Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 15

Mendengar itu, Sania tidak bisa menahan diri dan tertawa. Jadi ... begitu Eric datang, dia langsung merasa Sania sudah tidak punya nilai guna lagi, ya? Sekarang dia mulai membuat perhitungan dengan Sania. Sania menatap Siska dengan santai. "Ibu, sewaktu Anda meneleponku, sikapnya bukan seperti ini." Perkataan Sania langsung membuat Siska terdiam. Baru ingin marah, tapi kemudian teringat, meski Eric sudah datang, urusan ini belum tentu berhasil. Sekarang bukan waktunya menyinggung perasaan Sania. Dia hanya bisa menahan lagi amarah yang bergolak di dalam hati. Siska menunjuk dahi Sania dengan kasar sambil berkata geram, "Nanti aku baru urus kamu!" "Kamu tunggu di sini, nggak boleh turun! Ayahmu mau bicara dengan Eric." Selesai bicara, dia membuka pintu balkon kecil dan pergi ke luar. Sania tetap berdiri di tempat. Meski suhu di luar panas, hatinya justru terasa sangat dingin. Keluar dari balkon, Sania kembali ke kamarnya. ... Di lantai bawah. Mulut Diego hampir kering, senyum di wajahnya pun hampir pudar, tapi Eric tetap tidak tersentuh. Sikapnya dingin, tegas, tidak memberi muka sama sekali, sama sekali tidak memandangnya sebagai mertua. Diego mulai kesal di dalam hati. Di satu sisi kesal karena Eric tidak memberinya muka, di sisi lain kesal karena Sania tidak punya kemampuan menaklukkan hati Eric. "Ayah." Pada saat ini, tiba-tiba terdengar suara lembut. Diego menoleh, Luna berjalan masuk sambil tersenyum. Dia hendak bicara, tapi tercengang begitu melihat Eric di sofa. Mata Luna sedikit berbinar, hatinya langsung berdebar. Dengan bibir terkatup lembut, dia berjalan mendekat, mengangguk pada Eric, lalu berkata lembut, "Pak Eric." Eric bahkan tidak mengangkat wajah. Luna tidak berkecil hati. Dia tetap tersenyum manis dan duduk di sofa. Akhirnya dia bertemu lagi dengannya, hati Luna masih belum bisa tenang. Dulu, Eric hadir bagai dewa penyelamat dan menolongnya dari krisis. Sejak itu, dia jatuh hati pada pria ini. Namun tidak disangka, pertemuan mereka berikutnya, dia justru muncul sebagai ... suami Sania. Saat memikirkan itu .... Luna menggertakkan giginya diam-diam. Sania ... memangnya dia pantas? Mata Luna berbinar saat menatap wajah Eric yang tampan bak dewa. Dia membuka mulut, suara lembutnya terdengar. "Pak Eric, aku ingin mewakili Sania minta maaf padamu." Eric mengangkat sedikit kelopak mata, meliriknya sekilas. "Waktu itu, karena Sania, kamu dan Nona Riska dipaksa berpisah ... kamu pasti masih merasa sakit hati, 'kan?" "Itu memang salah Sania. Sebagai kakaknya, aku minta maaf untuknya. Sania ... hanya terlalu menyukaimu, jadi ... jadi sampai khilaf." Mendengar ucapan Luna, wajah Diego langsung menggelap. Ada apa ini? Kenapa harus mengungkit masalah itu? "Haha ...." Eric tiba-tiba tertawa pelan. "Mewakili Sania minta maaf padaku?" Setelah mengucapkan kalimat itu dengan santai, suara Eric tiba-tiba berubah dingin. Tatapannya pada Luna setajam pisau. "Memangnya kamu siapa?" Wajah Luna langsung kaku dan pupilnya mengecil. Melihat situasinya kurang bagus, Diego segera berdiri, mencoba meredakan suasana sambil tersenyum. "Pak Eric, dia hanya salah bicara. Jangan diambil hati." Sambil berkata begitu, dia menatap Luna tajam dan berkata marah. "Cepat minta maaf pada Pak Eric!" Wajah Luna memucat dan buru-buru bangkit dari sofa. "Maaf, Pak Eric, aku ...." Namun sebelum ucapannya selesai, Eric mengangkat tangan, menghentikannya. Bibir tipisnya terangkat sedikit dan suaranya sangat dingin. "Tutup mulutmu." Kerutan jijik di alisnya seakan menunjukkan kalau dia tidak ingin mendengar suara Luna lagi. Melihat Eric yang seperti itu, mata Luna perlahan memerah. Dadanya serasa ditusuk pisau, bahkan bernapas terasa sakit. Kenapa ... kenapa dia diperlakukan seperti ini? Apa Eric sama sekali tidak ingat kejadian dulu? Barusan dia hanya ingin membuat Pak Eric semakin membenci Sania, tidak disangka malah menggali lubang untuk dirinya sendiri. Luna merasa kesal dan benci. ... Saat masuk ke ruang makan, Sania merasa suasana di dalam terasa aneh. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya. Setelah semua hadir, mereka mulai makan. Diego mengambil sepotong makanan untuk Sania. "Sania, makan yang banyak. Kamu sudah kurusan." Setelah bicara begitu, barulah dia melihat perban di dahi Sania dan luka lecet di pipinya. Diego terkejut dan bertanya dengan cemas, "Sania! Kapan kamu terluka? Kenapa nggak bilang sama kami?" Mendengarnya, Sania hanya ingin tertawa di dalam hati. Dia sudah pulang begitu lama, baru sekarang dia sadar dirinya terluka, benar-benar luar biasa. Dengan ekspresi datar, Sania memasukkan makanan ke mulutnya. "Hanya kebentur sedikit." "Kamu ini, kenapa nggak hati-hati! Kami jadi sedih melihat kondisimu seperti itu!" Orang yang mengucapkan kalimat itu adalah Siska. Dia menatap Sania dengan wajah penuh keluhan, tapi tampak sangat menyayanginya. Sania hanya tersenyum tipis, tidak berkata apa-apa. Siska menoleh pada Eric sambil tersenyum. "Eric, Sania terlalu kami manja sejak kecil, jadi terkadang agak keras kepala." "Kalau dia membuatmu kesal, tolong dimaklumi ya." Setelah itu, dia mengambil sepotong ikan dan memasukkannya ke mangkuk Sania. Lalu tersenyum lembut seolah penuh kasih. "Makan yang banyak." Mendengar itu, lalu melihat ikan di mangkuknya, Sania hanya sangat ironis. Dia memindahkan ikan itu ke samping, kemudian mengambil lauk lain dan memasukkannya ke mulut. Perilaku itu langsung membuat alis Siska berkerut. Apa maksudnya? Sengaja melawannya? Eric sempat melirik ikan yang ada di mangkuk Sania, sudut bibirnya terangkat. Kalau dia tidak salah ingat ... Sania tidak makan ikan. Tapi ibunya sendiri tidak tahu? Eric mengambil sepotong iga dan menaruhnya di mangkuk Sania. Sania tertegun sejenak, melihat Eric sekilas, lalu mengalihkan pandangan dan melanjutkan makan. Melihat Eric mengambilkan makanan untuk Sania, genggaman Luna pada sendoknya langsung mengencang. Kilatan kejam melintas cepat di matanya. Dia berdiri, mengambil mangkuk, lalu menuangkan semangkuk sup. Setelah itu dia menyodorkannya pada Sania. "Sania, ini, makan sup." Mendengar itu, Sania mengangkat kepala menatap Luna dengan mata setengah menyipit, tapi tidak langsung menerimanya. Siska yang duduk di sebelahnya melihat itu. Dia menyenggol Sania. "Kenapa masih diam saja! Kakakmu mengambilkan sup, cepat ambil!" Sania tidak menjawab. Setelah ragu sebentar, dia berdiri dan mengulurkan tangan untuk menerima sup itu. Namun begitu jari Sania menyentuh mangkuk, Luna tiba-tiba melepaskan pegangannya. Dengan begitu, seluruh sup tumpah ke tangan Luna! "Ah!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.