Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9

Tolonglah. Jangan, jangan sekali-kali beri aku jawaban yang pasti. Aurelius seperti ini, mana pantas untukku. "Nggak, aku bukan menyukaimu," kata Aurelius. Aku menghela napas lega. "Kak, aku mencintaimu. Selama bertahun-tahun ini, aku terus memikirkanmu." Aku mendecak, membawa gelas air sambil berbalik ingin menasihatinya, tetapi tiba-tiba malah menempel ke dadanya. "Pinggang Kakak ramping sekali." Aurelius menggigit daun telingaku. Malam di luar jendela menyelimuti segalanya. Aku tidak ingin menyeretnya ke dalam ini. Awalnya kukira sekali saja sudah cukup. Namun Aurelius justru mendekat untuk menyambutnya. Lagi pula, aku memang bukan orang baik. Lizania bukan orang baik, maka adiknya, Aurelius, besar kemungkinan juga tidak jauh berbeda. Walaupun dulu dia memang sangat baik, tetapi lima tahun tidak bertemu, bagaimana mungkin aku hanya mengandalkan beberapa kata, atau hubungan yang terputus-putus selama bertahun-tahun ini, lalu merasa dia tetap baik? Aku mencoba meyakinkan diriku dengan pikiran-pikiran ini, sayangnya gagal. Seperti apa Aurelius sebagai seorang pria, aku tetap mengetahuinya dengan jelas. Aku sangat menyesal telah melibatkannya dalam urusan ini. Dia begitu baik, senyumnya begitu elok, murni, bersih, dan mulia. Terhadapnya, sebenarnya aku memang selalu punya perasaan. Bagaimanapun, saat dia pergi dulu, aku baru berusia sembilan belas, dia tujuh belas. Ketika itu, cinta pertamanya mulai bersemi, itu sudah terjadi sejak lama. Karena itulah sekarang rasanya begitu menyakitkan, tetapi sekaligus begitu membahagiakan. Namun, bagaimana aku berani mengatakannya. Kami bukan dari dunia yang sama, kamu bersinar terang, sementara aku sudah jatuh ke jurang. Dan malam ini terlalu lembut, terlalu mudah merobek penyamaran dan menyingkap cela naluri asli kami. Keesokan harinya saat aku membuka mata, aku berada dalam pelukan Aurelius. Dada pria itu hangat, membungkusku di dalamnya, aman dan lembut. Merasakan ada gerakan di belakang, entah karena alasan apa, aku segera memejamkan mata lagi. Aku merasakan sebuah ciuman ringan tercetak di rambut bagian belakang kepalaku. Setelah menciumku sekali, Aurelius baru bangun dengan hati-hati dan meninggalkan kamar. Dari dapur kecil yang bagiku selama bertahun-tahun hanyalah pajangan, seolah terdengar suara menggoreng telur ceplok. Josie pernah berkata kepadaku, jika seorang pria diam-diam menciummu saat kamu tidur, dan rela bangun pagi untuk membuatkanmu sarapan, maka itu pasti karena dia sangat, sangat mencintaimu. Saat itu aku benar-benar memercayai kata-kata itu. Sekarang kupikir, sungguh tidak dapat dipercaya. Apa bentuk cinta Aurelius kepadaku? Mungkin, paling-paling hanya cinta untuk meniduriku saja. Setelah selesai mandi dan bersiap, aku keluar dari kamar tidur mengenakan kemeja Aurelius yang kebesaran. Aurelius mengenakan piama hotel, menampilkan bahunya yang bidang dan kakinya yang berjenjang, enak dipandang mata. Dirinya menoleh, melihat kemeja yang kemarin dipakainya saat bermain piano kini kupakai hingga menyingkap pemandangan yang menggoda. Pemandangan itu membuat dirinya tersenyum tak berdaya. "Pagi-pagi begini, Kak, sebaiknya jangan menggoda aku." Aurelius meletakkan roti panggang, telur, dan susu hangat di atas meja makan, menimbulkan bunyi "ting" yang jernih. "Di kulkas hotel ada telur, susu, dan roti. Begitu lihat langsung kupakai. Peralatan dapur kecil di suite ini lumayan lengkap. Kalau nggak suka, aku bisa menelepon untuk memanggil sarapan dari hotel." Melihat aku tidak bergerak, Aurelius melirik jam. "Empat puluh lima menit lagi kamu harus tiba di kantor. Kalau nggak makan sekarang, aku akan terlambat mengantar kamu." Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku memang sedang libur akhir-akhir ini." Setahun penuh tahun lalu, aku tidak libur satu hari pun. Pemimpin redaksi, Pak Zuardi, memaksaku untuk benar-benar beristirahat beberapa hari belakangan ini, kalau tidak tubuhku bisa kolaps. "Aurelius, mari kita duduk dan bicara baik-baik."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.