Bab 8 Kepatuhan Padanya Tertanam di Tulang
Namun, preman itu bergerak seolah sedang berjalan santai di halaman sendiri. Dengan satu tangkisan, pergelangan tangannya berputar ringan, lalu tangan Paul dipelintir ke belakang dan tubuhnya ditekan ke dinding. Setelah melakukan ini, preman itu tersenyum santai ke arah Lana. "Cantik, kenapa belum pergi juga? Kalau nggak pergi sekarang, kamu nggak akan punya kesempatan lagi."
Rika yang ada di samping sudah menelepon polisi. Suaranya terdengar melengking ketika dia menyuruh seseorang datang untuk menangkap preman itu.
Lana melirik preman itu sekilas, lalu berlari keluar.
Cantik .... Tidak pernah ada orang yang memanggil Lana seperti itu sebelumnya. Lana juga bukan seorang wanita cantik.
Lana berpikir, 'Mungkin preman itu hanya asal bicara saja. Dia pasti memanggil semua wanita dengan sebutan Cantik.'
Ibu Lana sedang sakit. Dokter mengatakan itu adalah penyakit yang bersumber dari hati dan pikiran.
Lana menjaga di rumah sakit semalaman. Keesokan harinya, dia melihat Joshua di ruang perawatan.
Joshua tampak sangat berbeda dari sebelumnya. Berapa lama waktu berlalu? Hanya beberapa bulan saja, 'kan? Aura mewah di sekujur tubuh Joshua menjadi makin kuat, jas yang pas membuat wajah tampannya begitu menyilaukan, begitu tak terjangkau.
Napas Lana tercekat. Jantungnya berdebar kencang, tetapi dia juga merasa sangat membenci dirinya sendiri. Bahkan di saat seperti ini, Lana masih mencintai pria ini.
Tiba-tiba, Lana sangat ingin bertanya apakah pria semalam itu adalah Joshua. Namun, saat akan berbicara, Lana merasa itu terlalu lancang.
Sebuah suara yang menyebalkan benar-benar memadamkan harapannya, "Lana, bagaimana kabar Bibi? Keluarga kami sangat khawatir, jadi aku dan Joshua sengaja datang untuk menjenguk kalian."
Paul menunjukkan wajah peduli, sangat berbeda dari sikap mesum dan kejamnya semalam.
Lana terdiam sejenak, teringat penampilannya yang dipukuli preman semalam. Tiba-tiba, Lana tidak merasa takut lagi padanya.
"Keluar, kami nggak membutuhkan belas kasihan palsu kalian," kata Lana.
"Haih, kapan kamu bisa bersikap sedikit dewasa? Aku nggak akan mempermasalahkannya denganmu. Bibi, aku datang menjengukmu." Paul tersenyum sambil melangkah mendekat ke tempat tidur Amanda.
"Minggir, kamu nggak boleh menyentuh ibuku." Lana merasa sangat marah.
Paul juga kehilangan kesabaran. "Jangan berpikir hanya karena pria semalam membantumu, kamu bisa ...."
Saat perkelahian itu, Paul tersandung mundur beberapa langkah, sementara satu kakinya menginjak termos air panas di belakangnya, menghancurkannya dengan suara keras. Termos meledak, membuat air panas tumpah seluruhnya ke betis Paul, menyebabkan pria itu menjerit kesakitan.
Lana terpana dengan kejadian di depan matanya. Kenapa ada termos air panas di sini?
Dia melirik Joshua yang mengerutkan kening di samping. Tidak mungkin Joshua. Tidak ada alasan untuk pria itu membantunya. Sebelumnya juga selalu seperti ini. Saat Lana ditindas, Joshua hanya akan berdiri diam menyaksikan, bahkan memakinya bodoh setelahnya.
"Dokter, tolong bawa Paul keluar untuk mengobati lukanya," kata Joshua dengan acuh tak acuh, sementara tatapannya melirik Lana sekali. "Kamu juga keluarlah. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Lana tidak berani menolak. Kepatuhannya pada pria ini seperti sudah tertanam di tulangnya.
Paul menjerit tanpa henti, sementara Lana hanya menyaksikan dengan tatapan dingin.
Namun, Joshua justru fokus menatap gadis di hadapannya.
Lana merasa hawa dingin menjalar di punggungnya karena tatapan pria itu. Dulu Lana berkali-kali membayangkan adegan seperti ini. Namun, ketika menjadi kenyataan, tidak ada sedikit pun kebahagiaan yang Lana rasakan.
Semuanya ... sudah berbeda sekarang.
Lana menundukkan kepala, tanpa sadar menggenggam dasi mahal di sakunya ketika rasa pahit menyerang hatinya.
"Apa yang terjadi semalam? Kenapa kamu ada di hotel? Siapa pria yang membantumu?" tanya Joshua bertubi-tubi.
Ternyata pria semalam memang bukan dia.
Hati Lana merasakan kepahitan, bahkan ada perasaan seperti tertangkap basah sedang berselingkuh. "Aku ... aku mengantarkan seorang klien. Pria itu adalah klienku."
Setelah berbicara dengan asal, Lana kembali ke ruang perawatan ibunya dengan panik, lalu mengunci pintu dari dalam.
Lana menutup mata dengan erat, memberi tahu dirinya sendiri bahwa mereka sudah tidak memiliki kemungkinan untuk bersama.
Setelah menenangkan diri, barulah Lana membuka pintu kembali.
Paul dan Joshua ternyata masih belum pergi.