Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Di luar ruang operasi, waktu terasa berjalan sangat lambat. Windi mondar-mandir dengan gelisah, sesekali menatap pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Akhirnya, pintu itu terbuka. Sania didorong keluar oleh perawat. Dia sudah tertidur lemas, namun di wajahnya masih terlihat jejak air mata yang belum kering. Bahkan, di bibirnya yang pucat tampak bekas gigitan gigi yang halus. "Sania!" Windi segera menyambutnya dengan cemas. Dokter melepas masker dan menunjukkan ekspresi agak serius. "Operasinya berjalan lancar, tapi kondisi tubuh pasien sangat lemah. Ingat, dalam kondisi seperti ini, dia harus benar-benar beristirahat dengan baik. Kalau nggak ... mungkin akan sangat sulit baginya untuk hamil lagi di masa depan." Hati Windi tiba-tiba terasa berat. Dia menatap Sania yang sedang tertidur lemas, dan air matanya kembali mengalir. Sania adalah orang yang sangat baik. Kenapa dia justru harus terjebak dengan laki-laki berengsek seperti Bernard? Saat Sania terbangun, hari sudah sore. Ibunya Windi, Ratih, datang membawa semangkuk bubur daging yang masih mengepulkan uap panas. "Sania sudah bangun ya? Ayo, cepat makan sedikit bubur selagi hangat, supaya tubuhmu pulih," kata Ratih dengan penuh kasih sayang sambil menatap wajah Sania yang pucat dengan rasa iba. "Terima kasih, Bu." Sania tersenyum lemah dan berusaha bangun dari tidurnya. "Jangan gerak, jangan gerak, tiduran saja. Biar Ibu yang suapin kamu." Ratih segera menopangnya, lalu mengambil sesendok bubur, meniupnya agar agak dingin, dan menyuapkannya ke dekat mulut Sania. Hati Ratih benar-benar terasa sangat sakit. Sania sudah begitu susah payah mendapatkan kehamilan ini, kenapa tiba-tiba harus kehilangan begitu saja? Dulu, saat Sania tidak memiliki tempat tinggal, Windi yang merupakan teman sekelasnya membawanya pulang ke rumah. Keluarga Santosa pun mendukungnya hingga berhasil menyelesaikan pendidikannya. Ratih bahkan menyayanginya seperti putri kandungnya sendiri. Sania memakan buburnya perlahan-lahan. Perutnya mulai terasa hangat, tetapi matanya justru memerah. Windi sedang menelepon di samping dengan suara yang ditekan serendah mungkin. Namun, nada bicaranya terdengar sangat emosional. "Samuel! Aku kasih tahu kamu, kalau kamu masih bergaul dengan bajingan macam Bernard, kita putus saat ini juga! Pertunangan dibatalkan, dan kita nggak akan pernah saling bertemu lagi selamanya!" Setelah mengucapkan itu, Windi langsung menutup telepon, dadanya naik turun hebat karena amarah. Sania menatapnya dan berkata, "Windi, jangan karena aku ... " "Itu bukan karena kamu!" potong Windi. "Aku cuma nggak tahan lagi sama Samuel yang nggak tahu diri itu! Bernard sudah menyakitimu sampai seperti ini, dan dia masih bisa akrab-akraban sama pria itu. Apa itu masuk akal? Sebenarnya dia itu ada di pihak siapa?" Keluarga Santosa dan Keluarga Kusno menjodohkan Windi dan Samuel. Keduanya sudah bertunangan sejak mereka berusia 18 tahun. Namun, sifat manja bak tuan putri Windi yang tak pernah berubah ini, membuat Samuel benar-benar kewalahan. Saat itu, di ruang VIP pesta malam di klub pribadi paling mewah di Kota Handara, Luminara. Alunan musik yang lembut mengalir, sementara udara dipenuhi aroma minuman mahal dan parfum. Samuel memegang ponsel dengan wajah bingung. Dia menatap Bernard dengan polos. "Kenapa tiba-tiba Windi jadi marah seperti ini? Katanya, kalau aku masih dekat denganmu, dia mau putus denganku?" Bernard mengangkat gelas minum, jari-jarinya yang ramping perlahan menggoyang-goyangkan cairan berwarna amber di dalamnya. Mendengar perkataan itu, dia hanya mengangkat alis tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Di sampingnya, Ciko Hendawi malah tertawa. "Wah, Pak Samuel lagi ada masalah besar di rumah ya? Kayaknya pacarmu itu benar-benar punya dendam besar sama Bernard. Sekarang aku kasih kamu kesempatan untuk memilih salah satu dari mereka berdua." Samuel dengan kesal menggaruk-garuk rambutnya. "Entahlah dia marah kenapa! Jangan pedulikan dia, ayo kita minum saja." Tiba-tiba, pintu ruang VIP itu terbuka. Seorang wanita mengenakan gaun merah seksi dengan tali tipis dan gerakan tubuh yang memikat melangkah masuk. Wanita itu tak lain adalah Karina. Karina adalah putri kaya dari Keluarga Janata sekaligus artis papan atas yang sedang populer. Pesta ulang tahun mewah bersama Bernard kemarin sudah membuat jumlah penggemarnya naik menjadi dua puluh juta. Dia menjadi pusat perhatian bak bintang yang bersinar di langit malam. Jika dia menikah dengan Keluarga Ferdian, maka dia akan menjadi wanita paling terhormat di Kota Handara. Dan istri terkaya yang paling disegani. Membayangkannya saja sudah membuatnya bahagia. Dia berjalan lurus ke sisi Bernard, mengabaikan tatapan sekitar yang penuh kekaguman maupun iri, lalu duduk tepat di sampingnya. Tangannya dengan santai melingkari lengan Bernard, dan kepalanya bersandar di bahunya. "Kak Bernard, di acara ulang tahun Grup Ferdian akhir pekan ini, bolehkah aku menjadi pendampingmu?" Karina tak ingin lagi bersembunyi di belakang Bernard. Menunggu selama tiga tahun adalah waktu yang sudah cukup lama. Tatapan Bernard menjadi lembut. "Besok, aku akan minta seseorang memesankan gaun untukmu." Karina tersenyum girang. "Aku tahu, kamu memang yang terbaik." Ciko mengangkat gelasnya dan berkata dengan senyum, "Selamat untukmu Kak Karina. Sebentar lagi kamu resmi jadi istri." Samuel ikut bersorak. "Kelihatannya janji tiga tahun akan segera berakhir. Kak Karina, kamu akan segera menikmati hasil perjuanganmu." Jelas terlihat, kedua sahabat Bernard sangat mendukung Karina, karena mereka belum pernah melihat Bernard membawa Sania keluar bersama. Selain itu, pernikahan mereka bersifat rahasia, dan hampir tidak ada yang tahu di luar sana. Bisa dibilang seperti tidak pernah terjadi. Karina dengan percaya diri mengangkat gelasnya dan bersulang bersama mereka. "Terima kasih, Pak Samuel, Pak Ciko." Dari empat keluarga besar di Kota Handara, anak-anak dari tiga keluarga besar sudah berdiri di sisinya. Begitu pernikahan Bernard dan Sania berakhir, Karina bisa dengan sah dan terhormat menjadi bagian dari Keluarga Ferdian. "Ding!" Ciko melihat sebuah pesan yang muncul di ponselnya. Dia begitu bersemangat sampai hampir terjungkal dari sofa. "Wah! Dewi Nia akan kembali!" Dia mengangkat ponsel dengan layar yang menampilkan judul tebal yang sangat mencolok. [Pendiri Nuri Farma Teknologi, Dewi Nia, dipastikan hadir di Forum Medis Internasional bulan depan!] Suara Ciko penuh dengan kebahagiaan yang sulit dipercaya hingga matanya sedikit berkaca-kaca. "Nenekku punya harapan hidup! Luar biasa!" Nenek Ciko menderita kanker paru-paru dan waktunya tak banyak lagi. Berita ini jelas seperti hujan di tengah kemarau. Beberapa anak kalangan keluarga kaya di sekitarnya pun langsung bersuara lebih heboh membicarakannya. "Dewi Nia? Maksudmu yang tiga tahun lalu menciptakan formula pengobatan kanker hingga langsung jadi legenda, lalu menghilang tanpa jejak itu?" "Astaga! Dia akhirnya mau muncul juga? Kupikir dia sudah naik ke langit!" "Nuri Farma Teknologi? Institut itu adalah panutan abadi di dunia medis! Formula yang ditemukan tiga tahun lalu itu berhasil menyelamatkan begitu banyak pasien penyakit berat dari ambang kematian!" "Benar sekali! Itulah dia! Tiga tahun lalu, dia muncul entah dari mana, melemparkan formula itu, lalu langsung menghilang. Tak seorang pun bisa menemukannya. Kali ini dia kembali ke dunia medis, dan ini jelas seperti kartu pemungkas! Forum Medis Internasional bulan depan pasti akan ramai luar biasa!" Bernard, yang duduk tak jauh dari sana, tampak serius. Matanya yang dalam seketika memancarkan kilat sorot penuh semangat. Meskipun industri medis Grup Ferdian sudah menjadi yang terdepan di dalam negeri, empat tahun lalu, pada usia yang baru 22 tahun, dia telah meraih gelar doktor ganda di bidang teknologi medis dan manajemen bisnis sebelum kembali ke tanah air. Tak lama setelah itu, dia menciptakan sistem medis cerdas terdepan di seluruh negeri, dan hanya dalam empat tahun, berhasil menduduki posisi sebagai orang terkaya di Kota Handara. Di bawah kepemimpinannya, bisnis Grup Ferdian telah merambah ke lebih dari 80 negara di seluruh dunia. Dia benar-benar putra mahkota yang dilimpahi segala kemegahan. Namun ... Dewi Nia! Nama itu bukan sekadar legenda di dunia medis, melainkan simbol kekuatan kepemimpinan yang luar biasa. Bagi Bernard, Dewi Nia lebih seperti sebuah pulau misterius, memancarkan daya tarik yang begitu kuat hingga dia tak kuasa untuk tidak mendekatinya. Jika Dewi Nia bersedia bekerja sama dengan Grup Ferdian, maka posisi mereka di dunia medis global akan mencapai puncak tertinggi. Jari-jari Bernard yang memegang gelas anggur perlahan mengepal, sementara sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum penuh tekad dan ambisi. Samuel menambahkan dengan antusias, "Kudengar kali ini Nuri Farma akan meluncurkan sesuatu yang baru yaitu 'Aromaterapi Bunga'! Katanya mereka menggunakan molekul aroma bunga tertentu yang dikombinasikan dengan teknologi rekayasa genetik, untuk secara presisi menyerang sel kanker! Dewi Nia itu benar-benar ilmuwan terhebat bagi umat manusia!" Semua orang saling menyahut satu sama lain dengan penuh semangat, membicarakan kembalinya Dewi Nia dan membayangkan revolusi besar yang akan dibawanya. Suasana di ruangan itu memuncak, dipenuhi antusiasme dan kegembiraan yang membara. Dan tepat saat itu, pintu ruang VIP perlahan terbuka. Seorang pramusaji muda membawa nampan, berjalan masuk dengan hati-hati, bersiap untuk menuangkan minuman tambahan bagi para tamu. Ketika dia melihat tiga pewaris keluarga konglomerat besar di dalam ruangan, rasa gugupnya memuncak. Karena terlalu tegang, dia tersandung dan tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke depan. Gelas-gelas di atas nampan seketika jatuh berantakan ke lantai! "Brak! Prang!" Suara pecahan kaca yang nyaring memecah keramaian. Karina yang paling dekat tidak sempat bereaksi sama sekali. "Ah!" Karina menjerit pendek karena terkejut. Bernard bereaksi sangat cepat, hampir bersamaan dengan pecahnya kaca, dan dia langsung merangkul Karina yang ketakutan ke dalam pelukannya. Dia berhasil melindungi wajah Karina dari pecahan kaca yang beterbangan, namun serpihan itu tetap melukai punggung tangan Karina yang putih mulus, meninggalkan dua goresan berdarah. Bernard mengernyit dalam, dan saat melihat luka yang jelas di punggung tangan Karina serta darah segar yang terus mengalir, raut wajahnya langsung berubah menjadi muram. "Sialan!" Bernard menatap tajam ke arah pramusaji yang berdiri kaku di tempat dengan wajah pucat pasi karena ketakutan, lalu berkata dengan suara sedingin es. "Apa yang kamu lakukan? Cepat pergi!" Pelayan itu terkejut dan melarikan diri dengan tergesa-gesa. "Kak Bernard ... tanganku sakit sekali ... " Karina bersandar di pelukan Bernard, suaranya nyaris menangis, air mata tampak berkilau di pelupuk matanya. "Jangan takut, aku akan membawamu ke rumah sakit untuk mengobati lukamu." Suara Bernard menjadi lebih lembut. Dia dengan hati-hati menghindari tangan Karina yang terluka, lalu mengangkatnya dalam gendongan dan melangkah cepat keluar dari ruang VIP. Di rumah sakit. Aroma cairan disinfektan memenuhi udara, dan lorong begitu sunyi hingga yang terdengar hanyalah suara langkah kaki. Setelah mengatur agar Karina ditangani dengan baik, Bernard meminta dokter untuk merawat lukanya dengan saksama dan membalutnya dengan rapi. Melihat wajah Karina yang pucat dan tampak begitu menyedihkan, Bernard dengan sabar menenangkannya, lalu memintanya untuk beristirahat dengan baik di kamar rumah sakit. Dia keluar dari kamar rumah sakit, berniat mengurus beberapa hal lanjutan, sekaligus menelepon ke rumah. Baru saja sampai di tikungan lorong, sudut matanya tanpa sengaja melirik ke arah sebuah kamar rawat yang pintunya setengah terbuka. Sosok yang familier langsung tertangkap oleh pandangannya. Langkah Bernard tiba-tiba terhenti. Tatapannya membeku pada ranjang rumah sakit itu. Seprai berwarna pucat, dan wajah yang tak kalah pucat. Wanita itu terbaring tenang, matanya terpejam rapat. Bulu matanya yang lentik membentuk bayangan tipis di bawah kelopak. Lengan rampingnya masih terhubung dengan selang infus, perlahan-lahan cairan bening menetes masuk ke tubuhnya. Sania! Kenapa dia bisa ada di sini? Dan bahkan terbaring di ranjang rumah sakit? Gelombang emosi yang rumit dan tak bisa dijelaskan seketika mencengkeram hati Bernard, seolah ada tangan tak kasatmata yang menggenggamnya erat-erat. Tanpa ragu, Bernard mendorong pintu dan langsung masuk ke dalam.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.