Bab 1
Yasinta Wistara jatuh hati pada sahabat kakaknya.
Usia pria itu enam tahun lebih tua darinya, karena itu dia menyimpan perasaannya dengan sangat hati-hati.
Sampai pada suatu malam, dia tak sanggup lagi menahan perasaannya. Di bawah cahaya lampu yang temaram, dia diam-diam mengecup pria yang sedang mabuk itu. Namun, saat hendak pergi, pandangannya langsung tertahan oleh sepasang mata yang mendadak terbuka.
Pria itu mengangkat kelopak matanya dengan sikap santai. "Mau Kakak ajarkan cara berciuman? Sayangnya Kakak nggak tertarik sama gadis kecil."
Wajah Yasinta memerah menahan malu, namun dia tetap memberanikan diri bertanya, "Jadi menurutmu aku masih kecil? Nggak apa-apa, aku akan bertambah dewasa!"
Hardy tertegun sejenak, lalu tersenyum ringan. "Baiklah, kalau begitu. Tunggu sampai umurmu dua puluh dua tahun. Kalau saat itu kamu masih suka padaku, aku akan mempertimbangkannya."
Saat itu, jantungnya berdegup kencang. Sejak hari itu, dia selalu berada di dekat Hardy, hari demi hari, hingga usianya dua puluh dua tahun.
Dia tak sabar menemui Hardy untuk menagih janji, namun di depan pintu ruang VIP, dia justru mendengar tangisan bayi.
Dia terdiam beberapa detik, menajamkan pandangan, dan melihat Hardy sedang menggendong seorang bayi yang menangis keras sambil menenangkannya.
Di sekelilingnya, para sahabat mereka menutup telinga, dengan wajah-wajah yang tampak tersiksa.
"Hardy, ini keterlaluan. Demi menolak gadis kecil itu, kamu sampai mencari seorang bayi untuk menipunya dengan alasan sudah jadi ayah?"
Kepala Yasinta berdengung, pikirannya mendadak kosong.
"Lalu harus bagaimana?" Suara Hardy terdengar enggan, nada yang begitu dikenalnya. "Hari ini dia genap dua puluh dua tahun, datang untuk menagih janji lama."
"Memangnya kamu begitu nggak sukanya pada Yasinta? Padahal gadis itu cukup baik, cantik, penurut, dan sangat setia padamu ... "
"Ini bukan soal suka atau nggak." Nada suara Hardy tiba-tiba menjadi berat. "Kalian tahu, siapa yang selalu ada di hatiku."
Ruangan itu hening sejenak, lalu pecah oleh tawa penuh pengertian.
"Sheila, ya! Pantas saja ... Menurutku kamu terlalu banyak berpikir. Dengan wajahmu itu, siapa yang nggak tergila-gila padamu? Mana mungkin Sheila menolak? Kamu saja yang terlalu berhati-hati."
"Bertahun-tahun aku nggak tahu bagaimana harus membuka pembicaraan, takut kalau mengatakannya, kami bahkan nggak bisa berteman lagi. Kebetulan, urusan Yasinta ini ... bisa dijadikan pemicu."
Terdengar suara Hardy berbicara sambil tersenyum, "Aku bilang pada Sheila, ada seorang gadis kecil yang terus mengejarku dan aku nggak tahu bagaimana melepaskan diri. Aku ingin dia berpura-pura jadi pacarku untuk sementara waktu, lalu kami muncul bersama bayi yang kupinjam ini di depan gadis kecil itu, kemudian mengadakan sebuah pernikahan. Dengan begitu, Yasinta akan menyerah, dan hubunganku dengan Sheila juga bisa makin dekat. Setelah pernikahan palsu itu selesai, aku akan menyatakan perasaanku pada Sheila secara langsung."
Mendengar rencana Hardy yang jitu, sekali dayung, dua pulau terlampaui, semua orang berdecak kagum dan spontan bertepuk tangan.
Di tengah tawa riuh itu, tak seorang pun menyadari Yasinta yang berdiri di luar ruang VIP.
Kotak kue terlepas dari tangannya, menimbulkan suara benturan yang berat.
Dia tak lagi punya keberanian untuk mendorong pintu. Air mata membasahi wajahnya, dan dalam keadaan linglung dia berbalik lalu berlari pergi.
Hujan di luar klub eksklusif turun dengan deras. Yasinta berlari kencang, membiarkan hujan membasahi gaun yang telah dia siapkan dengan penuh hati-hati.
Ternyata, Hardy tidak pernah menyukainya. Ternyata, selama ini cintanya bertepuk sebelah tangan.
Sejak usia empat belas tahun, dia jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap pria itu.
Hari itu, sepulang sekolah, kakaknya tidak datang menjemput sehingga dia diadang beberapa preman di sebuah gang. Kebetulan Hardy lewat, menegur para pemuda itu, dan menyelamatkannya.
Matanya bengkak karena menangis. Hardy melemparkan jaketnya padanya, lalu menyerahkan dua batang cokelat sambil bercanda dengan senyum di wajahnya.
"Dasar cengeng, ingusmu sampai keluar. Kakakmu masih main basket. Ayo, Kakak antar pulang."
Hari itu, Yasinta merasakan cokelat termanis dalam hidupnya, dan untuk pertama kalinya, dia menyukai seseorang.
Berkat kakaknya, Yonan Wistara, dia hampir setiap hari bisa bertemu dengan pria yang disukainya. Perasaan cinta seorang gadis muda pun tumbuh liar seperti sulur di musim kemarau.
Dia belajar membuat bekal makan siang, menyiapkan belasan kotak untuk dibawa kakaknya ke sekolah, hanya agar Hardy bisa mencicipi masakannya.
Dia mencari tahu kesukaan Hardy, menyiapkan berbagai hadiah dengan saksama, dan selalu mencari kesempatan untuk memberikannya pada hari-hari perayaan.
Demi pria itu, dia melepaskan kesempatan studi ke luar negeri dan memilih tinggal di Kota Jindaya, hanya untuk menunggu hingga usia dua puluh dua tahun ...
Dia menunggu selama delapan tahun, mengira akhirnya keinginannya untuk bersama pria itu akan terwujud.
Namun, baru hari ini Yasinta menyadari bahwa perasaannya, bagi Hardy, tak lebih dari beban dan belenggu.
Tak tahu sudah berlari sejauh apa, akhirnya dia berhasil menenangkan diri. Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi kakaknya, Yonan.
"Kak," suaranya tersendat. "Aku sudah memikirkannya. Aku bersedia pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi. Tentang ... sahabat baik yang pernah Kakak sebutkan itu, aku juga mau berkenalan dengannya."
Selama bertahun-tahun, orang-orang di lingkaran mereka semua tahu bahwa Yasinta mengejar Hardy.
Setiap kali melihatnya begitu berkeras, kakaknya selalu tampak ingin mengatakan sesuatu tapi menahannya.
Lalu secara tidak langsung Yonan memperkenalkan pria-pria lain padanya, berharap dia benar-benar menghapus perasaannya terhadap Hardy.
Dan sahabat yang berada di luar negeri ini, sudah menjadi pria ke-18 yang Yonan perkenalkan padanya.
Kakaknya berkata bahwa sahabat itu tinggi dan tampan, sama sekali tidak kalah dari Hardy. Karena kebetulan Yasinta juga belajar desain, pergi ke luar negeri untuk beberapa tahun akan sangat cocok ...
Kalau dipikir kembali, mungkin dia memang sudah lama tahu bahwa hati Hardy sudah tertuju pada orang lain, dan sengaja menggunakan cara ini agar dia tidak terluka lebih dalam.
Suara di seberang telepon terdiam beberapa detik. [Kamu ... sudah tahu semuanya?]
Yasinta memejamkan mata. Air hujan bercampur air mata mengalir di pipinya. "Apa dia benar-benar sangat mencintai Sheila?"
[ ... Ya.]
"Kalau begitu, aku mendoakan agar dia mendapatkan apa yang diinginkannya." Dia mengusap wajahnya. "Aku juga akan menuruti keinginannya, dan berhenti menyukainya."
Sesampainya di rumah, Yasinta membuka kopernya hampir tanpa berpikir, lalu mulai merapikan pakaian.
Ponselnya bergetar satu kali, layar pun menyala.
Hardy, [Kenapa nggak datang?]
Dia menatap pesan itu cukup lama, hingga pesan kedua menyusul.
Hardy, [Gadis kecil, aku sudah punya pacar. Anakku pun sudah lahir, dan kami akan segera menikah. Berhentilah menyukaiku.]
Lalu, dia mengirim dua foto.
Satu foto telapak kaki kecil seorang bayi, dan satu lagi sebuah undangan pernikahan yang indah.
Yasinta menatap layar lama sekali, lalu hanya membalas dengan satu kata.
[Oke.]
Setelah pesan itu terkirim, dia melempar ponsel ke atas tempat tidur, lalu mengambil sebuah kotak besi dari sudut terdalam laci.
Di dalamnya tersimpan tiket bioskop, tiket taman hiburan, seragam basket milik Hardy yang diam-diam dia simpan, boneka pemberian pria itu ...
Semuanya adalah kenangan selama delapan tahun yang berkaitan dengan Hardy.
Dia memeluk kotak besi itu, berjalan keluar, dan tanpa ragu menuangkan seluruh isinya ke dalam tempat sampah.