Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Diana menghela napas lega dan mengusap pelipisnya. "Nenek capek. Nenek akan tinggal di sini sebulan ini. Kamu jangan macam-macam." Albert mengiakan. Albert menyuruh Hendra mengatur beberapa pembantu yang patuh untuk ke sana malam itu juga. Ketika Albert kembali ke kamar tidur utama, Jovian kebetulan berjalan keluar. Jovian adalah dokter dan sifatnya lebih ramah dibanding yang lain. "Aku pergi dulu. Kondisinya butuh pemulihan secara bertahap. Oh, ya, lain kali bawa dia ke rumah sakit untuk pemeriksaan lengkap." "Oke." Jovian awalnya ingin membicarakan hal lain, tetapi memilih untuk pergi karena dia merasa suasana hati Albert saat ini sedang tidak baik. Albert berdiri di depan kamar tidur utama untuk waktu yang lama. Tangannya memegang gagang pintu. Setelah ragu sejenak, Albert perlahan mendorong pintu dan masuk. Lampu di dalam kamar redup. Sally tampak sangat patuh dalam keadaan mata terpejam. Albert menutup pintu kamar, tetapi tidak segera mendekat ke ranjang. Albert berhenti dua meter darinya. Wajah Sally merah padam karena demam. Bulu matanya bergetar, seperti sedang bermimpi buruk. Setelah berdiri selama setengah jam, Albert mematikan lampu kamar. Alih-alih berbaring di ranjang, dia merebahkan diri di sofa dekat jendela. Sally merasa dirinya seperti berada di tengah lautan api. "Haus." "Albert, ambilkan air ...." Sally bergumam tak jelas, lalu merasakan sesuatu yang dingin memasuki mulutnya. Sally merasa lega karena perasaan terbakar itu berkurang banyak. Keesokan pagi, Sally membuka matanya dan melihat langit-langit yang familier. Sally secara refleks menoleh ke samping. Tidak ada tanda-tanda pemakaian di sebelahnya. Dalam tiga tahun terakhir, Sally sudah terbiasa memperhatikan detail-detail seperti itu. Ada gelas kosong di meja samping tempat tidur. Sally segera duduk dan melihat jam. Sudah hampir pukul setengah tujuh. Sally masih harus pergi menjemput Irvan. Sally buru-buru turun dari ranjang, mandi, lalu pergi ke lantai bawah. Tanpa diduga, Sally melihat Diana duduk di bawah sambil membaca koran. "Nenek, kenapa kamu ...." Diana tidak begitu suka bermalam di luar. Mengapa Diana tidak pulang kemarin malam? Melihat Sally datang, Diana mengelus dadanya karena emosi. "Tahukah kamu betapa kamu membuat orang khawatir semalam? Kamu langsung pingsan begitu saja. Sally, kenapa kamu nggak menjaga kesehatanmu? Kamu harus makan yang banyak hari ini." "Nenek, aku harus berangkat kerja. Aku akan telat sebentar lagi." "Perusahaan mana? Nenek akan suruh Albert telepon bos kalian untuk meliburkanmu." Sally menunduk dan berjalan ke arah pintu. "Nggak perlu, bosku sangat baik." "Sally, tunggu, kamu belum sarapan." Setelah itu, Diana memelotot ke arah Albert. "Kenapa kamu diam saja? Antar Sally berangkat kerja!" Sally sudah berganti sepatu. Dengan ekspresi lembut, Sally berkata tanpa melihat Albert. "Nenek, benar-benar nggak perlu. Aku pakai mobil bos, harus pergi menjemputnya." Diana sangat khawatir. Kondisi fisik Sally buruk dan Sally tidak makan sarapan, bagaimana jika Sally pingsan? Diana begitu cemas hingga menendang Albert yang duduk di samping. "Cepat kamu cari tahu di mana Sally bekerja. Sally nggak pernah bekerja sebelumnya. Bagaimana kalau Sally dirugikan? Dulu Sally murah senyum, tapi tiba-tiba jadi pendiam dalam beberapa tahun ini. Nenek pun khawatir dia dianiaya di luar." Rupanya semua orang menyadari bahwa Sally jarang tersenyum sekarang. Albert duduk di tempatnya. Entah mengapa, hatinya jengkel. "Sebaiknya Nenek pergi melakukan tes parental saja. Mungkin dialah cucumu." Diana mengelus dada lagi karena emosi. Dia duduk di samping. "Mulutmu ini sangat tajam. Nggak heran Sally jadi jarang senyum." Albert berdiri, terlalu malas untuk sarapan. " Ya, semua itu salahku. Akulah yang memaksa Sally nggak makan. Coba lihat sendiri, kamarnya penuh barang mewah, dari pakaian musiman terbaru setiap bulan, tas-tas mahal, dan perhiasan bernilai miliaran. Aku nggak pernah pelit pada Sally. Jadi istri rumah tangga saja nggak becus, bahkan nggak mampu mengatur dua pembantu. Itu bukti bahwa Sally nggak kompeten." Albert merapikan manset sambil melirik semeja hidangan itu. "Nenek makan di rumah saja, aku pergi ke kantor." Diana benar-benar pusing. Kelihatannya, dia harus menanyakan langsung pada Sally malam ini tentang apa isi pikirannya. Begitu masuk ke mobil, Albert bersandar di kursinya. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Hendra menginjak pedal gas. Hendra menebak bahwa Albert tidak tidur sepanjang malam. Albert yang memejamkan mata tiba-tiba berkata, "Suruh orang renovasi kolam ikan di Vila Senorin. Dia nggak suka kolam ikan yang sekarang." "Baik, Pak Albert." "Apa pun permintaan dari Vila Senorin, penuhi semuanya. Kalau nomorku nggak bisa dihubungi, kamu urus sendiri." Albert sesekali pergi ke daerah terpencil untuk inspeksi lapangan sehingga ponselnya kadang kehilangan sinyal dalam waktu singkat. "Pak Albert, aku mengerti. Para dekorator akan segera ke sana nanti." Albert mengangguk. Lalu, dia menatap ke luar jendela dan diam, entah sedang memikirkan apa. Ketika Sally sampai di rumah Irvan, dia sudah terlambat 20 menit. Irvan yang berpakaian jas dan dasi berkata dengan sarkas, "Kamu nggak bisa telepon dulu kalau kamu telat? Kalau aku ada rapat penting di luar negeri pagi ini, apa kamu sanggup menggantinya?" "Pak Irvan, mohon maaf." Irvan kesal, tetapi teringat kontrak yang ditandatanganinya tadi malam, dia membuka pintu mobil dan masuk. "Jangan diulangi lagi. Kalau kamu nggak mau kerja, banyak orang yang mau melakukannya." Ketika Sally hendak menyetir pergi, seorang wanita seumuran Irvan keluar dari vila pada detik berikutnya. Wajah wanita itu berubah masam begitu melihat Sally. "Irvan, siapa dia?" "Asisten baruku." Wanita itu menyeringai sinis. "Malah cari yang muda dan cantik begini. Kamu bahkan nggak sudi berpura-pura?" Rambut wanita itu agak berantakan. Dia langsung mendekati kursi pengemudi dan ingin menjambak rambut Sally melalui jendela yang terbuka. "Wanita hina! Turun kamu!" Sally mengelak, lalu bertanya pada Irvan yang duduk di belakang, "Pak Irvan, jalan sekarang?" Kejengkelan melintas di wajah Irvan. "Jalan." Sally bergegas memundurkan mobil, berbelok, dan melaju pergi. Wanita itu berhenti di tempatnya, berteriak sambil memegang kepalanya dan mengentakkan kaki. Melalui kaca spion, Sally melihat wanita itu berjongkok dan menangis. Sally tidak bertanya apa-apa. Sesampainya di kantor, tugas Sally hanya sebatas merapikan dokumen. Tidak ada kesempatan mempelajari keterampilan teknis. Selebihnya, Sally hanya menemani Irvan bersosialisasi. Pada siang hari, Irvan meminta Sally mengantarkan dokumen ke Grup Petro. Irvan yang dulunya adalah petinggi di Grup Petro masih berteman dengan beberapa orang di sana. Dokumen tersebut berkaitan tentang investasi proyek ini. Kedua temannya juga berinvestasi dan sekarang mereka perlu menandatangani kontrak. Sally tidak menolak. Sally mengambil dokumen itu dan menyetir menuju Grup Petro. Sally tidak pernah pergi ke Grup Petro sebelumnya. Di depan meja resepsionis, Sally menanyakan lokasi eksekutif senior Grup Petro yang akan ditemuinya kali ini. Staf resepsionis mengernyit ketika melihat Sally. "Silakan hubungi Pak Agus dan buat janji temu. Lantai paling atas memerlukan kartu khusus. Aku nggak bisa membantumu lewat tanpa izin." Ketika Sally ingin berbicara, dia melihat Octaviani berjalan masuk dari pintu kaca putar. Saat melihat Sally, Octaviani berjalan mendekat dan menyapanya dengan antusias. "Sally? Kamu datang untuk menengok Albert?" Octaviani tampaknya menyadari bahwa Sally tidak punya akses untuk pergi ke lantai paling atas. Senyuman tersungging di bibirnya. Ketika melihat Octaviani, staf resepsionis segera bertanya, "Bu Octaviani, apa kamu mengenal orang ini?" "Kenal, tapi nggak akrab. Aku datang untuk bertemu Albert, aku naik dulu." "Baik, Bu Octaviani. Hati-hati di jalan." Octaviani tersenyum tipis. Dia mengeluarkan kartu akses untuk melewati pos di lobi, lalu berjalan menuju lift.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.