Bab 9
Octaviani tidak bekerja di Grup Petro, tetapi sangat familier dengan tempat itu.
Sementara Sally yang telah menjadi istri Albert selama tiga tahun bahkan tidak tahu di mana letak pintu masuk Grup Petro.
Dulu Sally pasti akan sakit hati, tetapi sekarang Sally tidak merasakan apa-apa selain sesak dada sejenak. Setelah itu, Sally mengambil ponselnya dan menelepon Irvan.
Irvan tampak kaget. "Kamu nggak punya kartu akses?"
"Ya."
Irvan mengusap pelipisnya, tidak banyak bertanya tentang urusan pribadi Sally. "Aku minta temanku turun, langsung tanda tangan kontrak di lobi saja. Lagi pula, persyaratannya sudah disepakati sebelumnya."
"Oke. Maaf sudah merepotkanmu, Pak Irvan."
Sally duduk di sofa lobi dengan tegak dan menunggu dalam keheningan.
Namun, masuk lagi seorang wanita dari pintu putar. Wanita itu memandang sekeliling dan tertuju pada Sally. Lalu, dia berjalan mendekat.
"Dasar genit! Kamu wanita simpanannya, 'kan? Beraninya kamu datang ke rumahku? Kuhajar kamu!"
Ketika Sally mendongak, wanita itu langsung menyiram sebotol air ke arahnya.
Sally tidak dapat menghindar tepat waktu. Air pun mengguyur kepalanya.
Wanita itu adalah istri Irvan. Dia mengikuti mobil Irvan sejak pagi dan meyakini bahwa Sally adalah wanita simpanan Irvan di luar sana. Wanita itu melangkah mendekat, langsung merobek beberapa kancing kemeja Sally.
"Dasar hina! Pelakor nggak tahu malu! Cepat lihat, sekarang pelakor bahkan berani datang ke rumah dan menantang sang istri!"
Lobi Grup Petro cukup ramai. Mendengar teriakan itu, semua orang menoleh ke sana.
Sally memegang erat kerahnya dan mendorong wanita itu. "Aku asisten Pak Irvan, bukan pelakor. Tolong selidiki dengan jelas lain kali, jangan sembarangan menuduh orang."
Sayangnya, wanita yang sedang dalam amarah itu tidak mau mendengar apa pun. Tangannya langsung meraih rambut Sally untuk menjambaknya.
Sally mundur selangkah. Dari sudut matanya, dia melihat seseorang keluar dari lift. Yang paling depan adalah Albert, dengan Octaviani di sampingnya. Di belakang mereka, ada beberapa eksekutif senior Grup Petro.
Albert memandang ke arah mereka dengan tatapan dingin, sedangkan Octaviani menutupi mulutnya yang terbuka lebar dengan tangan. "Apa mungkin ada kesalahpahaman?"
Wanita itu memegang ujung pakaian Sally dan menangis histeris.
"Wanita hina! Pelakor! Wajahmu sudah jelas bukan wanita baik! Kamu dan Irvan pasti sudah tidur bersama di kantor. Benar-benar dosa! Aku sudah menemaninya belasan tahun, tapi malah diperlakukan seperti ini!"
Sally mengernyit. Dia terdorong ke belakang.
"Sudah kubilang, aku bukan pelakor."
Wanita itu menangis selama beberapa saat, lalu berlutut.
"Kumohon, tinggalkanlah Irvan. Kumohon padamu."
Wanita itu mengetukkan kepalanya ke lantai. Sang istri bersujud pada pelakor dan memohon pelakor untuk pergi. Drama itu sungguh mencengangkan. Banyak orang mengambil ponsel mereka dan mulai mengambil foto.
Tidak ada yang bisa Sally bicarakan dengan wanita tak rasional seperti itu. Jika berlama-lama di sana, hanya dia yang akan dibuat malu.
Sally hendak melangkah pergi. Dari sudut mata, dia melihat Albert sudah pergi. Di samping, Octaviani memanjangkan leher dan berbicara dengan Albert dengan wajah ria. Mereka tampak begitu serasi.
Kaki Sally tiba-tiba tak bisa bergerak. Wanita itu memanfaatkan kesempatan untuk menyambar vas bunga di atas meja dan mengayunnya ke arah Sally.
"Matilah kamu! Wanita hina!
Sally yang kondisi kesehatannya memang buruk pingsan seketika.
Dengan linglung, Sally melihat seseorang berlari dengan cepat ke arahnya. Sally sampai-sampai mengira dirinya berhalusinasi.
Akan tetapi, Sally tidak bisa melihat lebih lama lagi. Sesuatu mengalir perlahan dari dahinya dan mengaburkan pandangannya.
Ketika Sally sadar lagi, dirinya berada di rumah sakit.
Yang berjaga di samping tempat tidurnya adalah Irvan. Wajah Irvan tampak sangat muram. "Aku nggak nyangka dia akan membuntutimu. Sudahlah, kali ini aku yang menyeretmu ke dalam masalah."
Wajah Irvan terlihat letih. "Aku nggak punya wanita simpanan di luar, tapi dia nggak percaya. Sudah kujelaskan berulang kali, tapi dia selalu menuduh tanpa dasar. Aku nggak tahan lagi, jadi aku minta cerai. Dia malah lebih yakin aku selingkuh. Sudah dua tahun dia terus-menerus membuat masalah di kantor. Setelah keluar dari Grup Petro, awalnya aku bekerja di perusahaan besar. Tapi di tiga perusahaan berturut-turut, posisiku hancur karena ulahnya. Itulah kenapa aku akhirnya bekerja di perusahaan sekarang ini."
Wajar saja. Sally sudah heran sebelumnya, mengapa seseorang yang pernah mencapai posisi tinggi di Grup Petro bisa betah di perusahaan kecil seperti itu. Rupanya ada alasan pahit di baliknya.
"Pak Irvan, apakah kamu yang membawaku ke rumah sakit?"
Tebersit sedikit kebingungan di mata Irvan. "Aku datang setelah diberitahu oleh polisi. Sepertinya seseorang dari Grup Petro melapor polisi."
Sally mengangguk. Dia sepertinya melihat Albert sebelum pingsan.
Dia benar-benar gila. Sudah tidak cinta lagi, tetapi di saat genting seperti itu, pikirannya malah kembali ke pria itu.
"Sally, biaya pengobatan akan kutanggung. Untuk kerugian mental, sudah kutransfer seratus juta ke rekeningmu. Bisakah kita selesaikan ini secara damai?"
Sally bukan tipe pendendam. Dia justru menangkap aura kematian dari Irvan.
Dulu Irvan penuh semangat dan berambisi, bahkan sudah mencapai posisi tinggi di Grup Petro pada umur 36 tahun. Namun, hanya dalam tiga tahun, Irvan seperti telah menua puluhan tahun. Penuaan itu bukan hanya secara fisik, melainkan secara jiwa.
Jika istri Irvan benar-benar bersikeras menghancurkan karier Irvan, itu seperti lintah yang menempel erat dan mengisap hidupnya perlahan-lahan.
"Pak Irvan, bagaimana dengan istrimu?"
"Ditahan di kantor polisi. Polisi sedang menunggumu untuk siuman."
Sally mengangguk, lalu mengambil ponselnya. Memang ada notifikasi pemasukan dana pada rekeningnya.
Sally sedang membutuhkan uang. Seratus juta sudah termasuk banyak.
"Oke, aku akan bicarakan dengan polisi untuk menyelesaikannya secara damai. Tapi tolong beri tahu istrimu, kita hanyalah atasan dan bawahan."
Irvan mengernyit, kembali merasa sakit kepala. "Kalau dia mau mendengarkan, nggak akan bisa terjadi hal seperti ini. Ke depannya, menjauhlah darinya."
Kepala Sally dibalut kain kasa. Lukanya kali ini tidak parah, tetapi dengan seratus juta yang didapatnya, Sally justru merasa itu cukup menguntungkan.
Menjelang sore, Sally sudah keluar dari rumah sakit. Sally mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari rumah sewaan di sekitar.
Sally hanya punya uang seratus dua puluh juta, harus digunakan secara hemat.
Sally berdiri di pintu keluar rumah sakit. Sudah terlalu sore untuk melihat-lihat rumah. Malam ini, dia terpaksa menginap di hotel saja.
Baru saja Sally berencana naik taksi, sebuah mobil perlahan berhenti di depannya. Dari jendela mobil yang terbuka, terdengar suara seorang pria.
"Sally?"
"Kak Adrian?"
Itu adalah kakak laki-laki Albert, Adrian Petro.
Adrian keluar dari mobil dan mengernyit ketika melihat dahi Sally yang diperban perban. Tangannya terangkat hendak menyentuh, tetapi Sally menghindar.
"Kenapa bisa begini? Albert nggak menemanimu?"
Adrian sangat lembut dan cukup baik padanya. Sally sangat memercayai pria ini.
"Kak Adrian, aku akan bercerai dengan Albert."
Ada sesuatu yang melintas kilat di mata Adrian. Adrian membukakan pintu mobil. "Kamu masuk dulu. Apa kamu punya tempat tinggal sekarang?"
Sally duduk di kursi belakang dan menatap ke luar jendela. "Aku ingin menyewa rumah di dekat kantor."
"Di sekitar Jalan Harmoni? Aku punya rumah di dekat sana, nggak dipakai. Kamu bisa pindah ke sana."
"Kak Adrian, terima kasih, tapi nggak perlu."
"Buat apa kamu sungkan denganku? Propertiku banyak."
Akan terkesan seperti mencari perhatian jika dia menolak terus. Mata Sally memerah. "Oke."
Adrian mengangkat tangannya dan membelai kepala Sally.
Jendela mobil tidak ditutup. Di kejauhan, sebuah mobil terparkir diam di bawah pohon besar, seolah-olah sudah lama menunggu di sana.