Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Melihat Eric yang duduk di samping Riska dalam foto itu, hati Sania terasa sangat rumit. Wajah tampan pria itu tidak menunjukkan banyak ekspresi, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. Walaupun lengkungannya sangat tipis, Sania tetap bisa merasakan kalau suasana hati pria itu sedang baik. Tentu saja! Wanita idaman akhirnya kembali, bagaimana mungkin dia tidak senang? Sania perlahan menutup mata, tenggorokannya terasa seret. Seperti menelan obat yang sangat pahit. Dia meletakkan ponselnya, lalu melangkah perlahan ke kamar mandi. Saat air mengguyur, Sania sama sekali lupa, dokter sudah mengingatkan kalau lukanya tidak boleh terkena air. Selesai mandi, Sania keluar dari kamar mandi. Begitu keluar, dia langsung melihat Eric duduk di sofa. Sania tertegun. Eric meliriknya dengan malas, lalu menggerakkan dagu ke arah sebuah dokumen di atas meja. Bibir tipisnya terangkat sedikit sambil berkata, "Tanda tangan." Melihat dokumen di meja, hati Sania seketika menegang. Dia melangkah pelan ke arah Eric. Setiap langkah terasa seperti membawa beban ribuan kilogram. Dia membungkuk sedikit, mengambil dokumen tersebut. Beberapa huruf langsung masuk ke matanya. [Surat Perjanjian Cerai]. Meski sudah punya firasat, tapi saat benar-benar melihat dokumen itu, wajah Sania tetap berubah drastis. Jarinya mencengkeram kertas itu kuat-kuat hingga kertasnya lecek. Dia menatap Eric, suaranya bergetar tanpa sadar. "Ini ... apa maksudnya?" Setelah bertanya, dia merasa pertanyaannya sendiri agak konyol. Itu sama seperti menanyakan hal yang tidak perlu. Eric menatap Sania dengan tenang. "Kita cerai saja." "Setelah cerai, aku akan memberimu 800 miliar, vila di San Digo dan Gunung Fujian juga akan dialihkan ke namamu. Kalau merasa kurang, kamu bisa hubungi asistenku." Nada suaranya datar, tidak mengandung emosi sedikit pun. Seolah yang dia katakan hanyalah soal yang sangat sepele. Namun bagi Sania, kata-kata itu membuat hatinya terasa seperti disayat pisau. Dia menunduk melihat Eric, matanya berkaca-kaca. Dua tahun pernikahan, 800 miliar, ditambah dua vila. Secara logika, itu adalah keuntungan baginya, bukan? Tapi apakah Eric tahu kalau semua itu bukan yang dia inginkan? Mata Sania memerah, ujung hidungnya perih, dan pandangannya mulai kabur. Dia menggigit bibir sampai pucat, lalu menatap Eric sambil bertanya patah-patah, "Eric, kamu mau cerai karena Riska? Karena dia sudah kembali ... jadi ...." Saat mengatakan ini, suaranya sudah serak. Mendengar itu, Eric tiba-tiba menatapnya. Sania baru selesai mandi, mengenakan piama putih. Rambut hitam lurusnya tergerai lembut di bahunya. Wajah mungilnya tanpa riasan, bersih, lembut, dan cantik. Tahi lalat kecil di bawah ujung mata kirinya membuatnya semakin memesona. Ditambah perban di dahinya, membuatnya terlihat begitu menyentuh hati. Entah kenapa, melihat wujud Sania seperti itu, hati Eric justru terasa gelisah. Alisnya berkerut dalam, lalu bangkit dari sofa. Dia menunduk sedikit, menatap Sania dari atas dan berkata dengan suara yang sangat dingin, "Benar." Kata itu seperti pedang tajam yang menusuk hati Sania. Karena sudah terlanjur sampai pada titik ini, Eric langsung berkata terus terang. "Kamu sendiri tahu, sejak awal orang yang ingin aku nikahi bukan kamu." "Kalau bukan karena kamu pakai siasat untuk menyenangkan Nenek, lalu memaksaku menikahimu, mana mungkin kamu yang menjadi istriku?" Suaranya seperti salju yang turun di musim dingin yang dinginnya merasuk sampai ke tulang. "Sekarang Riska sudah kembali, jadi pernikahan konyol ini juga harus kita akhiri." Setelah mendengar kalimat itu, wajah Sania langsung kehilangan warna. Jantungnya seperti dicengkeram tangan tak terlihat, bahkan untuk bernapas pun sulit. Konyol? Jadi, bagi Eric, pernikahan mereka hanya sebuah kekonyolan. Sania tidak berkata apa-apa lagi. Dia mengambil pena di atas meja dan dengan tenang menandatangani surat itu. Mata Eric meredup sedikit. Sania menyerahkan dokumen tersebut, lalu bertanya dengan suara serak, "Kapan kita urus prosedurnya?" Kalimatnya menarik Eric dari lamunannya dan matanya berkedip sebentar. "Besok jam sepuluh." Setelah berkata begitu, dia mengambil dokumen itu dan pergi tanpa menoleh. "Eric ...." Sania tiba-tiba memanggilnya. Langkah Eric berhenti, tapi tidak menoleh. Sania berkata pelan, suaranya terdengar serak. "Maaf ... sudah menyita waktumu selama dua tahun." Eric tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya lagi. Melihat punggung pria itu, Sania tidak bisa menahan dirinya lagi, air matanya tumpah deras. Saat keluar dari kamar, alis Eric kembali berkerut. Eric seharusnya senang karena Sania tanda tangan dengan lancar. Tapi kenapa dia sama sekali tidak merasa senang? Eric tidak menelusuri perubahan perasaannya itu, dia menarik napas dalam-dalam dan kembali ke ruang kerja. Malam ini, dia tidak kembali ke kamar. Sania tidak tahu kapan dirinya tertidur. Dia terbangun karena merasa panas. Begitu membuka mata, tubuhnya seperti berada di dalam tungku. Dia bangkit dan menyentuh dahinya. Benar saja, sangat panas. Sania teringat pada lukanya serta peringatan dokter. Jadi dia menebak lukanya kemungkinan infeksi. Dia tidak membuang waktu, menyeret tubuhnya yang berat menuju kamar mandi, cuci muka, lalu keluar rumah. Dia tidak memanggil dokter keluarga. Kalau sampai Eric tahu, dia takut Eric akan mengira dia sengaja membuat dirinya sendiri demam untuk menarik simpati. ... Saat Sania duduk sendirian di ruang infus rumah sakit, waktu baru lewat jam sembilan. Dia bersandar di sandaran bangku, rasa kantuk menyerang dan Sania pun tertidur. Dia tidur cukup nyenyak, hingga tiba-tiba terdengar dering ponsel yang mendesak. Sania terbangun dan baru menyadari kalau yang berbunyi adalah ponselnya sendiri. Saat melihat nama Eric di layar panggilan masuk, dadanya langsung menegang, baru sadar kalau sekarang sudah lewat pukul sepuluh lebih sepuluh. "Halo, Eric ...." "Sania, kamu di mana?" Suara Eric di telepon terdengar sangat tidak sabar. Sania melihat tangannya yang sedang terpasang infus, menggigit bibir, lalu berkata pelan, "Eric, aku sekarang lagi ada sedikit urusan, bisa tunggu sebentar lagi ...." Sebelum dia selesai bicara, Eric sudah memotong dengan dingin. "Sania! Aku nggak punya banyak waktu untuk bermain denganmu! Aku kasih kamu setengah jam! Langsung datang sekarang juga!" Setelah itu, telepon langsung ditutup. Sania menunduk, rasa nyeri di dadanya makin hebat. Dia menarik napas dalam-dalam, mendongak dan memanggil, "Suster ...." ... Kantor Catatan Sipil. Setelah sampai di sana, Sania menelepon Eric. Begitu telepon tersambung, suara Eric yang dingin terdengar. "Aku tiba-tiba ada urusan. Urusan administrasinya kita urus lain hari." Dia tidak memberi Sania kesempatan bicara, telepon kembali ditutup. Bibir Sania langsung terkatup rapat dan saat itu juga, air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya menetes juga. Hatinya terasa campur aduk, tersakiti, sekaligus marah. Apa Eric sama sekali tidak peduli padanya? Sania hanya menangis sebentar, lalu dia mengendus, mengusap air mata, lalu pergi begitu saja tanpa menoleh. Dia sudah janji pada dokter, kalau urusannya selesai, dia harus kembali untuk melanjutkan infus. Begitu sampai di area parkir rumah sakit, Sania membuka pintu mobil dan keluar. Saat itu juga, suara lembut seorang wanita tiba-tiba terdengar di telinganya. "Eric, kamu jangan khawatir, aku sudah merasa jauh lebih baik ...." Saat mendengar suara itu, tubuh Sania seketika menegang.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.