Bab 6
Malam itu, Juan kembali ke apartemen dengan kepala masih terbalut perban.
"Raina? Kamu pulang? Kenapa nggak istirahat lebih lama di rumah sakit?" Nada bicaranya terdengar biasa saja, seolah kata-kata yang dia ucapkan siang tadi tak pernah terjadi.
Raina menahan perih yang mengoyak hatinya, juga rasa mual yang menggelayuti dada. Dengan suara pelan, dia menjawab, "Aku lelah menjagamu semalaman. Jadi aku pulang sebentar untuk istirahat."
Juan melangkah mendekat, mencoba merangkulnya. Suaranya terdengar manja, seolah menuntut pengertian. "Lihat, aku sampai terluka begini demi kamu. Jangan marah lagi, ya?"
Saat berbicara, tangan Juan mulai bertindak tak sopan, mencoba mencium Raina.
Raina langsung mendorongnya dengan keras sekali lagi.
Wajah Juan akhirnya berubah muram. "Raina, aku sudah berkali-kali menenangkanmu, kenapa kamu masih begini? Bukankah semuanya sudah baik-baik saja?"
"Apa kamu cuma memikirkan hal seperti itu saat bersamaku?" Suara Raina bergetar, nyaris menangis, penuh keputusasaan.
"Tentu saja nggak!" jawab Juan dengan cepat, aktingnya begitu meyakinkan. "Yang aku suka itu kamu dan kepribadianmu!"
Raina menatapnya, lalu tiba-tiba tersenyum getir, hingga air matanya pun ikut mengalir.
Dia tak berkata apa-apa lagi, hanya menatap Juan dengan sorot mata yang dingin dan penuh kepedihan.
Tatapan Raina membuat Juan merasa tak nyaman, bahkan muncul rasa bersalah yang tidak dia pahami. Tapi rasa kesal segera menguasainya. Dia mendengus dingin, meraih jaketnya, lalu membanting pintu dan pergi.
Raina tahu, malam ini Juan tidak akan kembali. Untuk pertama kalinya, dia akhirnya bisa bernapas lega.
Keesokan harinya, Raina pergi ke kampus seperti biasa. Di sana, ketua klub mendekatinya dengan penuh semangat. "Raina, akhir pekan ini kita ada acara kumpul klub dan makan barbeque. Kamu harus ikut, ya!"
Raina ingin menolak dengan suara pelan, "Tapi, aku ... "
"Tolong jangan menolak, ya!" Ketua klub menarik tangan Raina, menurunkan suara, "Em ... sekalian ajak pacarmu juga, Adrian, gimana? Perusahaannya kan besar, dan banyak kakak senior yang sebentar lagi magang ingin menjalin hubungan baik sama dia. Tapi kami nggak punya akses langsung ke dia. Kami cuma bisa mengandalkanmu ... "
Raina tahu, kemungkinan besar Adrian tidak akan membalas pesannya. Namun, selama ini teman-teman klubnya cukup baik padanya, jadi Raina tak tega menolak. Dengan berat hati, dia pun memberanikan diri mengirim pesan.
Tak disangka, saat acara barbeque tiba, Adrian benar-benar datang.
Namun, di samping Adrian, ada Nadya yang tersenyum lembut dan memesona.
Saat melihat Raina, Adrian hanya melirik sekilas dan berkata dengan suara tenang tanpa gelombang emosi, "Waktu kamu kirim pesan, aku sedang bersama Nadya, jadi kami datang bersama."
Hati Raina terasa seperti ditusuk jarum. Dia hanya mengangguk pelan, dan memilih untuk diam.
Sepanjang acara barbeque, perhatian Adrian sepenuhnya tertuju pada Nadya.
Setiap potongan daging yang matang langsung dia berikan padanya, bahkan dengan telaten membuang bagian berlemak terlebih dahulu. Minuman pun dia siapkan lengkap dengan sedotan sebelum disodorkan. Saat sudut bibir Nadya terkena saus, Adrian dengan refleks mengambil tisu dan membersihkannya tanpa ragu. Raina belum pernah merasakan perhatian yang begitu lembut dan menyeluruh itu, bahkan sekali pun.
Tanpa bisa dicegah, pikirannya kembali ke dua tahun terakhir.
Karena Adrian selalu hidup dalam kenyamanan dan kemewahan, Raina pun selalu dengan hati-hati menjaga perasaannya, mengingat semua kesukaannya, dan menyesuaikan diri dengan setiap kebiasaannya, sekecil apa pun itu.
Dia bahkan mengira bahwa Adrian memang memiliki sifat dingin seperti itu sejak lahir.
Baru hari ini, Raina sadar bahwa Adrian bukannya tak tahu caranya memperhatikan atau bersikap lembut, melainkan karena orang yang mampu membuatnya rela menundukkan ego sejak awal memang bukan dirinya.
Raina bahkan melihat Nadya memindahkan lauk yang tidak dia suka ke piring Adrian dengan santai. Adrian hanya mengerutkan alis sedikit, lalu benar-benar memakannya.
Padahal Raina ingat betul, Adrian punya kebiasaan sangat bersih. Dia tidak pernah menyentuh makanan yang sudah dipegang orang lain.
Pernah sekali, Raina tanpa sengaja mengambil lauk untuknya dengan sendok sendiri, dan Adrian langsung menunjukkan wajah dingin. Makanan itu pun tak disentuhnya lagi.
Ternyata, semua prinsip dan kebiasaan dapat dilanggar di depan orang yang benar-benar disukai.
Saat acara barbeque berlangsung, semua orang mulai bermain truth or dare.
Orang pertama yang kalah adalah Nadya, dan hukumannya adalah minum tiga gelas minuman keras.
Begitu Nadya menunjukkan ekspresi ragu dan kesulitan, Adrian langsung mengambil gelas dari meja. Nada suaranya tegas dan tak memberi ruang untuk bantahan. "Dia nggak bisa minum, biar aku saja."
Tanpa banyak bicara, Adrian menenggak ketiga gelas itu satu per satu, wajahnya tetap tenang, seolah itu hal biasa.
Kemudian, giliran Raina yang kalah dalam permainan. Hukumannya adalah memakan satu tusuk daging yang dilumuri saus super pedas.
Begitu rasa pedas menyerang, air matanya langsung mengalir deras, dan dia tak bisa berhenti batuk.
Secara refleks, dia menoleh ke arah Adrian, mencari sedikit perhatian atau kepedulian. Tapi Adrian sedang sibuk berbicara dengan Nadya. Bahkan satu tatapan pun tak dia berikan, seolah tak melihat betapa Raina sedang kesulitan.
Hati Raina benar-benar mati rasa setelah diabaikan begitu saja.
Saat semua orang berkumpul di sekitar Adrian, dan sibuk menanyakan soal magang dan masa depan, hanya Raina dan Nadya yang duduk berhadapan di sisi lain meja.
Nadya menatap Raina dengan senyum penuh kemenangan dan nada sinis yang tak berusaha disembunyikan. "Raina, kamu juga pacarnya Adrian, 'kan? Tapi dari awal sampai akhir acara, dia terus di sisiku. Bahkan dia tak menoleh ke arahmu sekali pun."
Raina tak menjawab. Dia hanya meneguk air di gelasnya, diam-diam menelan rasa pahit yang tak bisa diucapkan.
"Aku nggak tahu kenapa Adrian dulu bisa memilih kamu," ucap Nadya dengan nada menyindir, "Tapi sebagai pacar, kamu benar-benar gagal. Kalau aku jadi kamu, aku sudah tahu diri dan pergi dari awal. Lihat dirimu, foto pribadimu tersebar ke mana-mana. Dan dengan latar belakang keluargamu, kamu jelas nggak selevel dengan orang-orang di lingkungan kami. Kamu pikir cuma karena orang-orang memanggilmu primadona, kamu benar-benar pantas disebut begitu? Bagian mana dari dirimu yang layak untuk Adrian?"
Raina tetap diam, seolah tak mendengar sepatah kata pun dari Nadya.
Sikapnya yang tenang membuat Nadya seperti memukul kapas, tak ada perlawanan, tak ada reaksi. Baru saja Nadya hendak melanjutkan ejekannya, seorang pelayan datang untuk mengganti arang di panggangan meja mereka.
Mungkin karena tangannya tergelincir, nampan berisi bara merah menyala tiba-tiba miring, dan arang panas itu tumpah, langsung mengarah ke sisi tempat Nadya dan Raina duduk.
"Ah!" Nadya menjerit ketakutan.
Dalam sekejap, Adrian melompat maju tanpa ragu, langsung memeluk Nadya erat-erat, melindunginya dengan tubuhnya. Dia membalikkan badan, menggunakan punggungnya sendiri untuk menahan semburan bara panas yang terlempar ke arah mereka.