Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

"Jennie, apa aku terlalu kejam?" Jennie menggelengkan kepala. "Dia mantan narapidana, punya catatan kriminal. Kompensasi darimu sudah lebih dari cukup. Orang lain nggak akan sebaik kamu." "Bu Vivian, jangan terlalu dipikir. Ini salahnya sendiri karena terlalu lemah. Kamu nggak pantas bersedih untuk pria semacam itu. Lagi pula, kalian sekarang sudah bercerai." Mendengar kata-kata Jennie, perasaan Vivian sedikit lebih tenang. "Di awal memulai bisnis, aku sangat hati-hati. Baru belakangan ini aku dapat dukungan dari banyak orang baik. Kalau mereka tahu aku punya suami yang pernah masuk penjara, pasti akan sangat berpengaruh terhadap aku dan perusahaan." "Dia memang orang baik, tapi aku nggak punya pilihan. Kamu benar, kompensasi yang seharusnya kuberikan sudah kuberikan. Aku nggak utang apa-apa padanya." Vivian seolah memaksa untuk meyakinkan dirinya sendiri. Ekspresinya tidak lagi ragu atau sedih. Entah seperti apa perasaan Seno jika dia tahu Vivian bisa begitu mudah meyakinkan diri. Dia dengan sukarela menanggung kesalahan untuk melindungi Vivian. Kini, hal itu menjadi noda pada dirinya. Bahkan di dalam penjara, Seno tetap mengatur orang-orang untuk melindungi Vivian. Tapi pada akhirnya, ini malah menjadi alasan Vivian untuk bersikap angkuh. Sungguh ironis. Tiba-tiba, Vivian ditelepon adik laki-lakinya, David. "Halo, Kak, sedang apa? Aku dengar kamu sudah bercerai dengan napi itu. Apa dia masih mengganggumu? Mau merebut hartamu? Jangan takut, aku bisa memberinya pelajaran." "David, Seno sudah tanda tangan. Aku tahu sekarang kamu berteman dengan Om Darius dari Keluarga Xenos di dunia bawah tanah. Tapi jangan gegabah. Jangan membuat masalah untukku, oke?" Vivian sangat paham sifat David, jadi nada bicaranya tegas. Anak itu bisa menimbulkan masalah besar Jika tidak dihentikan. Mendengar Seno sudah tanda tangan, mata David langsung berbinar, tapi segera berubah menjadi ekspresi tidak senang. "Aneh, kenapa dia langsung patuh begitu saja? Kak, kamu beri dia uang sebanyak apa? Miliaran?" "Apa? Miliaran? David, biar aku yang bicara. Vivi, kamu gila ya? Uang keluarga kita kenapa diberikan ke mantan napi? Dengarkan ibu, jangan beri dia sepeser pun. Kita nggak boleh berhubungan dengan sampah semacam itu. Kita keluarga terhormat, jangan beri dia uang, ini pemerasan! Dengar nggak!" Mendengar percakapan itu, Rani Jamia, ibu Vivian dan David, langsung marah besar. Dia melontarkan hujatan tanpa henti. "Ibu, biarkan aku bicara dulu. Kak, ingat kata-kataku. Berapa pun jumlahnya, kamu nggak boleh berikan. Aku adik kandungmu saja belum pernah kamu beri uang miliaran. Uang keluarga kita nggak boleh sampai jatuh di tangan orang bodoh itu." "Aku tahu batasan. Kak, kamu nggak usah ikut campur. Aku akan membuatnya mengembalikan semuanya padaku." David menutup telepon. Vivian menjadi cemas. "David, jangan bertindak sembarangan, halo ... " "Jennie, kamu temui David dulu. Situasi sedang tegang akhir-akhir ini, jangan sampai dia membuat masalah." Vivian sangat memanjakan David. Meski dia tahu adiknya berniat melukai Seno, dia hanya meminta Jennie untuk menasihatinya saja. Seolah kebahagiaan David jauh lebih penting daripada Seno. "David, kamu harus cepat pikirkan jalan keluar. Uang keluarga kita jangan sampai diberikan ke napi itu. Kakakmu perempuan, hatinya terlalu lembut, nggak ngerti pikiran licik orang-orang kriminal. Kalau Seno berani mengambil uang ini, besok lagi dia pasti datang minta lebih banyak. Dia pasti menganggap kakakmu bisa dimanfaatkan. Nggak boleh dibiarkan. Kita nggak boleh memberinya uang sama sekali." "Ibu, tenang saja. Anakmu sekarang sudah nggak seperti dulu. Aku akan buat dia mengembalikan semua yang bukan haknya. Kalau nggak mau, aku habisi dia." Sambil menghibur ibunya, David mulai menghubungi anak buahnya. "Tapi kamu juga harus hati-hati. Walaupun dia sudah jatuh, Seno dulu orang kaya. Setelah sekian lama di dalam penjara, siapa tahu dia kenal orang-orang dari dunia gelap." "Kenal orang? Aku malah berharap dia kenal orang, biar kutunjukkan padanya siapa yang berkuasa di sini!" Segera, David mengumpulkan puluhan preman jalanan yang masih muda-muda. Pimpinan preman itu bahkan berambut dicat hijau. "Tuan Muda David, sudah kumpul semuanya. Kita berangkat sekarang untuk menghajar kakak iparmu itu?" "Kakak ipar? Apa dia pantas jadi kakak iparku? Dia cuma orang bodoh. Ayo, bawa senjata kalian. Ikuti aku memberi pelajaran kepada bajingan itu!" David mengeluarkan rokok bermerek mahal dan menyalakan satu batang, lalu melemparkan sisanya ke anak buahnya. "Perhatikan sinyalku. Saat aku bilang 'serang', kalian serang. Jangan tanya apa-apa. Pukul dia sekeras-kerasnya. Kalau terjadi apa-apa, aku yang tanggung jawab!" "Habis itu, kita senang-senang di malam ini." "Siap, siap!" Si rambut hijau langsung bersemangat. "Cepat naik mobil, kerjakan yang baik!" Mereka semua kenal David yang saat ini. Mereka tidak tahu bahwa David yang dulu hanyalah anak penurut yang memakai baju tambalan. Sementara itu, Seno sedang berdiri di rumah yang dulu dia tinggali bersama Vivian. Memandang ruang tamu yang kosong, telinganya masih bergema dengan tawa bahagia dia dan Vivian di masa lalu. Dengan luas yang hanya 100 meter persegi, bagi banyak orang mungkin kecil, tapi tempat ini menyimpan kenangan bahagia mereka berdua. Kini, selimut putih menutupi perabotan, tanda jelas bahwa Vivian sudah lama tidak pernah ke sini. Seno mengerti. Wanita itu sekarang CEO dari salah satu perusahaan teratas di Kota Sarvo. Mana mungkin mau tinggal di tempat yang kumuh seperti ini? Apalagi, di sini juga ada kenangan dengan seorang narapidana. Sambil menyalakan rokok, Seno menarik napas dalam-dalam dengan perasaan kesal dan getir. Demi cinta, Seno rela mengorbankan masa depan, harga diri, bahkan bersedia menjalani hukuman penjara yang bukan salahnya sendiri. Di dalam penjara, dia berhasil mengumpulkan relasi dengan banyak orang penting melalui kemampuannya. Bahkan ketika Seno berada di penjara, dia membuat orang-orang penting itu membantu Vivian tanpa, mendukung ambisi Vivian. Kini Vivian telah mencapai posisi yang tinggi, menjadi CEO terkemuka di Kota Sarvo. Dan kemudian ... Seno menjadi satu-satunya noda dalam hidup Vivian? Inikah kenyataan?! Seno mengepalkan tinjunya. "Vivian, kamu akan tahu semua yang kamu miliki adalah pemberian dariku. Kamu juga akan tahu, kamu bisa berdiri di puncak karena pengorbananku." "Tunggu saja. Aku nggak sabar melihat ekspresimu saat kamu mengetahui kebenarannya." Teleponnya tiba-tiba berdering. Seno mengernyit melihat nomor yang tidak dikenal. Dia baru keluar dari penjara, jadi tidak banyak orang yang tahu nomor ini. "Maaf, apa benar ini Tabib Sakti Seno?" Suara wanita di telepon itu terdengar manis, tapi sedikit gemetar karena mungkin terlalu emosional. "Salah sambung." Seno langsung menutup telepon. Telepon itu berasal dari sebuah rumah di Taman Kaisar, Kota Sarvo. Yovita Xenos, ratu bawah tanah yang menguasai dua dunia, sangat cemas sampai matanya memerah. Di usia 35 tahun, Yovita menguasai dunia bisnis legal maupun ilegal, tapi tidak berdaya menghadapi penyakit ayahnya. "Om Darius, nomornya nggak salah, 'kan?" Pria paruh baya yang dipanggil Om Darius mengangguk dengan hormat. "Aku kerahkan semua koneksiku untuk mendapat nomor ini dari Pak Mulin. Dia secara khusus mengingatkan kalau nomor ini cuma boleh dihubungi hari ini, nggak boleh di waktu lain. Jadi nggak mungkin salah." "Pak Mulin juga bilang, Tabib Sakti Seno sudah menyembunyikan identitasnya sejak sepuluh tahun lalu. Mungkin dia nggak ingin praktik pengobatan lagi karena alasan tertentu. Kita tetap harus mencoba lagi." "Ah." Yovita mengangguk sambil mendesah. "Ayah mungkin nggak akan bertahan lama lagi." Beberapa saat kemudian, Yovita duduk tegak. "Nggak boleh, aku harus berusaha meyakinkan Tabib Sakti Seno. Aku sudah konsultasi dengan banyak dokter terkenal selama bertahun-tahun, bahkan Pak Mulin pun nggak bisa berbuat apa-apa. Tabib Sakti Seno harapan terakhir kita." "Asal Tabib Sakti Seno bersedia membantu, aku rela memberikan segalanya." Yovita pun menelepon lagi. Setelah tersambung, suaranya jauh lebih memohon dibanding sebelumnya. "Tabib Sakti Seno, tolong dengarkan aku. Aku dapat nomor ini dari Pak Mulin. Aku mohon, tolong selamatkan ayahku. Apa pun syaratnya, pasti akan kupenuhi." "Pak Mulin? Lelaki tua itu pasti sudah lebih dari seratus tahun ya, sekarang? Di usia setua itu masih mau berutang budi padaku?" Seno berkata dengan tenang. "Karena dia yang meminta, aku bersedia membantu. Tapi aku nggak jamin pasti berhasil." Mendengar itu, tubuh ramping Yovita bergetar karena kegembiraan. "Ya, ya, ya! Asal kamu bersedia datang, bagaimanapun caranya. Tabib Sakti Seno, kamu di mana? Nanti kujemput sendiri ... " "Jemput aku lusa sore hari." Saat Seno akan menutup telepon, suara ketukan keras terdengar di pintu. "Seno, buka pintunya! Aku tahu kamu di dalam! Kalau nggak kamu buka sekarang, akan kubunuh kamu!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.