Bab 10
Faktanya, tangan Talia memang kembali bermasalah.
Mata Nadine terasa panas, dia cepat-cepat memejamkan mata, menahan perasaan getir yang nyaris membuatnya menumpahkan air mata.
Beberapa detik kemudian, mobil Mercedes G-Class mendadak mengerem, lalu berbalik arah.
"Arvin." Saat mobil hampir sampai di vila Keluarga Wenusa, Nadine berkata datar tanpa emosi, "Kapan kamu tanda tangan surat cerainya?"
"Aku sudah bilang, bicarakan saja dengan pengacaraku."
Artinya, dia bukan tidak mau tanda tangan.
...
Talia duduk di halaman luar vila, ditemani pelayan yang memegang tasnya, tampak siap berangkat ke rumah sakit kapan saja.
Pergelangan tangan kirinya sudah dibalut perban, tidak kelihatan seberapa parah lukanya.
"Kak Arvin, pergelangan tanganku agak mati rasa sekarang, aku ... aku agak takut ...."
Tangan adalah bagian penting buat kehidupan sehari-hari. Kalau sampai mati rasa, tentu menakutkan.
"Di mana Paman dan Bibi?" Arvin menanyakan Fredi dan Karina.
Talia tersenyum pahit, "Mereka sibuk mengurus Owen."
Keluarga Wenusa, dari tua sampai muda, semuanya lebih sayang anak laki-laki daripada perempuan.
Nadine melihat dari balik jendela depan mobil, memperhatikan kemesraan Talia dan suaminya yang belum resmi bercerai.
Beberapa detik kemudian, dia membuka pintu dan melangkah cepat ke arah sana.
"Ah!"
Talia sama sekali tidak siap, tiba-tiba didorong keras dari samping, tubuhnya oleng beberapa langkah. Pelayan buru-buru menahannya dan pergelangan kaki kanannya terasa sangat sakit.
"Nona Nadine, apa yang kamu lakukan?" Pelayan itu membela Talia dan membentaknya.
Nadine menunjuk tangan kiri Talia. Talia secara refleks justru melindungi tangan kirinya dengan tangan kanan, lalu menariknya ke dada. Gerakannya luwes, sama sekali tidak terlihat terluka.
"Kamu bilang aku mendorongmu. Barusan aku memang mendorongmu. Aku mengakui apa yang aku lakukan, tapi aku lihat tanganmu ini ...." Nadine memiringkan kepala, nada suaranya seolah heran. "Kelihatannya nggak ada masalah, bukan?"
Mata Talia memancarkan kepanikan dan tanpa sadar menoleh ke arah Arvin.
Tapi pria itu tidak melihatnya, malah menatap Nadine dengan tatapan dalam yang sulit ditebak.
Untung saja pria itu tidak curiga. Talia pun menghela napas lega.
"Nadine, kamu ...." Talia tampak tidak berdaya dengan sikap keras Nadine. "Aku tahu waktu itu kamu bukan sengaja, tapi kali ini ...."
"Aku sengaja!" Nadine mengaku dengan santai. "Aku akan mengaku jika melakukannya, tapi yang bukan aku lakukan, Talia, jangan coba-coba menuduhku!"
"Nona Nadine, jangan keterlaluan!" Pelayan itu membentaknya.
Talia marah karena kesal, matanya berair, dan bertanya tajam, "Kalau begitu, bagaimana dengan tiga tahun lalu? Kamu hampir memutus telapak tanganku, masih berani bilang bukan kamu yang lakukan?"
Nadine membuka mulut, tapi tidak bisa membantah. Hanya ada kemarahan yang menyesakkan dada, tapi tidak bisa dikeluarkan.
Dia ....
Dia sudah tidak ingat lagi.
Saat itu kondisi mentalnya memang tidak baik. Dia tidak merasa dirinya akan melakukan hal sekejam dan seburuk itu. Tapi Talia juga tidak ada alasan melukai dirinya sendiri hanya demi memfitnahnya.
Sampai sekarang, Nadine belum punya bukti apa pun untuk membuktikan kalau orang yang melukai Talia bukan dirinya!
Dia adalah satu-satunya orang di tempat kejadian selain Talia. Kalau bukan dia, lalu siapa lagi?
"Cukup!" Arvin memotong dengan suara dingin. Dia melirik ke arah Nadine, lalu berkata pada Talia, "Talia, aku antar kamu ke rumah sakit."
"Arvin, karena Talia memanggilmu ke sini untuk membelanya dan kamu juga dengan senang hati membelanya, maka lain kali jangan naik mobilku lagi dan pergi bersamaku. Aku merasa jijik!" Suara dingin Nadine terdengar begitu datar, seolah sedang menekan emosinya dengan susah payah. Nadine berkata, "Sebelum pengacaramu menghubungiku, kita nggak perlu bertemu lagi."
...
Mobil Mercedes G-Class melaju di jalan.
Tak lama kemudian, sebuah Bentley mendekat dari samping dan sengaja memotong jalur Mercedes G-Class milik Nadine.
Jendela Bentley perlahan turun, menampakkan wajah Dion di kursi belakang.
Kedua mobil berhenti di pinggir jalan.
Nadine memakai masker, menutupi bekas tamparan di wajahnya. Sorot mata dinginnya sudah cukup membuat Dion merinding.
Selama ini orang hanya bilang pasangan suami istri wajahnya mirip, kenapa ada pasangan yang punya aura mirip?
"Pak Dion, kamu nggak paham aturan lalu lintas ya? Perlu aku ajari?"
Dion tersenyum kaku, "Nyonya, dua puluh menit yang lalu Pak Arvin menyuruhku membawa dua orang untuk membantumu memindahkan barang ke Vila Morance."
Dua puluh menit yang lalu, artinya, tepat setelah Arvin menerima telepon dari Talia.
"Dion, aku nggak akan tinggal di Vila Morance lagi. Arvin nggak kasih tahu kamu?"
Dion menggeleng sambil tetap tersenyum dan pura-pura tidak tahu apa-apa.
Nadine bersandar santai di pintu mobil, seperti seekor kucing malas, "Terus kamu tahu kenapa Arvin menyuruhmu datang mengantarku? Kamu tahu dia sedang di mana sekarang?"
"Nyonya ...."
Dion kelihatan serbasalah, berusaha mencari kata yang bisa membuat Nadine tidak tersinggung.
"Karena sekarang dia sedang menemani Talia." Nadine tidak merasa ada yang perlu disembunyikan. "Kamu orang kepercayaannya. Kamu pasti tahu bagaimana hubungan pernikahanku dengannya. Tapi Dion, aku nggak mau dengannya lagi, jadi orang yang perlu dikasihani bukan aku."
...
Di rumah sakit.
Hasil pemeriksaan Talia segera keluar.
Dokter membaca hasilnya, "Tangan Nona Talia nggak ada masalah serius, tapi pergelangan kakinya terkilir dan perlu istirahat beberapa hari."
Tidak ada masalah serius.
Kalimat itu membuat hati Talia yang merasa bersalah langsung gemetar.
Dia menahan tangan kirinya dengan tangan kanan, pura-pura menahan sakit, "Kak Arvin, aku benaran masih merasa agak sakit."
"Kalau tangan Nona Talia pernah cedera parah sebelumnya, memang kadang ada masalah tersembunyi yang sulit dideteksi." Dokter mencoba memaklumi.
"Talia, benaran Nadine yang mendorongmu?" tanya Arvin tiba-tiba.
Pertanyaannya terlalu mendadak. Ruangan seketika hening. Semua orang menoleh ke arah Arvin..
Tatapan Arvin pada Talia tenang, tapi sorot matanya dalam dan penuh tekanan.
Air mata Talia mendadak berhenti dan wajahnya terlihat jelek, "Kak Arvin, kamu sendiri juga melihatnya dia mendorongku ...."
"Aku tanya kejadian yang aku nggak lihat."
Bulu kuduk Talia berdiri. Dia tidak berani menatap mata Arvin, sorot matanya gemetar.
Beberapa detik hening, akhirnya dia berkata dengan nada tidak percaya sekaligus getir, "Kak Arvin ... kamu pikir aku memfitnahnya?"
"Aku tahu sifat Nadine. Kalau dia bilang nggak melakukan, berarti dia memang nggak melakukannya."
Talia masih ingin membantah, tapi sikap Arvin terlalu tegas. Dia tahu kalau terus bersikeras, justru akan membuat Arvin marah.
"Kak Arvin, waktu itu suasananya memang agak kacau. Aku sebenarnya mau memegang tangan Nadine, tapi malah didorong. Mungkin dia nggak sengaja, atau bahkan nggak sadar kalau dia sudah mendorongku."
Talia cepat-cepat memperbaiki ucapannya.
Sebelum Arvin lanjut bertanya, dia buru-buru ganti topik, "Kak Arvin, kenapa kamu tiba-tiba datang hari ini? Kamu khawatir sama Nadine ya?"
Kedatangan mendadak Arvin tadi memang sempat mengagetkannya, untung dia cepat menyesuaikan diri.
Arvin tidak menjawab.
Itu berarti benar.
Sejak menikah dengan Nadine, dalam setahun Arvin paling-paling hanya datang ke rumah Keluarga Wenusa sekali saat Tahun Baru. Sekarang tiba-tiba datang karena khawatir pada Nadine?
Mungkinkah ... Arvin jatuh cinta pada Nadine?