Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 14

Ucapan Sania membuat Siska tersedak. Dia sangat ingin marah, tapi takut Sania melaporkannya pada Diego lagi, jadi hanya bisa menahannya. Apalagi dia tahu Diego pasti membutuhkan bantuan Eric. Oleh karena itu dia tidak boleh menyinggung Sania sekarang. Memikirkan ini, dia menggertakkan gigi dan berkata perlahan, "Baik! Kalau kamu ada urusan, lain kali saja." "Baik!" Sania lalu langsung memutus telepon setelah mengatakannya. Setelah itu, senyum di wajahnya menghilang. Malam ini dia tentu saja tidak punya urusan apa-apa, dia hanya tidak ingin pulang. Siska pikir, hanya karena dia mengucapkan permintaan maaf yang tidak ikhlas, Sania akan langsung pulang dengan patuh? Dia juga tahu, ayahnya menyuruhnya dan Eric pulang makan pasti karena ingin meminta bantuan Eric. Kalau bukan begitu, dia tidak mungkin menyuruh Siska segera menelepon dan minta maaf padanya. Saat memikirkan itu, hati Sania pun merasa dingin. Setelah menenangkan diri, dia meninggalkan balkon kecil dan masuk ke kamar Risa. Begitu masuk, langkahnya terhenti. Eric sedang duduk di sisi ranjang Risa. Saat melihat Sania, alis Eric bergerak sedikit. Wajahnya tetap datar dan dua detik kemudian dia memalingkan pandangan. Sania menutup pintu dan duduk pelan di sofa. Mereka berdua hanya menjaga Risa dalam diam, tanpa sepatah kata pun. Ketika Risa perlahan sadar dan melihat pemandangan harmonis itu, dia tersenyum lega. Namun begitu teringat mereka hampir bercerai hari ini, hatinya kembali terasa sakit. "Nenek sudah bangun." Mendengar suara Eric, Sania segera berdiri dan mendekat ke ranjang. "Nenek." "Eric, Sania." Risa memanggil keduanya dan mengulurkan kedua tangannya. Masing-masing dari mereka menggenggam satu tangannya. "Ada apa, Nenek? Mau pesan sesuatu?" tanya Sania. "Mulai hari ini, kalian pindah lagi ke rumah tua, ya!" Suara Risa terdengar lemah. Mendengar itu, wajah Sania dan Eric langsung menegang. Pindah ke rumah tua? Risa melihat reaksi mereka, matanya berkedip, lalu meneruskan, "Setelah kejadian hari ini, aku berpikir, aku sudah tua, nggak tahu masih bisa hidup berapa lama lagi." "Jadi aku harap kalian bisa lebih banyak menemaniku. Selagi aku masih kuat, masih bisa membantu menjaga anak kalian nanti." Sudut bibir Sania berkedut. Anak? Huh .... Mungkin tidak ada yang percaya. Sejak menikah sampai sekarang, jangan bilang soal hubungan suami istri, berciuman saja ... belum pernah. Sania menenangkan diri. "Nenek, jangan bilang hal yang nggak baik. Nenek pasti panjang umur." Risa tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Tapi kalian juga harus janji untuk pindah kembali ke rumah tua ya?" Sania terdiam. Dengan kondisi hubungan mereka sekarang, jelas tidak cocok tinggal satu atap. Namun .... "Baik." Saat ini, Eric tiba-tiba menjawab. Sania menoleh menatapnya. Eric beradu pandang dengannya. Sania mengerti. Dia mengalihkan pandangan, menatap Risa dan tersenyum. "Baik, Nenek. Kami akan pindah kembali." Kalau mereka belum bercerai demi kesehatan Nenek, maka semua harus mengutamakan Nenek. "Bagus, bagus sekali." Risa tersenyum bahagia. Sore itu, Eric dan Sania pulang ke Vila Palm Royal untuk mengemasi barang-barang mereka. Saat membayangkan harus tinggal satu rumah lagi dengan Eric, hati Sania terasa rumit. Malam harinya, dia kembali ke kamarnya lebih awal. Masuk ke ruang ganti, Sania mengambil pakaian rumah, bersiap untuk ganti baju. Namun, baru saja dia memasukkan tangan ke baju, pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka. Begitu Eric membuka pintu ruang ganti, hal pertama yang masuk ke pandangannya adalah kulit putih berkilau itu. Hanya saja, kulit bening itu kini dipenuhi bekas lecet kemerahan. Melihat bekas itu, pupil Eric mengecil. Itu ... bekas saat dia melompat dari mobil kemarin? Dia baru hendak bicara ketika pandangannya tertumbuk pada satu bekas luka di pinggang belakang Sania. Itu adalah bekas luka panjang yang hampir setengah pinggangnya. Mendengar suara dari belakang, Sania terkejut dan buru-buru menarik bajunya turun. Saat menoleh dan melihat Eric di belakangnya, alisnya sedikit mengerut. "Luka di pinggang belakangmu itu ... karena apa?" Entah karena apa, Eric bertanya begitu saja. Mendengar pertanyaan itu, wajah Sania sedikit berubah. Tanpa bisa ditahan, ingatan mengerikan itu kembali muncul .... Di tengah kobaran api besar, Sania kecil menarik seorang anak laki-laki yang tergeletak bersimbah darah, berusaha menyeretnya keluar. "Bangun! Jangan tidur, bertahan sedikit lagi!" "Cepat ... cepat lari ...." Anak laki-laki itu penuh darah, napasnya hampir hilang. Sania tidak bicara lagi, tetap menyeretnya keluar dengan susah payah. Tiba-tiba terdengar suara kencang, sebuah balok kayu dari atap jatuh, tepat menghantam pinggang belakang Sania. "Aaahh!!" Sania tersentak kembali ke realita, keringat dingin merembes di dahinya. Melihat ekspresinya yang janggal, alis Eric bergerak sedikit. Sania tidak bicara apa-apa, langsung keluar dari ruang ganti dan masuk ke kamar mandi. Dia membasahi handuk, mengelap wajahnya, lalu mengelap tubuhnya. Tubuhnya penuh luka lecet. Dokter sudah berulang kali mengingatkan agar lukanya tidak terkena air. Selesai membersihkan diri, Sania keluar kamar. Dia mengambil bantal dan selimut bersih dari lemari, lalu menuju sofa. Karena mereka sudah memutuskan untuk bercerai, tidur di satu ranjang lagi memang tidak pantas. Melihat itu, Eric sedikit mengangkat alisnya. Namun dia merasa cukup puas dengan tindakan Sania. Jadi dia pun tidur di ranjang dengan tenang. ... Keesokan harinya. Cuacanya bagus, langit cerah tanpa awan. Sania duduk di mobil Eric, mereka dalam perjalanan menuju rumah Keluarga Ravan. Siang tadi Diego menelepon lagi, meminta Sania dan Eric pulang makan malam bersama. Kebetulan Risa duduk di sebelahnya dan mendengar itu, jadi dia langsung menelepon Eric agar menemani Sania pulang ke rumah keluarganya. Setibanya di Keluarga Ravan, Diego dan Siska langsung memasang senyum ramah dan menyambut Eric dengan antusias. Para pelayan pun cepat-cepat menyajikan teh terbaik untuk Eric. Sania baru saja duduk ketika Siska berkata, "Sania, ikut Ibu ke atas, ada yang ingin aku katakan padamu." Sania tahu, ini supaya Eric dan Diego bisa bicara tanpa gangguan. Dia terdiam sejenak sebelum berdiri dan mengikuti Siska. Mereka tiba di balkon kecil lantai dua. Begitu pintu tertutup, wajah Siska langsung berubah. "Sania, sekarang kamu sudah berani mengadu, ya!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.