membela Celine daripada dirinya?
Nadine tak bisa menahan air matanya. Ini kedua kalinya dia menangis di depan Gian.
Yang pertama kali adalah saat mereka menikah.
Gian sempat terlihat goyah. Tangannya refleks terangkat, seolah ingin menghapus air mata Nadine seperti biasanya, namun berhenti di tengah jalan. Dia mendadak kaku, lalu menarik tangannya kembali dengan canggung.
"Nadine ... Celine itu tumbuh besar bersamaku. Masalah operasi itu benar-benar kecelakaan. Bahkan kalau dia nggak melakukannya dengan satu tangan, keadaan ibumu mungkin tetap nggak tertolong."
"Sekarang internet sudah penuh dengan berita yang menyerang dia. Tolong, menurutlah sedikit saja. Rekam video dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itu semuanya selesai. Dokter-dokter sudah menunggu di ruang operasi. Dan setelah operasi selesai, aku akan bantu keluarkan kakakmu dari tahanan, oke?"
Nada suara Gian terdengar seperti sedang bertanya, tetapi dari sorot matanya terlihat jelas bahwa dia tidak memberi ruang untuk penolakan.
Bisakah Nadine menolak?
Apakah dia punya hak untuk berkata tidak?
Jika dia tidak setuju ... apakah orang berikutnya yang akan dipenjara, atau bahkan dibuat koma, adalah dirinya?
Hatinya terasa hampa dan dingin.
Selama tujuh tahun pernikahan mereka, Gian selalu memanjakan Nadine. Dia tak pernah sekalipun membentaknya. Apa pun yang Nadine lihat atau sebut, tak peduli semahal atau sesulit apa, keesokan harinya pasti sudah ada di tangannya.
Nadine selalu percaya bahwa Gian adalah tempatnya bersandar.
Sejak ibunya mengalami kejadian itu, Nadine sudah berkali-kali memohon bantuan Gian, tetapi Gian selalu menunjukkan ekspresi ragu, seolah ingin bicara tetapi menahan diri.
Awalnya Nadine mengira Gian memang tidak bisa ikut campur. Baru belakangan dia sadar ... alasannya adalah Celine, dan Gian tidak tega menentangnya.
Setelah lama menunggu tanpa mendapat jawaban, kesabaran Gian akhirnya habis.
"Kalau kamu nggak setuju, ibumu nggak akan bertahan hari ini. Dan kakakmu ... akan selamanya tetap di penjara."
"Nadine, jangan salahkan aku bertindak kejam. Celine sudah tumbuh besar bersamaku sejak kecil. Dialah yang dulu menarikku keluar dari kondisi autisme. Aku pernah berjanji akan melindunginya selamanya. Jadi, nggak ada yang bisa menghalangi ... bahkan kamu sekalipun."
Begitu kata-kata itu keluar, tubuh ibu Nadine di ranjang tiba-tiba mulai kejang.
Alarm mesin medis berbunyi nyaring tanpa henti.
Beberapa dokter bergegas masuk dari pintu dan langsung mendorong ranjang ibunya keluar dari ruangan.
"Ibu!"
Nadine langsung bangkit dari sisi ranjang, ingin mengejar ibunya, tetapi Gian menahannya.
"Rekam videonya. Baru kemudian ibumu bisa dioperasi."
Nadine menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Gian ... apa kamu sudah nggak punya hati?"
Gian menepis tangannya, alisnya mengerut, dan amarah dari tubuhnya seakan mengimpit seluruh ruangan.
"Aku kasih kamu tiga puluh detik untuk berpikir."
Dada Nadine terasa membeku.
Untuk pertama kalinya, dia merasa pria itu begitu asing dan begitu menakutkan.
Semua kasih sayang di masa lalu seolah hanya ilusi yang dia ciptakan sendiri dan tak pernah benar-benar terjadi.
Dulu, Nadine adalah sekretaris Gian.
Demi mendapat hatinya, Gian pernah menulis 99 surat cinta dan mengirimkan 999 buket bunga. Barulah Nadine luluh dan mencoba menerima perasaannya.
Selama dua tahun mereka berpacaran, Gian melakukan segala hal yang dia bisa hanya untuk membuat Nadine tetap tinggal di sisinya.
Saat pertama kali memasuki kalangan orang-orang berpengaruh, Nadine pernah dihina oleh para pewaris keluarga kaya, dicemooh karena latar belakangnya yang sederhana. Namun, Gian langsung berdiri di pihaknya. Di sebuah acara lelang, dia membeli semua barang lelang hanya untuk memberikannya pada Nadine, dan secara terbuka mengakui hubungan mereka.
Saat Nadine diganggu oleh orang lain, Gian rela meninggalkan proyek bernilai miliaran dan datang sendiri demi membelanya.
Ketika Nadine tidak enak badan, dia sanggup menempuh ribuan kilometer hanya untuk pulang dan merawatnya secara langsung.
Latar belakang keluarga Nadine terlalu sederhana, dan keluarga Gian tidak menyetujuinya. Mereka menuntut Gian untuk putus dan bertunangan dengan sahabat masa kecilnya, Celine.
Gian mati-matian melawan. Dia pernah dikurung, pernah dikirim ke luar negeri, tetapi tetap tidak mau menyerah. Bahkan demi membuat keluarga menyetujui pilihannya, dia rela melepaskan statusnya sebagai calon pewaris keluarga.
Akhirnya, keluarga Gian menyerah dan mereka pun menikah.
Nadine sempat mengira setelah melewati begitu banyak rintangan, mereka akhirnya bisa hidup bersama selamanya. Sampai setahun yang lalu, ketika Celine kembali ke negara itu setelah menyelesaikan studi di luar negeri, semuanya berubah.
Celine terbiasa manja dan angkuh, dan Gian selalu menuruti serta memanjakannya.
Dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-harinya, Gian sering membantunya.
Setiap kali Celine gagal dalam melakukan operasi, Gian yang khawatir dia akan menghadapi keributan dengan keluarga pasien, mulai menjemput dan mengantar Celine setiap hari, termasuk saat jaga malam. Meski sudah begitu, Gian tetap tidak tenang. Tanpa berdiskusi dulu dengan Nadine, dia bahkan membawa Celine pulang untuk tinggal di rumah mereka.
Tiga bulan lalu, ibu Nadine dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Demi membuktikan kemampuannya, Celine bersikeras ingin mengoperasinya sendiri. Bahkan dia sempat bertaruh dengan dokter lain yang baru kembali ke negara itu, dia bisa menyelesaikan operasi hanya dengan satu tangan.
Malam itu, ibu Nadine memang dibawa masuk ke ruang operasi.
Namun ketika Nadine mendapat kabar dan buru-buru datang ke rumah sakit, yang dia lihat justru Celine berlari keluar sambil menangis. Di belakangnya, beberapa dokter panik mencoba menyelamatkan keadaan, tetapi tetap saja, ibu Nadine akhirnya menjadi koma.
Nadine memohon bantuan Gian.
Namun Gian selalu menghindar setiap kali Nadine meminta bantuan. Dia hanya diam menyaksikan Nadine tersiksa dan hancur sedikit demi sedikit.
Tiga bulan penuh Nadine berjuang, tetapi Celine tidak pernah mendapat hukuman apa pun. Sebaliknya, Nadine justru kehilangan hampir seluruh keluarganya dan kakaknya pun dipenjara.
"Nadine, apa sudah kamu pikirkan?"
Gian mengerutkan kening, nada suaranya penuh ketidaksabaran. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. "Ibumu nggak bisa menunggu lebih lama."
Nadine benar-benar putus asa.
Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dibendung. Dengan tangan gemetar, Nadine meraih ponselnya sambil menggigit bibir kuat-kuat.
"Aku ... aku akan rekam videonya. Aku nggak akan menuntut lagi. Apa pun yang kalian minta, aku setuju ... Tolong selamatkan ibuku. Dia benar-benar nggak boleh kenapa-kenapa ... "
Saat mengambil ponsel itu, tangan Nadine bergetar hebat.
Gian dengan lembut menyeka air matanya, lalu membukakan aplikasinya dan menyiapkan perekaman untuknya.
Dalam video berdurasi tiga puluh detik, Nadine menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut dan mengakui bahwa semua itu hanyalah kecelakaan.
Setelah selesai dan menyerahkan ponselnya kembali, Nadine bertanya dengan suara lemah, "Sekarang ... Ibu bisa dioperasi, 'kan?"
Gian akhirnya mengangguk pelan.
"Mulai ... "
Belum sempat kata-katanya selesai, tiba-tiba dari dalam ruang operasi terdengar suara Celine. "Ah ... kepalaku pusing..."
Belum sempat siapa pun bereaksi, tubuhnya langsung limbung dan jatuh.
Mendengar suara itu, Gian panik. Dia segera berlari masuk, merangkul tubuh Celine, dan buru-buru membawanya keluar. Para dokter yang berjaga pun langsung mengerumuninya, meninggalkan ibu Nadine terbaring sendirian.
Alarm medis terus berbunyi nyaring. Air mata Nadine mengalir deras seketika. Dia berteriak histeris seperti orang kehilangan akal, "Jangan pergi! Tolong selamatkan ibuku dulu!"
"Gian! Kamu bilang akan selamatkan ibuku! Kamu nggak boleh pergi!"
Nadine berlari menghalangi jalan Gian, berusaha menghentikannya. Tapi di mata Gian, hanya ada Celine. Tanpa melirik Nadine sedikit pun, dia membawa para dokter masuk ke ruang sebelah dengan panik.
Langkah para dokter dan perawat yang tergesa-gesa tanpa sengaja menabrak dan menginjak Nadine. Rasa sakit yang menusuk membuatnya bahkan sulit mengeluarkan satu kalimat utuh.
Semua sudah terlambat.
Nadine menangis sejadi-jadinya dan seluruh tubuhnya gemetar. Dia jatuh berlutut di depan Gian, tidak peduli harga dirinya, namun justru ditendang menjauh oleh lelaki yang sudah dikuasai kepanikan.
"Celine, jangan takut. Aku datang sekarang!"
Untuk melepaskan diri darinya, Gian menendang Nadine dengan sangat keras hingga tubuh Nadine terpental, dan kepalanya menghantam dinding dengan keras.
Dalam pandangan yang berputar, tatapannya tepat jatuh pada sosok ibunya yang sudah sekarat di atas ranjang rumah sakit.
Hatinya serasa remuk menjadi serpihan-serpihan kecil.
"I ... Ibu!"
Suara benturan kepalanya di dinding membuat Gian menoleh sekilas ke arah Nadine.
Dia kemudian menunjuk ke arah ruang perawatan dan memerintahkan dua dokter magang untuk masuk ke kamar ibu Nadine.
"Ibumu nggak akan mati. Apa yang sudah kujanjikan, akan tetap kulakukan.
"Tapi sekarang, nggak ada yang boleh menghalangiku untuk menyelamatkan Celine."
Ucapan Gian membuat pandangan Nadine mulai menggelap.
Sebelum akhirnya kehilangan kesadaran, hanya satu hal yang terus berputar di kepalanya.
Dia harus pergi.
Dia harus menghilang sepenuhnya dari dunia Gian, dan tidak pernah lagi bertemu dengannya seumur hidup.