Bab 3
Hanna pernah dengan polosnya percaya bahwa menikah dengan Stanley berarti dia akan memperoleh cinta.
Namun, masa-masa indah mereka hanya bertahan satu tahun.
Sudah dua tahun Stanley tidak pernah mengucapkan sepatah kata mesra pun di ranjang. Setiap hari setelah menyapanya singkat, pria itu akan langsung pergi ke kantor dan baru pulang pukul sembilan atau sepuluh malam.
Setengah tahun lalu, saat dia resmi menjadi pewaris Grup Sentana, Stanley kembali berbicara padanya tentang segala hal, dari urusan sehari-hari hingga rencana masa depan, dari hal-hal yang remeh hingga impian setinggi langit.
Dia mengira masa-masa manis itu akan kembali, tetapi kehangatan malam itu hanya seperti bunga yang mekar sesaat.
Dia selalu menutupi kekurangan Stanley, dan menyalahkan kesibukan perusahaan yang terlalu berat. Dia berharap ketika semuanya mereda, pria itu akan kembali memperhatikannya.
Namun, kehadiran Sheila kini menjadi pukulan telak yang menghancurkan harapan terakhirnya.
Hanna membasuh wajah, membuka pintu, dan turun ke bawah, hanya untuk melihat Stanley berdiri di pintu sambil mengatur para pembantu memindahkan koper.
Sheila berdiri di belakangnya, tampak terkejut dan tersentuh.
"Benarkah aku boleh tinggal di sini? Kalau Kak Hanna nggak mau melihatku, bagaimana?" Mata basahnya seperti mata rusa kecil, membuat Stanley mengusap kepalanya lembut.
"Nggak akan. Kamu baru kembali dan nggak banyak mengerti. Bagaimana aku bisa tenang membiarkanmu tinggal sendirian di luar?"
Di awal hubungan mereka, Stanley selalu menulis sepucuk surat setiap hari dan menyelipkannya di bawah bantalnya.
Setiap hari, Hanna meringkuk dalam pelukannya, merayu Stanley dengan kata-kata manja, sambil mencium telinganya hingga memerah.
Setelah menulis 365 surat, dan dia naik jabatan menjadi presdir perusahaan, dia berhenti menulis dengan alasan sibuk.
Semua surat itu disimpan Hanna dalam sebuah kotak. Dia mengeluarkannya satu per satu, merasa semuanya begitu familier namun juga terasa asing.
Saat sampai pada lembar terakhir, ponselnya tiba-tiba berdering.
Ternyata ada telepon dari sahabat yang sudah dia kenal sejak kecil.
Di tengah suara musik latar yang bising, suara Mario Tanujaya terdengar jelas.
[Ada apa ini? Stanley kok ganti istri?]
[Nyonya Sentana tampil perdana! Pasangan sempurna, pria tampan dan wanita cantik.]
[Gila, istri Presdir cantik banget. Pantas saja setelah menikah mereka selalu diberitakan harmonis.]
[Cocok banget, benar-benar jodoh! Pantas Pak Stanley melindungi dia sebegitu rupa. Sudah cantik, cerdas pula.]
[Meong-meong, lihat aku ... aku lahir nih ... ]
[Tagar "Nyonya Sentana" memuncaki trending, diikuti tagar panas "Stanley, Sheila, jodoh sempurna."]
[Hei, dengar ya. Kamu benar-benar nggak mau cari yang lain? Laki-laki di dunia itu banyak ... Aku tutup dulu, nanti aku telepon lagi." Suara Mario terus terdengar, diselingi suara adiknya memanggil-manggil, dan suara Mario yang berusaha menenangkannya.
Dia terus menggulir layar ponselnya ke atas, sampai tiba-tiba Hanna melihat fotonya sendiri, Tapi komentar-komentar di bawahnya penuh dengan hujatan dan sindiran.
[Itu 'kan Nyonya Sentana? Di awal acara dia langsung duduk di sebelah Pak Stanley.]
[Mana mungkin, kamu nggak lihat ekspresi Pak Stanley yang kesal itu? Lihat tatapan dia ke arah wanita di panggung, lembut sekali.]
[Ya. Terakhir dia juga lari sambil menangis. Pasti mau menggoda Pak Stanley, tapi pasangan sah itu terlalu mesra, jadi dia nggak kuat lalu kabur.]
...
Setiap komentar itu menusuk seperti pisau. Hanna menekan nomor Stanley, tetapi yang mengangkat justru Sheila.
[Halo, Nona Hanna? Kak Stanley sedang menjamu tamu, nggak sempat bicara denganmu sekarang.]
Suaranya terdengar manis, dan saat dia menelepon lagi, yang terdengar hanya nada sibuk.