Webfic
เปิดแอป Webfic เพื่ออ่านเนื้อหาอันแสนวิเศษเพิ่มเติม
Tukar Nasib, Tukar HatiTukar Nasib, Tukar Hati
โดย: Webfic

Bab 2

Saat Jason mengangkat matanya, Jane bisa melihat sorot tatapan pria itu yang ternyata tampak begitu kelam. Ekspresi Jason tetap terlihat datar walaupun terpergok sedang dalam posisi seperti itu. Mungkin itu karena sebelumnya Jason adalah orang yang berdiri di posisi atas. Jason menyelipkan foto Nadia ke bawah bantalnya dengan tenang, jemarinya yang ramping membetulkan ritsleting celananya dengan santai. Hanya dalam hitungan detik, Jason sudah kembali ke pembawaannya yang acuh tak acuh itu seolah-olah pria yang barusan lepas kendali itu hanyalah ilusi. Jane pun mencibir, "Nggak takut merasa nggak enak kalau nggak jadi meluapkan semuanya? Mau kubantu?" Ekspresi wajah Jason tetap datar, dia mencondongkan tubuhnya sedikit dan menjauh dari Jane. "Ada apa mencariku, Nona?" Jason selalu seperti ini. Padahal dia tergoda dengan foto Nadia, tetapi dia selalu bersikap sok suci saat berhadapan dengan Jane. Jane mengepalkan tangannya dengan begitu erat, wajah polos Nadia terbayang dalam benaknya …. Jelas-jelas Nadia tidak secantiknya, tetapi semua orang tertipu oleh kesan polos perempuan itu. Tidak jadi masalah. Jane cantik, kaya dan memiliki tubuh yang menawan. Mulai hari ini, Jane tidak akan menginginkan mereka yang tidak menyukainya. "Besok ada lelang, ikut aku," kata Jane dengan dingin, lalu berbalik badan dan berjalan pergi. Jason mengernyit. "Seingatku aku sudah minta libur dua hari ...." "Katanya Nadia juga akan ikut," sahut Jane tanpa menoleh. Jason terdiam sesaat, lalu akhirnya menjawab dengan suaranya yang rendah, "Baik, Nona." Rasanya hati Jane seperti ditusuk-tusuk jarum. Benar saja, begitu nama Nadia disebut, Jason langsung luluh. Tenanglah. Sebentar lagi, Jane akan segera mengirimkan Jason sendiri ke tangan Nadia. Keesokan paginya, begitu Jane keluar dari vila, dia melihat Jason berdiri menunggunya di dekat mobil. Setelan jas hitamnya menonjolkan bentuk tubuhnya yang sempurna dengan bahu lebar dan pinggang ramping. Sinar mentari pagi juga menyorotkan semburat keemasan pada sosoknya yang berpembawaan dingin itu. Jane yang dulu pasti akan selalu menggoda Jason atau berpura-pura pergelangan kakinya terkilir sehingga terjatuh ke dalam pelukan Jason atau sengaja meniup telinga Jason dengan kesan menggoda. Namun, hari ini Jane langsung masuk ke dalam mobil dengan wajah tanpa ekspresi dan tanpa melirik Jason sedikit pun. Jason refleks menatap Jane sedikit lebih lama dengan kaget, tetapi segera mengalihkan pandangannya dan duduk di kursi samping pengemudi dalam diam. Mobil pun melaju menuju tempat pelelangan. Jane terus memandang ke luar jendela. Tidak seperti biasanya, Jane tidak berusaha mengajak Jason mengobrol dengan melemparkan berbagai macam topik. Suasana di dalam mobil terasa begitu senyap sampai-sampai deru napas masing-masing rasanya bisa terdengar. Pelelangan diadakan di hotel termahal di pusat kota. Aula acara tampak seterang siang akibat disinari oleh lampu kristal. Semua yang hadir berpakaian rapi, termasuk para selebriti dan pejabat yang berkuasa. Begitu Jane masuk, dia langsung melihat Nadia berdiri di depannya. Nadia tampak mengenakan gaun putih, rambut hitam lurus panjangnya terurai di bahu. Dia sedang mengobrol sambil tertawa dengan beberapa sosialita, pembawaannya terlihat begitu polos dan tidak bercela. Sorot tatapan Jason langsung berubah. Meskipun dia masih berdiri di belakang Jane untuk menjalankan tugasnya sebagai pengawal, Jane dapat merasakan bahwa segenap perhatian Jason kini sudah tertuju kepada Nadia. "Kak!" Begitu melihat Jane dan Jason, Nadia segera berlari mendekat dan menggandeng lengan Jane dengan penuh kasih sayang. "Pas banget, ya! Ternyata Kakak juga hadir di pelelangan ini?" Jane langsung menarik tangannya dengan dingin. "Jangan sentuh aku." Mata Nadia sontak menjadi berkaca-kaca, dia menatap Jason dengan sedih. "Kak Jason, aku cuma mau lebih dekat dengan kakakku ...." Jason sedikit mengernyit menatap Jane, ada kesan jijik yang tersirat dalam pandangannya. Nadia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik lengan baju Jason sambil berkata, "Kak Jason, katanya waktu aku demam dan ingin makan kue kacang merah, Kak Jason rela membelinya di tengah malam walau lagi hujan dan mengirimkannya ke rumah Keluarga Ramana? Sayang banget waktu itu aku demam parah dan baru mulai sembuh belakangan ini, jadi aku belum sempat mengucapkan terima kasih." Kernyitan Jason langsung menjadi lebih rileks. "Nggak usah sungkan, Nona Nadia, waktu itu sekalian jalan kok." Sekalian jalan? Jane langsung mencibir. Hari itu Jason menghilang selama lima jam dan pulang dalam kondisi basah kuyup. Itu yang dia sebut "sekalian jalan"? "Kalau gitu, aku traktir makan, ya!" kata Nadia dengan manis. "Silakan Nona Nadia atur," jawab Jason tidak menolak. "Kalau gitu, nanti sekalian ajak Kakak saja!" Nadia menatap Jane, lalu mendadak berkata dengan heran, "Loh, Kak? Kok Kakak terlihat lesu banget? Jelas-jelas aku yang sakit ...." "Memangnya kita saling kenal?" sela Jane dengan dingin. "Tahu posisi ya, dasar anak selingkuhan." Ekspresi Nadia sontak berubah, Jason juga kembali mengernyit. Tepat pada saat itu, si juru lelang mengumumkan dimulainya pelelangan dan menyela percakapan yang canggung itu. Jane terlalu malas untuk memperhatikan dan duduk di tempatnya. Karena dia akan menikah dengan Keluarga Adijaya, tentu saja dia tidak berharap Hadi akan menyiapkan mas kawin untuknya. Tujuan Jane datang ke pelelangan ini sebenarnya karena dia tahu harus mempersiapkan semua hal terkait pernikahannya sendiri. Setelah duduk, barang pertama pun dipresentasikan. Sebuah kalung batu rubi berwarna merah dan dibuka dengan harga dua miliar. Jane langsung mengangkat papan tandanya tanpa ragu. "Empat miliar." Di luar dugaannya, Nadia juga mengangkat papan tandanya. "Enam miliar." Jane menatap Nadia yang sedang balas tersenyum kepadanya. "Kak, aku juga suka kalung itu. Kakak keberatan nggak memberikannya padaku? Lagian, uang saku yang Ayah kasih ke Kakak 'kan nggak sebanyak aku." Jane langsung tersenyum dengan dingin. Uangnya tidak sebanyak milik Nadia? Sejak kecil, Hadi selalu memberikan Nadia uang saku sebanyak sepuluh miliar setiap bulannya sedangkan Jane hanya diberikan satu juta. Jane mungkin sudah mati kelaparan sejak dulu jika bukan karena harta warisan ibunya. Akan tetapi, sekarang berbeda. Jane memiliki 20 triliun. "Delapan miliar." Jane mengangkat papan tandanya lagi. Nadia sontak tercengang, tetapi dia menggertakkan giginya dan menawar lebih tinggi lagi. "Sembilan miliar." "Sepuluh miliar." "Sebelas miliar." Setelah beberapa kali tawar-menawar, raut wajah Nadia menjadi makin tidak enak dilihat. "Kak, Kakak dapat uang sebanyak itu dari mana? Kakak nggak takut nggak sanggup beli?" "Dua puluh miliar!" Jane langsung menggandakan jumlah penawarannya, lalu menatap Nadia sambil tersenyum sinis. "Kayaknya sekarang aku merasa kamu deh yang nggak sanggup beli?" Wajah Nadia sontak memucat, para tamu pelelangan di sekitar juga mulai berbisik-bisik. Akhirnya, si juru lelang bertanya dengan sopan, "Nona Nadia, apa Nona ingin menaikkan tawaran Nona?" "Tunggu sebentar." Nadia buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan kepada Hadi. Beberapa saat kemudian, ekspresinya menjadi lebih tidak enak dilihat. Sudah pasti Hadi menolak permintaannya. Jane pun tersenyum puas. Tentu saja Hadi pasti menolak. Setelah memberi Jane 20 triliun, mana mungkin Hadi masih punya uang untuk menyelamatkan citra putri bungsu kesayangannya? Di tengah momen yang canggung ini, tiba-tiba ada seorang pria berjas yang muncul dan berseru dengan lantang. "Nyalakan lampunya!"

© Webfic, สงวนลิขสิทธิ์

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.