Bab 6 Aku Ingin Tanya Lagi, Kamu Sebenarnya Kerja Apa
Aku mendapat telepon dari departemen.
"Keisha, kepala rumah sakit dan kami sudah rapat. Kami memutuskan memberimu cuti untuk menyelesaikan masalah keluargamu." Kepala departemen menghela napas.
"Pak, maaf. Aku sudah merepotkan rumah sakit." Wartawan mengepung rumah sakit. Saat ini hubungan dokter dan pasien sedang tegang. Itu memengaruhi reputasi rumah sakit.
"Nanti kalau sudah agak reda, baru kembali bekerja."
"Baik, begitu saja." Aku menutup telepon.
Ricky bertanya, "Diliburkan?"
"Ya."
"Kalau begitu, sekalian santai saja. Mari pergi panjat tebing, berani nggak?" Ricky bertanya padaku.
"Kenapa nggak berani?"
Aku ikut Ricky kembali ke rumahnya. Dia mengeluarkan satu tas berisi perlengkapan mendaki profesional dan berganti pakaian.
Dia membelikanku satu set baju panjat tebing khusus wanita di pinggir jalan. Lalu kami langsung berangkat.
Saat sampai tujuan, aku menatap gunung gersang yang tinggi menjulang dan berbahaya.
"Belum pernah panjat, 'kan?" Ricky membawa ransel di punggung dan mendongak melihat puncak gunung yang tinggi.
"Belum, tapi bisa dicoba."
"Aku nggak akan membiarkanmu dalam bahaya." Ricky berkata.
"Urus dirimu sendiri saja." Hal yang aku sukai memang tidak sama dengan wanita lain, mungkin karena pengalaman masa kecilku.
Hobiku panjat tebing, bela diri, tinju, anggar, dan taekwondo. Semuanya bersifat maskulin.
Termasuk saat belajar ilmu kedokteran. Sewaktu bedah mayat, banyak mahasiswa menangis ketakutan, bahkan ada yang langsung pindah jurusan.
Namun aku tidak pernah takut. Mental kuat dan sifatku yang tenang membuatku disukai banyak dosen saat kuliah. Setelah lulus, aku langsung diterima di rumah sakit kota.
Kami mulai memanjat tebing. Ricky menyuruhku memanjat duluan, dia mengikuti di belakang. Katanya kalau aku jatuh, dia bisa menangkapku.
Semakin tinggi, semakin curam dan semakin sulit.
Aku mulai kelelahan, terutama pergelangan tangan yang pernah terkilir, semakin tidak bisa dipakai.
Kami sudah berada di tengah tebing tanpa tempat pijakan untuk istirahat.
Ricky memanjat ke atas, membawa seutas tali dan mengikatkannya ke pinggangku.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil terengah.
"Semakin tinggi semakin bahaya. Ini untuk melindungimu."
"Aku bisa sendiri."
"Jangan memaksakan diri. Nanti aku di depan, kamu ikuti jejakku."
Setelah berkata begitu, dia terus memanjat ke atas. Panjat tebing seperti ini memerlukan pengamanan yang memadai. Aku merasa dia sedikit berlebihan.
Tali juga terikat di pinggang Ricky. Aku menoleh ke bawah, jantungku berdebar kencang.
Di bawah sana jurang sangat dalam. Kalau aku jatuh, dia akan ikut terseret.
"Jangan lihat ke bawah, ikuti aku!" Suara Ricky terdengar dari atas.
Semakin ke atas, hampir tidak ada lagi tempat berpijak. Kami memegang tanaman liar yang tumbuh di tebing untuk memanjat.
Aku sudah benar-benar kehabisan tenaga, tanganku yang memegang tanaman mulai bergetar.
Ini bukan takut, tapi respons fisik otot yang lelah.
Tubuh penuh keringat dan haus. Tiba-tiba, kakiku terpeleset dan aku jatuh ke bawah.
"Ah!"
Saat ini, aku benar-benar merasa takut.
Aku mendengar suara logam menggesek batu, lalu tubuhku tiba-tiba berhenti.
Aku mendongak dan melihat Ricky memegang sebilah pisau tajam yang tersangkut di celah batu.
Dia tersenyum padaku dan bertanya, "Takut?"
"Takut."
"Takut apa?"
Takut apa? Takut mati? Tentu saja takut mati, tapi aku lebih takut dia mati bersamaku.
"Aku takut kamu mati," jawabku.
"Aku sudah bilang, aku nggak akan membiarkanmu dalam bahaya."
Aku mencengkeram tanaman, menapaki celah batu untuk membagi tenaga tubuh. Pada saat ini, besi penahan tidak terlalu bisa dipercaya, takut dia tidak kuat menahan.
"Keisha, kamu punya kepercayaan?" Kami menghela napas dan terus mendaki.
"Kalau kamu?" tanyaku.
"Ada."
"Apa itu?"
"Keadilan."
Aku tersenyum pelan, keadilan? Di zaman sekarang, orang kadang keras kepala.
Setelah sampai puncak gunung, kakiku gemetar karena lelah. Kami berbaring, menatap awan putih melayang di langit.
Saat keringat sudah kering dan hati tenang, rasa lega itu benar-benar menyenangkan. Seperti petualangan tanpa batas, jantungku berdebar-debar. Sensasi itu sudah lama tidak aku rasakan.
Aku menoleh ke arah Ricky, dia memejamkan mata. Alis dan matanya tajam, garis wajahnya seperti lukisan yang halus.
Dia membuatku jatuh hati, tidak diragukan lagi.
Aku tiba-tiba teringat puisi yang mengatakan segalanya begitu indah termasuk dirimu yang muda.
Itu adalah getaran masa muda. Jodoh yang hanya bisa dipertemukan oleh takdir, bukan dicari.
Aku tidak bisa menahan diri, ingin menyentuh wajahnya.
Dia tidak membuka mata, tapi menggenggam tanganku.
"Aku tertarik denganmu, aku ingin tanya, kamu kerja apa?" Aku berkata pelan.