Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 14

Nadine menatapnya dengan waspada, tetap berdiri di seberang meja kerja. "Pak Arvin, kalau Anda ada pertanyaan, aku akan bantu jelaskan semampuku. Kalau nggak bisa jawab, nanti aku sampaikan pada atasanku. Kalau nggak ada hal lain, aku taruh dokumennya di sini dan aku pamit dulu." Dia benar-benar tidak mau berlama-lama di sini! Arvin hanya tertawa pelan dan menggeleng, "Nadine, kamu masih belum sadar di mana letak masalahnya." Kaki Nadine bahkan sudah mengarah ke pintu. Tapi mendengar itu, dia terpaksa menoleh lagi. "Apa?" Arvin menatap Nadine dengan ekspresi setengah tersenyum, tapi tidak menjawab. Dia mengangkat cangkir kopi di sebelah tangannya, hendak menyeruputnya, tapi ternyata sudah kosong. Dia pun menatap Nadine dan alisnya sedikit terangkat. Nadine langsung paham maksudnya, tapi tetap berdiri di tempat dan berkata, "Pak Arvin, aku bukan sekretarismu. Aku nggak punya kewajiban membuatkan kopi untukmu." "Nona Nadine, kamu bukan bawahanku, jadi aku nggak punya kewajiban membimbingmu soal pekerjaan." Nadine, "..." Sungguh menyebalkan! Akal sehatnya bilang kalau sekarang dia seharusnya langsung berbalik dan pergi, tidak peduli pada Arvin. Tapi rasa ingin tahunya yang kuat membuatnya tidak bisa melangkah pergi. Ada masalah? Masalahnya di mana? Apakah masalahnya ada padanya atau di dokumen itu? Setelah bergumul selama dua menit penuh, Nadine kesal dan pergi ke pantry untuk membuat kopi. Arvin selalu minum kopi hitam, jadi Nadine sengaja membuat secangkir kopi latte dengan tiga kali lipat gula, lalu menyerahkannya ke Arvin. Arvin melirik kopinya dan tahu itu latte, tapi tidak berkata apa pun. Dia minum seteguk .... Manis sekali! Rasanya benar-benar tidak enak, untung sopan santun Pak Arvin bagus, dia hanya mengernyitkan alis, tidak langsung memuntahkannya. "Maaf, Pak Arvin. Aku belum pernah melayani orang sebelumnya, jadi nggak begitu bisa melakukan hal seperti ini." Nadine tersenyum, seperti rubah kecil yang baru berhasil menjebak orang. Arvin malas mempermasalahkannya, hanya tertawa pelan penuh arti, "Ya, selama ini aku yang melayanimu." Senyum Nadine langsung membeku, "..." Kenapa kata melayani yang keluar dari mulut pria ini terdengar tidak murni sama sekali? Dengan hubungan mereka sekarang, apakah pantas membicarakan hal semacam itu! "Maaf, Pak Arvin ...." Nadine tersenyum kaku dan kembali ke topik. "Sebenarnya, di mana masalahnya?" "Kenapa dua hari ini kamu nggak makan di kantin?" Arvin tiba-tiba bertanya. "Aku makan di kantin atau nggak, memangnya ada hubungan dengan pekerjaan?" Jantung Nadine tanpa sadar berdetak lebih cepat. Apakah Arvin sedang ... mengkhawatirkannya? Atau peduli padanya? "Nona Nadine, kalau orang luar sampai mengira Grup Gupta menindas karyawan pihak kedua, itu bisa memengaruhi harga saham perusahaan." Dulu Nadine punya tukak lambung, baru dua tahun terakhir ini sembuh. Jangan sampai gara-gara dua hari lembur, penyakit itu kambuh lagi. Nadine menunduk, "Oh, ke depannya aku akan makan di sana ... jadi, Pak Arvin, di mana masalahnya?" "Nana, dunia kerja itu bukan kampus. Semua tindakanmu berkaitan dengan identitasmu," kata Arvin dengan jari-jarinya saling bertaut, nada suaranya singkat dan jelas. Nadine menekan rasa kesalnya dan mencoba berpikir, "Aku karyawan firma hukum, aku hanya menyerahkan dokumen firma ke pihak klien, memang ada ma ...." Masalah? Ada masalah. Nadine berhenti bicara di tengah kalimat. Dia adalah karyawan firma hukum pihak kedua. Hasil kerja pihak kedua seharusnya langsung diserahkan ke divisi hukum pihak pertama, karena merekalah yang menjadi pihak yang saling berhubungan langsung. Sedangkan Arvin adalah bos besar pihak pertama, atasan divisi hukum. Dengan posisinya, dia sama sekali tidak punya wewenang untuk berhubungan langsung dengan Arvin. "Tapi ... dokumen ini disuruh diserahkan langsung untukmu oleh kepala divisi hukum kalian." Suara Nadine tanpa sadar mengecil. "Kalau dia menyuruhmu buka baju dan berbaring di tempat tidurku, kamu juga akan menurut?" "Arvin, kamu!" Alis Arvin sedikit terangkat. Nadine langsung ciut. Memang benar, kepala divisi hukum seharusnya menyuruh bawahannya untuk menyerahkan dokumen ke Arvin. Kalaupun tim pihak kedua mau berhubungan dengan Arvin, seharusnya minimal orang selevel Pak Welton atau bahkan mitra kerja sama yang datang langsung. Mata Arvin memancarkan sedikit rasa puas dan geli. Nadine memang pintar, hanya perlu sedikit petunjuk untuk langsung paham semuanya. Sayang, dia selalu menganggap orang lain terlalu baik. "Kalau begitu, kenapa Dion sengaja menyuruhku masuk?" Suara Nadine terdengar kesal. Arvin merasa lucu dan balik bertanya, "Menurutmu, kenapa dia sengaja?" "..." Karena dia adalah istri Arvin. Nadine mengepalkan tangannya dan berkata dengan marah, "Dion nggak tahu batas antara kerja dan pribadi. Bonusnya harusnya dipotong!" Arvin refleks ingin minum kopi, tapi tangannya baru terulur sedikit lalu ditarik lagi. "Baik." Nadine menatapnya curiga, kenapa dia tiba-tiba begitu mudah diajak bicara? Arvin langsung menekan telepon internal dan memanggil Dion masuk. Dion datang dengan wajah bingung. Dalam hatinya bertanya-tanya, jangan-jangan kalian suami istri ini kalau bertengkar harus ada aku yang mendengarkan? Tapi kalimat pertama dari bos adalah, "Dion, bonus kamu untuk kuartal ini dipotong." Dion, "???" Dia melirik ke arah Nadine, 'Nonya, aku salah apa sama Anda?' Nadine terlihat sangat puas, "Pak Arvin, dokumennya aku taruh di sini, aku balik kerja dulu." Dion yang bonusnya baru dipotong masih harus tersenyum mengantar Nadine keluar. Begitu kembali, dia diam-diam menyingkirkan latte super manis dan menggantinya dengan kopi hitam untuk Arvin. "Bonus akhir tahun dua kali lipat." Arvin membuka dokumen sambil bicara. Dion tertegun, lalu matanya berbinar, "Terima kasih, Bos!" Dia memang melanggar prosedur dengan membiarkan orang pihak kedua mengantar dokumen langsung ke kantor CEO. Tapi kalau yang mengantar itu istri CEO, apa salahnya? Tidak salah sama sekali! Selain itu, Pak Arvin tampak sangat puas! Dion adalah tangan kanan Arvin, teman kuliahnya waktu mereka sekolah di luar negeri. Mereka sudah kenal bertahun-tahun. Tapi dia sendiri bahkan tidak bisa menebak, apa sebenarnya perasaan Arvin terhadap Nadine. Kalau dibilang suka, semua orang tahu Arvin tidak menyukai Nadine. Kalau dibilang tidak suka, hidup Nadine lebih enak daripada istri konglomerat mana pun di lingkaran mereka dan dia punya hak istimewa terbesar di sisi Arvin. Sama seperti kejadian barusan itu, Bos malah memotong bonusnya di depan Nyonya, itu jelas untuk menyenangkan Nyonya! .. "Bagaimana rasanya kerja di perusahaan suami sendiri?" Ariel mengendarai mobil Ferrari barunya datang menjemput Nadine pulang kerja dan matanya penuh rasa ingin tahu. Nadine melempar tasnya ke jok belakang dan mendengus, "Kerja di perusahaannya? Dia adalah ayah pihak pertama, aku hanya pihak kedua, mana pantas ngomong begitu." "Jangan pernah bilang dia adalah ayah pihak pertama di depannya." Ariel mengingatkannya sambil mengemudi. "Kenapa?" "Pria suka dipanggil ayah, apalagi kalau yang panggil itu seorang wanita," kata Ariel sambil mengedipkan mata penuh arti. "..." Nadine langsung paham. "Arvin nggak akan ingin aku memanggilnya begitu." Mungkin dia lebih ingin wanita lain yang memanggilnya begitu. Sekarang Nadine hanya ingin bercerai baik-baik dengan Arvin, tanpa ribut dan drama. Ariel mengangkat jari telunjuk yang menggoyangkannya, "Semua pria sama saja!" "Oh?" Mata Nadine berkilau dan balik menggodanya. "Kamu sudah mengujinya pada suamimu?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.