Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Di depan pintu sekolah. Di depan begitu banyak orang tua ... Anakku yang lahir dari rahimku sendiri berulang kali membantah bahwa aku adalah ibunya. Dia justru menegaskan bahwa Jenny adalah ibunya. Meski hatiku sudah penuh luka dan berdarah-darah ... Aku tetap berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa dia masih kecil, dan sama sekali tidak tahu akibat dari ucapannya itu. "Sandi!" "Aku kasih kamu satu kesempatan lagi untuk memilih!" "Lihat aku dengan baik, tenangkan dirimu, pikirkan dengan matang. Antara aku dan dia, siapa yang seharusnya kamu pilih!" Semua orang menoleh ke arah Sandi. Sandi bersembunyi di belakang Jenny, menempelkan dahinya ke punggungnya. "Tentu saja aku pilih mamaku yang ini." Begitu kata-katanya selesai, Jenny langsung menatapku dengan tatapan aneh, lalu memeluk anak itu dan berniat pergi. "Dasar orang gila." Tentu saja aku tidak bisa membiarkan dia pergi. Aku buru-buru ingin mengejar dan mengadang mereka. Tapi seseorang berdiri menghalangi jalanku. Aku mulai kehilangan kendali. "Aku harus mengejar anakku, kalian jangan menghalangiku!" Suara-suara ramai terdengar dari segala arah, semuanya penuh dengan cemoohan terhadapku. "Zaman sekarang, modus penculik anak sudah sampai segila ini ya?" "Ya, lihat ekspresinya yang panik itu. Kalau nggak tahu, orang bisa saja benar-benar mengira dia ibu kandungnya." "Nggak akan ada yang bilang dia bukan ibu kandungnya!" "Sepertinya kita semua harus lebih hati-hati mulai sekarang!" Aku tertegun mendengarnya. Tatapan jijik mereka tertuju padaku. Aku sudah tidak sempat lagi peduli. Aku hanya berusaha sekuat tenaga untuk mengejar mereka. Tapi ke mana pun aku berlari, selalu ada orang yang mengikuti dan mengadangku. Hingga akhirnya ... Polisi datang. Jenny juga sudah menghilang tanpa jejak. Orang-orang yang tadi menghalangi jalanku akhirnya menyebar. Beberapa warga yang "bersemangat" berlari ke arah polisi untuk mengadu, "Pak Polisi, lihat betapa nekatnya penculik anak zaman sekarang!" "Dia datang ke depan gerbang TK, bukan cuma rebutan anak dengan ibu kandungnya ... " "Tapi juga mengejarnya meski ibu kandungnya sudah lari sambil menggendong anak itu." "Kalau bukan karena kami yang mengadangnya, mungkin dia sudah berhasil bawa kabur anak itu!" Aku tertegun mendengarnya. Aku tak pernah menyangka, saat aku datang sendiri ke gerbang TK untuk menjemput anakku ... Anakku justru bisa dibawa pergi oleh Jenny tepat di depan mataku. Aku hanya berdiri terpaku di tempat, tak percaya. Polisi berjalan mendekatiku. "Ada yang melaporkan bahwa kamu adalah penculik anak. Mohon ikut kami ke kantor polisi." Tidak ada gunanya mengejar lagi. Aku hanya bisa bekerja sama dengan polisi. "Baik." ... Sesampainya di kantor polisi, dan setelah identitasku dikonfirmasi, pihak kepolisian dengan cepat menemukan bahwa Sigit Permana adalah suamiku. Dan Sandi Permana adalah anakku. Pihak mereka jelas tidak menyangka hasilnya akan seperti ini, dan segera meminta maaf padaku. "Maaf, kami telah salah paham terhadapmu ... " "Sebenarnya ini bukan salah kalian juga," kataku. Namun air mata tetap saja mengalir tanpa bisa dikendalikan. "Bahkan aku pun nggak pernah menyangka ... " Anakku. Anak yang telah kuasuh dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang ... Dia justru dengan sengaja memanggil wanita lain sebagai mamanya, lalu pergi bersama orang itu. Saat melihatku menangis, polisi segera mencoba menenangkanku. "Anak-anak memang belum mengerti apa-apa." Mereka terus mencoba bicara, tapi tak tahu lagi harus menenangkan dengan cara apa. Mereka sudah sering melihat anak-anak yang nakal dan belum mengerti apa-apa. Tapi ini baru pertama kalinya mereka melihat anak seperti Sandi yang sama sekali tidak mengakui ibunya. Dengan hati hancur dan jiwa kosong, aku berniat pergi. Melihat keadaanku yang tidak baik, polisi mendekat dan menawarkan bantuan. "Perlu kami antar pulang?" "Nggak perlu." ... Aku tidak tahu di mana rumah Jenny berada, jadi kalau ingin menjemput kembali Sandi, aku hanya bisa menemui Sigit. Sekalian, aku juga ingin bertanya pada Sigit ... Kenapa guru-guru di taman kanak-kanak tidak mengenaliku. Tapi mereka justru mengenal Jenny. Kantor Sigit tidak terlalu jauh dari kantor polisi, hanya sekitar sepuluh menit perjalanan. Aku menghentikan sebuah taksi, lalu menyebutkan alamat kantor Sigit pada sopir. Setelah itu, aku duduk diam di kursi belakang, menoleh, dan menatap keluar jendela. Awalnya kupikir sepuluh menit perjalanan ini cukup untuk menenangkan diriku. Tapi semakin kupikirkan di sepanjang jalan, hatiku justru semakin sesak. Air mata yang tadi sudah susah payah kutahan, kembali mengalir jatuh. Apakah Sandi benar-benar begitu menyukai Jenny? Sampai-sampai ... Dia rela meninggalkan ibu kandungnya sendiri? Setibanya di kantor Sigit, aku tak berhenti sedikit pun dan langsung menuju ruangannya. Tepat saat hendak mendorong pintu masuk, aku mendengar suara orang-orang di dalam sedang membicarakanku. "Annika sekarang sudah tua dan jelek, benar-benar ibu rumah tangga kusam yang nggak menarik. Selain karena dia baik hati dan mencintaimu, nggak ada satu pun hal dalam dirinya yang pantas bersanding denganmu." "Ya, coba lihat Jenny. Usia mereka sama, tapi dia berdandan seperti gadis dua puluhan." "Dan lihat juga soal kepribadian. Annika tiap hari cuma di rumah, dan pikirannya cuma soal pekerjaan rumah. Pasti dia kaku dan membosankan." "Jenny beda. Dia ceria, terbuka, dan penuh semangat menjalani hidup!" "Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan memilih cerai dari Annika dan hidup bersama Jenny." Langkahku terhenti. Di mata teman-teman Sigit, apakah aku benar-benar seburuk itu? Seseorang tampaknya mendekat ke arah Sigit dan bertanya, "Bro, sebenarnya gimana sih perasaanmu?" "Kalau kamu memang nggak suka Jenny lagi, kita siap-siap deketin dia, nih!" Nada suara mereka dipenuhi antusiasme yang tak tersembunyi, cukup untuk membuktikan bahwa pesona Jenny tetap tak berkurang sedikit pun meski dia sudah bercerai dan membawa seorang anak. "Hehe." Suasana langsung hening. Semua orang diam, menunggu jawabannya. Suara Sigit terdengar dingin luar biasa. "Aku bersama Annika semata-mata karena waktu itu Jenny meninggalkanku." "Dan Annika, karena cintanya padaku, dia datang menemuiku dari tempat yang sangat jauh." "Di saat aku berada dalam keputusasaan terdalam, dia seperti jerami penyelamat saat aku hampir tenggelam ... " "Dia juga seperti cahaya yang muncul di depan mata saat aku berjalan sendirian dalam kegelapan." "Aku benar-benar sangat berterima kasih padanya." "Sebelum Jenny kembali, aku selalu berpikir bahwa aku akan menjalani sisa hidupku bersama Annika." Suasana di dalam kantor begitu hening. Bahkan aku bisa mendengar napas orang-orang di dalam ruangan. Jadi ... Alasan Sigit memilih bersamaku ... bukan karena dia mencintaiku? Tapi karena saat itu, dia ditinggalkan oleh Jenny? Dan aku ... kebetulan saja muncul di saat yang tepat? Hati yang sudah penuh luka ini, kembali disayat lebih dalam, lebih perih ... hanya karena kata-katanya. Rasa sakitnya nyaris membuatku pingsan. "Kalian tahu nggak?" Suara Sigit terdengar begitu tenang, bahkan dingin, penuh rasionalitas. "Aku selalu mengira, setelah sekian tahun berlalu, aku sudah melupakan Jenny." "Padahal dulu aku sangat mencintainya. Bahkan sebelum menikah, aku masih menulis surat, memohon padanya untuk kembali padaku. Dia menolak, tapi aku tetap meneleponnya ... " "Waktu itu, asalkan dia mengucapkan satu kata saja, aku bisa langsung membatalkan pernikahanku." "Tapi saat Jenny kembali muncul di hadapanku, aku tiba-tiba sadar, ternyata semua nggak seperti yang kupikirkan." "Aku masih mencintainya." Semua keraguanku, terjawab tuntas lewat kata-katanya barusan. Ternyata ... Meski kami sudah menikah selama bertahun-tahun, meski aku telah diam-diam memberikan segalanya untuknya selama ini ... Orang yang dia cintai sekarang ... tetap saja Jenny. Sungguh naif diriku. Aku sempat berpikir bahwa selama aku tak mempermasalahkan masa lalu, kehidupan kami bisa kembali seperti dulu ... Dengan panik aku mengusap air mataku. Seseorang bertanya, "Kalau begitu, kenapa kamu nggak menceraikan Annika?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.