Bab 701
Nindi mengangguk, "Aku sudah siap."
Gadis itu menatap Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa dengan tak percaya, "Kamu bilang Nindi yang akan naik panggung dan berpidato?"
"Iya."
"Bagaimana mungkin? Kenapa Nindi bisa berpidato mewakili mahasiswa? Reputasinya di kampus saja buruk, bahkan banyak yang nggak suka dia. Menurutku, keputusan ini sangat nggak adil."
Gadis itu benar-benar tidak terima.
Sang ketua pun agak kebingungan, "Siapa bilang Nindi akan berpidato sebagai perwakilan mahasiswa?"
"Tapi sekolah kan sudah pilih perwakilan buat pidato. Bukannya tadi kamu bilang kalau Nindi mau siap-siap naik panggung?"
Bukankah itu berarti Nindi-lah perwakilan para mahasiswa?
"Nindi naik panggung dan pidato sebagai perwakilan perusahaan teknologi!"
Ketua BEM sebenarnya juga baru tahu soal ini. Kampus ini benar-benar penuh kejutan. Ternyata ada mahasiswi baru selihai itu, bahkan langsung menjadi eksekutif di perusahaan teknologi.
Gadis itu terkejut seketika, "Ini jelas nggak mungkin! Nindi cuma mahasiswi baru, itu mustahil!"
Para mahasiswa di sekitar mereka juga terkejut. Dalam hati mereka, sama sekali tak ada yang percaya.
Bagaimanapun, mereka semua masih mahasiswa. Sekalipun Nindi memang hebat, rasanya belum sampai di level seperti itu, 'kan?
Nindi melirik jam, lalu menoleh pada sang ketua, "Kalau begitu, aku ke sana dulu buat siap-siap."
"Silakan, langsung bilang ke aku kalau ada apa-apa."
Setelah Nindi pergi, gadis itu tampak semakin tak sabaran, "Ini beneran nggak masuk akal. Kak, apa jangan-jangan kamu salah orang?"
"Nggak salah, kok. Nindi memang salah satu anggota inti di perusahaan Patera Akasia. Katanya, dia bahkan terlibat langsung dalam pengembangan proyek AI."
Ketua itu juga sebenarnya baru tahu tentang hal ini. Hatinya juga terkejut dalam waktu lama.
Gadis itu terkesiap dan berkata, "Jangan-jangan … itu perusahaan yang lagi populer belakangan ini?"
Dia pernah membayangkan bahwa setelah lulus kuliah, dia akan masuk ke Perusahaan Patera Akasia.
Galuh yang duduk di sebelah pun menimpali, "Bukan cuma itu. Nindi sekarang juga menjadi pemegang saham di Perusahaan Patera Akasia. Setiap tahun dia dapat keuntungan yang lumayan besar. Kalau nanti perusahaan itu masuk ke bursa saham, Nindi sudah nggak perlu mikirin uang lagi."
Yanisha ikut mengangguk, "Iya, padahal Nindi itu lahir dari keluarga terpandang juga, sosok putri keluarga Lesmana dari kota Alana. Belum lagi, dia pernah meraih nilai tertinggi ujian masuk universitas. Sekarang, dia bahkan juga sukses berbisnis. Beberapa saat lagi, kekayaannya mungkin bakal tembus triliunan."
Para mahasiswa di sekitarnya langsung terdiam, banyak yang menarik napas pelan sambil menahan rasa kagum.
Langsung tembus triliunan, ternyata sehebat itu, ya?
Padahal, mereka semua masih berstatus mahasiswa yang hidup dari uang orang tua. Akan tetapi, Nindi? Dia sudah mencapai kebebasan finansial.
Galuh melirik gadis yang tadi banyak bicara, lalu menyindir, "Semua awalnya menyangka kalau Nindi menjadi simpanan pria tua agar bisa masuk keluarga konglomerat. Tapi lihat, deh. Dengan kekayaan Nindi sekarang, dia sendir pun sudah setara keluarga konglomerat!"
Gadis itu benar-benar terpukul. Rasa irinya sudah di ambang batas, tetapi dia tak berani berkata apa pun lagi.
Galuh dan Yanisha saling bertukar pandang, puas karena berhasil menutup mulut orang-orang yang suka menyebar gosip.
Sementara itu, Nindi berjalan ke barisan depan. Setelah melihat tempat duduknya ada di tengah, dia tak repot-repot ke sana dan malah duduk di kursi kosong terdekat. Dia mengambil naskah pidatonya, membacanya sekilas. Nindi sejatinya sudah sangat siap.
"Nindi, minggirlah, ini bukan tempatmu."
Serena melangkah mendekati Nindi dengan angkuh, terlihat sungguh arogan.
Nindi mendingak dan berkata, "Ini juga bukan tempatmu."
"Memang bukan punyaku, tapi itu tempat duduk kakakku. Dia datang sebagai tamu undangan buat mewakili perusahaan. Nggak kayak seseorang di sini yang cuma bisa kelihatan hebat gara-gara pria. Kakakku itu perempuan tangguh, bukan cewek matre."
Ucapan Serena jelas penuh dengan kesombongan dan hinaan.
Nindi mendongak dan menatapnya, "Dengar gaya ngomongmu barusan, kupikir kamu yang duduk di sini. Ternyata bukan, ya? Wah, aneh juga. Kakakmu disebut-sebut sosialita nomor satu, tapi kamu sendiri ... cuma kriminal yang pakai gelang kaki elektronik. Memangnya kamu nggak belajar apa pun darinya, ya?"
Wajah Serena langsung memerah. Dia paling benci jika ada yang menyinggung soal gelang elektronik itu. Amarahnya meledak seketika, "Kamu pikir kamu siapa sampai berani nyuruh aku? Minggir kamu! Ini tempat duduk kakakku, kamu nggak pantas duduk di sini!"
Nindi melirik ke papan nama di atas meja. Dia belum sempat memperhatikan tadi, ternyata memang tertulis nama Sofia di sana.
Bahkan, Cakra juga akan hadir.