Bab 189
Valencia tersenyum dan berkata, "Aku yang traktir. Kita 'kan teman, jadi nggak usah sungkan."
Setelah kejadiandengan kakak beradik Mario dan Maria, hubungan Valencia dan Janice menjadi lebih dekat. Sekarang mereka bukan hanya rekan kerja biasa, melainkan sudah seperti teman baik.
Janice masih merasa agak canggung. "Tapi ... Aku jadi merasa nggak enak, deh?"
"Kamu lagi sedih, sebagai teman, wajar dong aku traktir kamu makan enak biar suasana hatimu membaik. Apa yang nggak enak?"
Gadis itu menggigit bibir pelan dan hatinya tersentuh oleh perhatian Valencia. "Kalau gitu ... makasih ya, Bu Valencia."
"Ini di luar jam kerja, panggil Bu Valencia itu terlalu formal. Panggil aku Valen, atau kalau mau, panggil saja Kak Valencia."
Janice tersenyum. "Baiklah, Kak Valencia."
Valencia memilih tempat duduk di dekat jendela. "Duduk sini saja, pemandangannya bagus, bisa lihat kota di malam hari."
"Iya." Janice duduk di seberang Valencia meski masih terlihat agak canggung.
"Pesanlah apa yang kamu suka." Valencia menyodorkan menu ke arah Janice.
Janice segera mengibaskan tangannya. "Kak Valencia saja yang pilih, aku suka semuanya, kok."
Mengerti rasa sungkan Janice, Valencia mengangguk dan mengambil kembali menu. Dia memesan beberapa hidangan barbeku andalan dan sayur-sayuran.
Tidak lama kemudian, daging mentah diantar ke meja. Mereka tidak perlu repot, karena ada pelayan yang membantu memanggang daging hingga matang.
Begitu daging matang dan diletakkan di piring mereka, Valencia mengucapkan terima kasih dengan sopan, lalu membiarkan pelayan itu pergi.
"Ayo ceritain, ada apa sebenarnya?" tanya Valencia.
Suasananya sudah santai dan tidak ada orang lain di sekitar, akhirnya Janice membuka hatinya. "Sebenarnya bukan masalah besar, sih. Aku cuma dimarahin sama Bu Vera hari ini."
"Vera Rowan?"
"Ya."
Vera adalah pengacara pembimbing Janice. Meski Valencia jarang berinteraksi dengannya, dia pernah dengar gosip dari rekan kerja. Katanya, kepribadian Vera itu labil. Kadang bisa sangat lembut kalau suasana hatinya bagus, tetapi kalau lagi jelek, dia sering melampiaskan amarah ke asistennya.
Dulu, ada seorang asisten laki-laki yang masuk kantor bersamaan dengan Janice. Baru dua kali dimarahi Vera, dia langsung mengundurkan diri tanpa pikir panjang.
Berbeda dengan Janice, anak laki-laki itu belum lulus ujian hukum, jadi dia hanya jadi asisten biasa dan bebas keluar kapan saja di firma hukum. Sedangkan Janice sudah lulus ujian hukum pada bulan April, jadi dia wajib magang di kantor ini selama setahun penuh.
Dengan kata lain, dia baru bisa pergi setelah April tahun depan.
Valencia bertanya, "Memangnya dia marah karena apa?"
"Ada kasus perceraian, kliennya susah banget diajak kerja sama."
Janice menghela napas, wajahnya tampak penuh beban. "Aku minta dia kasih bukti, dia malah cuek. Aku telepon juga susah dihubungi. Gara-gara itu, Bu Vera bilang aku nggak jago berkomunikasi. Terus, kliennya minta nambahin tuntutan ganti rugi mental sampai 600 ribu di gugatan cerai."
"Padahal kasusnya sama sekali nggak memenuhi syarat buat minta ganti rugi mental. Malah kalau tuntutannya sebesar itu, biaya perkara bakal naik. Aku sudah jelasin berkali-kali, tapi kliennya nggak mau dengar. Aku bingung 'kan, jadi aku nanya ke Bu Vera. Eh, dia malah bilang aku bodoh, cerewet, dan nggak jago bicara sama orang."
"Kemudian Bu Vera sendiri yang nelepon klien itu. Lucunya, penjelasannya persis kayak yang aku jelasin sebelumnya. Akhirnya, Bu Vera bikin gugatan baru, tapi klien itu tetap nggak puas dan malah nambahin banyak permintaan aneh-aneh."
"Aku dari awal sudah bilang ke Bu Vera kalau kliennya sulit diatur, tapi dia nggak percaya. Begitu dia sendiri yang kerepotan, malah aku yang jadi pelampiasan. Aku dipanggil ke kantornya dan dimarahin habis-habisan. Aku nggak terima, jadi aku coba jelasin diri. Tapi dia malah makin marah dan bilang aku berani melawan dia."
Saat Janice menceritakan hal ini, hatinya makin tertekan dan air matanya kembali mengalir tanpa bisa ditahan.
Valencia mengulurkan beberapa lembar tisu. "Sudah, jangan nangis. Gimana kalau kamu jadi asistenku saja? Aku bisa bicara sama kepala bagian."
Mata Janice langsung berbinar, dia menatap Valencia penuh harap. "Benaran bisa gitu?"
"Tentu aja. Kamu 'kan magang di firma hukum, bukan di bawah nama Bu Vera secara langsung. Jadi, pindah ke aku juga nggak masalah."
Begitu mendengar penjelasan Valencia, Janice langsung tersenyum lega. "Makasih banyak, ya, Kak Valencia."
"Sudah, jangan sedih lagi. Yuk, makan yang banyak biar hati senang."
"Oke."
Setelah selesai makan, Valencia bangkit untuk membayar.
Baru beberapa langkah, sepasang pria dan wanita berjalan ke arahnya dari depan.
"Valencia Kylie?" Pria itu menyapa Valencia, sementara sepasang mata berbentuk bunga persik miliknya menatap Valencia sambil tersenyum.
Valencia menoleh, lalu menatap pria itu dengan bingung. "Kamu siapa?"