Bab 2
Dia menggantikan posisi yang seharusnya menjadi milikku, membawa naskah yang kususun dengan susah payah, mengenakan gaun mewah, dan seluruh kilatan kamera tertuju padanya.
"Kenapa?" Dia mendengar suaranya sendiri bergetar, tidak tahu apakah pertanyaan itu ditujukan kepada dirinya sendiri, atau kepada Stanley.
Dua hari lalu Sheila baru kembali dari luar negeri, dan Stanley bahkan pergi sendiri ke bandara untuk menyambutnya. Saat itu dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting, tetapi tidak pernah terbayangkan bahwa segala usahanya justru menjadi batu pijakan orang lain.
"Kenapa baru datang sekarang?" Wajah Stanley yang tadinya memandang wanita di atas panggung dengan kagum, seketika berubah dingin setelah melihat Hanna. "Sebagai Nyonya Sentana, kamu sama sekali nggak menghargai waktu dan nggak tahu sopan santun."
"Aku tanya kenapa kamu diam-diam mengganti posisiku! Kamu tahu nggak berapa lama aku mempersiapkan semuanya ini?" Seluruh pandangan matanya sudah kabur oleh air mata. Hanna menggigit bibir, suaranya rendah menahan dirinya yang hampir hancur.
Dengan tatapan tidak sabar, Stanley mengetuk pegangan kursi berulang-ulang. "Tahan air matamu."
...
"Sheila baru kembali dari luar negeri, dan dia butuh kesempatan ini untuk menunjukkan dirinya." Begitu menyebut nama Sheila, ekspresi Stanley menjadi jauh lebih lembut. "Kamu sudah menjadi Nyonya Sentana, sementara dia ... belum punya apa-apa."
"Tapi ini hasil kerja kerasku." Hanna menghapus air matanya dan menahan diri agar tidak melihat ke arah Sheila. "Kenapa kamu memakai hasil kerjaku untuk dijadikan pijakan baginya?"
"Bisakah kamu punya sikap layaknya seorang Nyonya Sentana? Hanya perihal jadi pembawa acara saja, kamu sudah begitu agresifnya. Peluncuran produk ini sangat penting. Kalau kamu melakukan kesalahan, itu sama saja mempermalukanku. Sheila sudah bertahun-tahun belajar di luar negeri. Membiarkannya memandu acara ini baik untukmu, untukku, dan untuk Grup Sentana." Nada tidak sabarnya makin terasa.
Hanna bersandar lemah di kursinya, merasa seperti tengah berada dalam mimpi buruk.
Wajah pria di sampingnya masih sama, tetapi kelembutan yang dia tunjukkan pada Sheila ... tidak pernah sekalipun dia tunjukkan pada Hanna.
Sesi berikutnya adalah segmen puncak yang dia persiapkan sendiri dengan penuh usaha, dan Sheila berdiri di atas panggung dengan penuh percaya diri.
Begitu lampu dipadamkan, Hanna melangkah pergi, tetapi tumit sepatu hak tingginya tersangkut dan dia jatuh tersungkur.
Sepatu hak tinggi itu tampak mewah dan menawan, tetapi justru membuatnya terjebak di tempat itu.
Di sampingnya, Stanley hanya menoleh dingin tanpa sedikit pun niat untuk berdiri dan menolong.
"Terima kasih." Setelah seseorang membantunya bangkit, air mata Hanna jatuh deras. Tanpa menengok lagi, dia berlari keluar dari ruangan.
"Pak Stanley, nggak mau menenangkannya dulu?"
"Menenangkan apa? Ini hari yang penting, apa kamu juga nggak paham, sama seperti dia?"
Rumah masih sama tenangnya seperti biasa. Hanna menyuruh para pembantu pergi dan dia bersembunyi di ruang kerja. Sasya, kucing yang dia rawat selama lima tahun, berjalan mondar-mandir di sekelilingnya sambil mengeong.
Puluhan lembar naskah penuh coretan koreksi yang dia susun selama berminggu-minggu terkumpul di atas meja. Hanna membolak-baliknya satu per satu, seolah masih bisa melihat bayangannya sendiri yang sedang duduk membungkuk memperbaikinya malam demi malam.
Sasya berusaha melompat ke pelukannya, tetapi mata Hanna tetap terpaku pada naskah-naskah itu.
Namun, ketika dia terus membalik, tangannya tiba-tiba berhenti. Selembar kertas dengan tulisan tangan yang sama sekali berbeda terjatuh.
[Untuk Sheila, semoga tulisan ini dapat menggantikan kehadiranku. Tiga tahun tak berjumpa, untunglah tak banyak yang berubah ... ]
Tulisan tangan Stanley yang sangat dia kenal terpampang jelas. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, semua mengisahkan tentang empat tahun kebersamaannya dengan Sheila, sarat dengan emosi yang tertekan dan perasaan yang tidak terungkapkan.
Setiap huruf terasa seperti petir yang menyambar langsung ke tubuh Hanna. Kertas-kertas itu berjatuhan dari tangannya, berserakan di lantai.
Pada hari pernikahan mereka, Stanley menyeret koper dan pergi jauh, tanpa meninggalkan sepatah kata pun.