Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 15

"Mana bisa, aku baru bertemu sekali dengannya setiap dua atau tiga bulan. Siapa tahu di luar sana berapa banyak wanita yang memanggilnya sugar daddy." Ariel dan Darren menikah karena perjodohan darurat, kondisinya tidak lebih baik dari Nadine dan Arvin. Nadine bertanya, "Darren belum balik dari cabang di wilayah selatan? Ini sudah hampir setengah tahun." "Mana aku tahu. Kami hanya pasangan di atas kertas, saling nggak ganggu itu sudah bentuk penghormatan paling dasar." Ariel memutar setir. "Terus kamu dan Arvin sudah tanda tangan surat cerai belum?" "Belum." Selama seminggu ini, hubungan antara Nadine dan Arvin masih tergolong harmonis, sampai-sampai dia sempat lupa soal hal itu. Dia berpikir sejenak, lalu berkata, "Minggu ini aku sudah beberapa kali bertemu Arvin. Aku merasa kami masih bisa berinteraksi dengan damai. Siapa tahu setelah cerai nanti, kami masih bisa jadi ... setengah teman." Ariel menatap Nadine dengan ekspresi aneh, "Tentu saja kalian bisa berhubungan dengan baik. Waktu kecil kamu takut petir, bukankah dia yang menemanimu tidur? Kamu tersesat dan dia yang menemukanmu." "Nona Ariel, itu namanya menjaga! Menjaga! Jangan ngomongnya pakai nada ambigu begitu! Waktu itu aku pergi mencari Kak Rainer, tapi karena dia nggak ada, makanya aku cari Arvin!" Nadine cemberut. Lagi pula Arvin pernah bilang dia manja dan merepotkan. Sejak kecil, dia memang tidak suka Nadine. ... Hari Senin, tim pengacara rapat sepanjang pagi, sibuknya luar biasa. Belum sempat menarik napas, Welton memanggil Nadine, "Nadine, kamu ke kantor CEO sebentar, Pak Arvin ada sedikit pertanyaan." "Aku?" Nadine langsung menerapkan ilmu perkantoran yang dulu dia pelajari dari Arvin. "Aku hanya pegawai magang, sepertinya nggak pantas langsung bertemu dengan Pak Arvin, 'kan?" Welton melirik Nadine, "Kamu nggak mau pergi?" Nadine cepat-cepat mengangguk. Benar-benar tidak mau! Welton kembali menatap dokumen dan berkata dengan nada tidak sabar, "Orang lainnya sedang ada tugas penting. Aku suruh kamu, ya pergi saja!" Nadine, "..." Jadi perkataan panjang lebar tadi hanya sebatas angin lalu? ... Di luar kantor CEO, suasananya kosong melompong. Pintu kantor tidak ditutup dan tidak terdengar suara dari dalam. Nadine mengetuk dua kali, tidak ada jawaban, lalu perlahan mendorong pintu. Di kursi utama duduk seorang wanita berambut panjang bergelombang, dandanan rapi, mengenakan gaun satin merah dari merek mewah dan kalung zamrud melingkar di lehernya. Cantik dengan sedikit pesona menggoda, sampai orang sulit memalingkan pandangannya. "Nadine?" Talia menatapnya kaget, lalu berdiri dengan gembira. "Kenapa kamu ada di sini?" "Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu ada di sini?" Detik itu juga, Nadine baru benar-benar paham kenapa orang sering bilang hari Senin itu sial. Karena memang menyebalkan! Talia seperti baru sadar, takut Nadine salah paham, jadi sempat ragu-ragu. Setelah berpikir sebentar, dia menunjuk ke ruang istirahat yang tertutup, "Kamu mau mencari Kak Arvin? Dia sedang ganti baju di dalam, tunggu sebentar ya." Siang bolong ganti baju? Paling habis melakukan hal yang tidak pantas! Nadine menyindir, "Kamu duduk di sini seperti istrinya saja, nggak takut karyawannya lihat?" Talia seolah tidak merasa ada yang salah, malah berkata sambil tersenyum, "Dulu pernah kelihatan beberapa kali. Semua orang tahu hubunganku dekat dengan Kak Arvin akrab, nggak apa-apa." Pantas saja berani duduk di kursi Arvin! Nadine tidak bicara. Talia menyibak rambut dan menurunkan suara seperti membahas sesuatu dengan Nadine, "Kamu dulu bilang melayani Kak Arvin sangat capek, tapi kenapa aku merasa biasa saja ya?" Nadine melihat segumpal tisu di dalam tong sampah dan seketika merasa muak. Jadi mereka tadi memang .... Pintu ruang istirahat terbuka. Pria tinggi itu keluar sambil merapikan ujung lengan bajunya. Saat melihat Nadine, dia sedikit tertegun. "Maaf sudah mengganggu kalian berdua." Nadine berbalik hendak pergi. "Bu Nadine." Arvin memanggilnya, dengan nada mengingatkan kalau dia adalah klien. Nadine menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Profesional, jangan ribut dengan calon mantan suami. Lalu dia berbalik dengan senyum palsu, "Aku pikir Pak Arvin nggak mau bertemu denganku dulu karena ada wanita cantik di sini." Sebelum Arvin sempat menjawab, Talia bertanya lembut, "Kak Arvin, aku ingin mengobrol berdua dengan Nadine, hanya beberapa menit saja, boleh ya?" Arvin memang hendak melakukan panggilan internasional, jadi dia mengangguk, mengambil ponsel dan keluar dari kantor CEO. Cahaya matahari sore menembus jendela besar, tapi Nadine tidak merasa hangat sama sekali. Dia harus mengakui, Talia memang lihai. Hanya dengan beberapa kalimat, bisa membuat CEO seperti Arvin rela keluar ruangan. "Tanganmu kelihatannya baik-baik saja, aktingmu lumayan juga," kata Nadine, melirik tangan Talia. Talia tersenyum tipis, tapi matanya tidak, "Berkat kamu juga, tanganku memang nggak apa-apa, tapi pergelangan kaki sempat sakit beberapa hari." "Oh ya? Benar-benar kabar bagus." Talia menatap Nadine dengan serius. Ibu Nadine punya seperempat darah keturunan negara Enland. Karena itu, Wajah Nadine luar biasa cantik, memadukan ketegasan wanita barat dengan keanggunan timur. Matanya juga sangat jernih. Kalau sedang lembut, terlihat polos dan tajam kalau sedang marah. Selain itu, Nadine juga pintar, selalu menempati juara pertama di ujian dan lomba apa pun. Sejak kecil, Nadine adalah gadis tercantik di lingkungannya. Disukai teman-teman sebaya, juga disayang para orang tua. Sampai semuanya berakhir ketika dia masuk rumah sakit jiwa! "Nadine, kapan kamu dan Arvin mau cerai?" tanya Talia. Nadine sengaja tidak menjawab, membiarkan Talia penasaran. Jarang-jarang Talia kehilangan kesabaran seperti ini. Tangan di sisinya mengepal, tapi dia berusaha terlihat tenang, "Jangan-jangan kamu menyesal dan nggak mau bercerai lagi?" Nadine menatapnya kaget, tidak paham kenapa dia bisa punya pikiran begitu. "Kamu sudah nggak sabar ingin menggantikanku dan menikah dengan Arvin?" Nadine menyandarkan diri ke meja. "Talia, kamu biasanya nggak serakus ini. Kenapa? Baru sadar punya saingan?" Talia tersedak karena marah dan matanya yang menatap Nadine tampak dingin. Dia segera menenangkan dirinya, "Mana mungkin? Aku hanya peduli sama urusan asmara adikku." Sebenarnya, Talia datang menemui Arvin bukan untuk membahas masalah duta merek. Arvin baru saja membatalkan dua kontrak besar dengan Keluarga Wenusa. Fredi menyuruh Talia datang membujuk Arvin. Kenapa bukan Nadine yang disuruh? Karena kontrak itu dibatalkan setelah Nadine ribut besar di rumah Keluarga Wenusa. Jadi bukan hanya Fredi, bahkan Talia pun merasa kalau pembatalan itu adalah peringatan dari Arvin untuk Fredi, gara-gara dia menampar Nadine! Arvin sedang melindungi Nadine. Kesadaran itu membuat Talia jadi waspada. "Talia, bagaimana kalau kita melakukan transaksi?" Ada hal yang ingin Nadine ketahui. "Kamu kasih tahu aku, siapa yang tiga tahun lalu memberi tahu Keluarga Gupta untuk datang mencariku dan Arvin ke hotel waktu itu? Nanti aku kasih tahu kamu kapan aku cerai. Bahkan kalau kamu mau, aku bisa kasih tahu juga, Arvin sebenarnya ada niat menikahimu atau nggak."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.