Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Benar, saat ini Sania memang sedang terbaring diam di atas ranjang. Cahaya lampu yang dingin menyinari wajahnya yang pucat dan letih. Wajah yang dulu cerah dan penuh semangat, kini tak lagi memiliki setitik warna. Pergelangan tangannya yang ramping tertusuk jarum infus, dan cairan bening itu menetes perlahan ke tubuhnya. Bernard merasakan sesak di dadanya. Mungkin ... sakit maag Sania kambuh. Dia ingat, perempuan itu memang sudah lama memiliki penyakit ini. Dulu pun pernah dirawat di rumah sakit karena hal yang sama. Saat itu ... Bernard segera mengusir kenangan-kenangan kacau yang mulai bermunculan di kepalanya, lalu menatap bibir Sania yang tampak pucat pasi. Sania yang tertidur di ranjang rumah sakit tampak tidak nyenyak, alisnya berkerut halus, dan tubuhnya bergerak sedikit tanpa sadar. Selimut yang menutupi tubuhnya pun ikut melorot sedikit. Hampir tanpa sadar, Bernard melangkah maju dan mengulurkan tangan, perlahan menarik selimut ke atas, menutupi bahu Sania yang terbuka. Ujung jarinya tanpa sengaja menyentuh kulit Sania yang terasa sedikit dingin. Gerakannya sempat kaku sejenak, lalu dengan cepat Bernard menarik kembali tangannya, seolah yang disentuh barusan adalah sesuatu yang sangat panas. Baru setelah melakukan itu, Bernard sadar sepenuhnya apa yang baru saja dia lakukan. Rasa gelisah tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Dia menoleh ke sekeliling. Ruangan rawat itu tampak sempit dan biasa, dan udara di sana dipenuhi bau cairan disinfektan. Karena berada di lantai bawah, suara bising dari luar terdengar jelas. Keningnya langsung berkerut tajam, membentuk lipatan tegas di tengah dahinya. Bagaimana mungkin Sania bisa sembuh dengan baik di lingkungan seperti ini? Bernard segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon asistennya, nadanya penuh perintah yang tak bisa dibantah. "Rumah Sakit Pusat, kamar 302, Sania Gunadi." "Segera pindahkan dia ke suite VIP di lantai paling atas." Asistennya di seberang telepon terdengar terkejut sesaat, namun tak berani bertanya lebih lanjut dan segera menjawab, [Baik, Pak Bernard.] Bernard terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Pesankan juga satu porsi siomay ikan dari Dapur Rasa, dan bubur kacang hijau. Ingat, harus yang baru matang dan masih hangat." Itulah makanan favorit Sania dulu. Bernard sendiri pun tak tahu kenapa bisa mengingat semua itu dengan begitu jelas, atau kenapa tiba-tiba saja mengeluarkan perintah seperti itu. Mungkin ... dia hanya tak ingin melihat Sania dalam kondisi menyedihkan seperti itu. Ya, pasti karena itu. "Antar makanannya ke ruang VIP." [Baik, Pak Bernard. Akan segera saya urus.] Setelah menutup telepon, Bernard menatap Sania yang terbaring di ranjang rumah sakit untuk terakhir kalinya. Kini, alis wanita itu tampak sedikit lebih rileks. Bernard mengatupkan bibir, lalu berbalik dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Langkahnya tetap tegas, dingin, dan berjarak seperti biasa. Sementara itu, Karina yang sudah selesai diobati lukanya, dengan tangan yang kini dililit perban yang mencolok, diam-diam menyimpan amarah. Saat baru saja keluar dari ruang perawatan, Karina melihat Bernard berjalan keluar dari salah satu kamar di ujung lorong. Bukankah itu area kamar perawatan biasa? Hatinya langsung terasa tidak enak, tetapi dia tetap tersenyum lembut. Dia segera melangkah cepat menghampiri Bernard, lalu menggandeng lengannya dengan manja. "Kak Bernard, kamu tadi ke mana? Begitu aku keluar dan nggak lihat kamu, aku sampai kaget loh." Secara sekilas, dia melirik ke arah nomor kamar di balik punggung Bernard. 302. Bernard menoleh sedikit, tatapannya jatuh pada tangan Karina yang masih dibalut perban. Dia berkata dengan suara datar, "Nggak ke mana-mana. Aku cuma salah naik lantai tadi." "Salah lantai?" Karina mengedipkan mata, suaranya manja dan manis. "Kamu ini benar-benar ceroboh. Hal seperti itu pun bisa keliru?" Dalam hati, dia justru mencibir dingin. Mana mungkin orang seperti Bernard salah jalan? Pasti ada sesuatu yang mencurigakan di kamar 302 itu. Namun Bernard tidak menanggapi perkataannya. Dia hanya berkata, "Apa tanganmu masih sakit? Kalau sudah selesai, aku akan mengantarmu pulang." "Hmm. Sudah nggak terlalu sakit. Terima kasih ya, Kak Bernard." Karina mengangguk manis, tampak sangat patuh dan manja. Namun dalam hatinya, dia sudah mencatat nomor "302" dengan jelas. Dia benar-benar ingin tahu, siapa sebenarnya wanita jalang yang ada di dalam sana, sampai-sampai membuat Bernard yang angkuh rela datang ke tempat seperti ini. Sesampainya di kediaman Keluarga Janata, seluruh rumah terang benderang. Begitu melihat mereka masuk, ibunya Karina, Helen Wibowo, segera menyambut dengan gaya yang dramatis. "Ya ampun! Anakku tercinta, buah hatiku! Tanganmu kenapa? Biar Ibu lihat!" Helen menggenggam tangan Karina dengan penuh rasa iba di wajah, namun dari sudut matanya, dia terus-menerus melirik ke arah Bernard dengan senyum menjilat yang tak henti-hentinya. "Ah, Pak Bernard, aku benar-benar terima kasih banyak. Putri kami ini pasti sudah merepotkanmu!" Ayah Karina pun segera ikut menimpali, "Betul, betul! Pak Bernard, kamu sungguh baik sekali. Untung ada kamu, kalau nggak, entah masalah besar apa lagi yang akan dibuat putri kami ini." "Nggak apa-apa," jawab Bernard dengan nada datar, tanpa ekspresi berarti. Dia menoleh pada Karina dan mengingatkannya, "Gunakan obatnya tepat waktu, dan jangan kena air selama beberapa hari ini." "Mm, aku tahu. Terima kasih, Kak Bernard," sahut Karina lembut dan manja. Bernard mengangguk sedikit, tanpa menunjukkan niat untuk tinggal lebih lama. "Aku masih ada urusan. Aku pergi dulu." "Hati-hati di jalan, Pak Bernard! Kalau ada waktu, mampir lagi ya!" Helen mengantar Bernard sampai ke pintu dengan penuh antusias. Baru setelah mobil Maybach itu menghilang ditelan gelapnya malam, senyum di wajahnya seketika lenyap, digantikan ekspresi penuh perhitungan dan kecerdikan. Dia tiba-tiba membalikkan badan, menatap tajam ke arah Karina, suaranya dingin dan penuh tekanan. "Karina! Dengar baik-baik apa yang Ibu katakan!" "Kamu harus bisa mendapatkan Bernard, apa pun caranya! Mengerti? Kalau kamu berhasil menikah dengannya dan jadi istri dari pewaris Keluarga Ferdian, keluarga kita bisa naik derajat. Di Kota Handara, nggak akan ada lagi yang berani meremehkan kita." Tatapan Helen dipenuhi ambisi besar akan kekuasaan dan status sosial, seakan-akan masa depan gemilang Keluarga Janata sudah ada di depan mata. "Tenang saja, Bu," kata Karina penuh percaya diri. Dia tahu dirinya punya keunggulan. Apalagi sekarang, dia sudah mengetahui bahwa Bernard sedang menyiapkan surat cerai. Bernard hanya boleh jadi miliknya. Ketika Sania terbangun lagi, langit di luar sudah gelap. Dia tersadar karena aroma makanan yang begitu menggoda menguar di udara. Perlahan dia membuka matanya. Kepalanya masih terasa agak pusing, perut kosong, namun rasa sakit tajam yang sebelumnya menusuk sudah jauh berkurang. Begitu penglihatannya mulai fokus, dia melihat beberapa kotak makanan hangat yang tertata rapi di meja samping tempat tidur. Salah satunya tercetak logo restoran Dapur Rasa. Siomay ikan? Bubur kacang hijau? Ini ... Dia sedikit bingung, siapa yang mengirimkan ini? Secara refleks, dia sempat terpikir oleh Windi, tapi dia segera menepis kemungkinan itu. Dia tahu betul, Windi tak akan memberinya makanan seperti ini. Jangan-jangan ... Sebuah nama melintas sekilas di benaknya, tetapi segera dia paksa untuk lenyap, seolah tak ingin mengakuinya. Tidak mungkin! Bagaimana mungkin Bernard datang menemuinya? Bahkan membawakannya makanan? Pria itu justru berharap dia menghilang dari dunia ini. Jangan terlalu percaya diri, Sania. Dia menarik sudut bibirnya dengan senyum mengejek diri sendiri. Saat itu juga, pintu ruang rawat terbuka, dan seorang perawat dengan seragam merah muda masuk sambil menampilkan senyum profesional. "Nona Sania, Anda sudah bangun? Bagaimana perasaannya?" Sania mengangguk lemah. "Sudah jauh lebih baik, terima kasih." Perawat itu dengan cekatan memeriksa botol infus, lalu tersenyum dan berkata, "Pas sekali, sekarang kami akan memindahkan Anda ke ruang perawatan lain." "Pindah kamar?" Sania menatapnya dengan bingung. "Kenapa harus pindah?" Perawat itu tersenyum makin manis. "Begini, ini sudah diatur dari pihak atas. Anda akan dipindahkan ke kamar VIP di lantai atas. Lingkungannya lebih baik, lebih tenang, dan lebih cocok untuk pemulihan Anda." "Kamar VIP?" Sania benar-benar tercengang, suaranya bahkan terdengar ragu. "Siapa ... siapa yang mengaturnya?" Apa maksudnya ini? Apa mungkin orang yang dirawat di rumah sakit bisa tiba-tiba dapat peningkatan kamar begitu saja? Lelucon macam apa ini! Wajah sang perawat tetap tersenyum, tapi nada bicaranya seolah wajar saja. "Soal itu kami kurang tahu, ini langsung perintah dari atasan. Anda tenang saja, semua administrasi sudah diurus, Anda tinggal ikut saya." Sania tetap berbaring di tempat tidur, menatap ekspresi si perawat yang seolah berkata "semuanya sudah jelas tanpa perlu dijelaskan", dan pikirannya justru makin kacau. Pertama, tiba-tiba saja muncul siomay ikan dan bubur kacang hijau di meja sebelah ranjang. Sekarang, tanpa aba-aba, dia malah dipindahkan ke kamar VIP. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Tepat saat itu, Windi masuk ke dalam ruangan sambil membawa semangkuk sup dan sebuket bunga. "Sania, kamu sudah merasa lebih baik belum? Lapar nggak? Ini ibuku membawakan sup ayam penuh cinta untukmu." Begitu melirik meja dan melihat kotak makanan di atasnya, dia langsung terkejut. "Dapur Rasa? Sejak kapan mereka mulai melayani pesan antar?" Sania juga kebingungan. "Aku juga nggak tahu siapa yang mengirimnya." Windi melemparkan kedipan genit padanya. "Sepertinya ada penggemar rahasia yang diam-diam menyukaimu. Aku kan sudah bilang, di luar sana masih banyak pria baik, kenapa harus terpaku pada si berengsek itu?" Di suatu tempat, Bernard tiba-tiba bersin. Windi tiba-tiba teringat sesuatu yang penting. Dia duduk di tepi ranjang dan berkata, "Kamu bahkan belum keluar dari rumah sakit, tapi kok sudah diumumkan akan kembali ke dunia medis?" Sania kembali memasang wajah bingung. "Kembali ke dunia medis?" Windi mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkannya pada Sania. Lima trending topic teratas semuanya membahas tentang Dewi Nia. Hanya dalam hitungan jam, kabar bahwa Dewi Nia hadir di konferensi puncak sudah menyebar ke seluruh dunia. Jantung Sania langsung berdebar. Yang berani mengumumkan kabar sebesar itu secara terang-terangan di seluruh dunia cuma ada dua orang. Itu dia! Tepat saat janji tiga tahunnya dengan Bernard baru saja berakhir. Orang gila itu benar-benar tak bisa menunggu bahkan satu hari pun!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.