Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Rumah Keluarga Aldeno, tempat pesta digelar. Nadia menggendong bayinya dan berjalan di samping Tama sambil menyapa para tamu. Ke mana pun mereka melangkah, orang-orang selalu memuji karena memang sengaja mau menjilat. Nadia yang awalnya bersikap tenang dan rendah hati, lama-lama dibuat terlena dan jadi besar kepala. Selena, ibu Tama, menggenggam jari Nadia sambil berdecak kagum, "Nadia sangat berjasa bagi keluarga kami. Seharusnya dari dulu Tama menikahimu. Sayangnya, posisi itu malah direbut duluan sama perempuan mandul itu." Dulu Tama pasti akan membela Nabila setiap kali mendengar kalimat seperti itu. Pria itu bahkan rela berdebat dengan kedua orang tuanya demi membela Nabila. Namun, sekarang pria itu sibuk menimang anak di pelukannya. Dia seolah tidak mendengar apa pun. Tanpa sadar, hatinya sudah berpaling jauh dari Nabila. Seorang kenalan yang dekat dengan Keluarga Aldeno pun menimpali dengan manis, "Aduh, kalau menurutku sih, Nabila itu beruntung sekali. Dia punya adik baik hati yang rela membantu seperti Nadia. Mana ada orang yang nggak iri padanya." Mendengar itu, Nadia pura-pura sungkan seperti biasa, "Memang benar, tapi jangan sampai kakakku dengar, kalau nggak, dia pasti marah." Dia mengatakannya sambil mengusap air mata yang sebenarnya tidak ada. Dia sengaja memasang ekspresi seolah selalu ditindas. Tama memeluknya dan berbisik pelan, "Sudahlah, semuanya juga tahu seberapa pengertian dirimu. Kalau Nabila berani menindasmu lagi nanti, katakan saja padaku." Ucapan barusan seolah menegaskan kalau tidak peduli apa pun yang terjadi, Tama akan selalu memihak Nadia. Bahkan jika harus menghadapi istrinya sendiri. Nabila berdiri tidak jauh dari sana. Dia menyaksikan semua ini dengan mata kepalanya sendiri. Tentu saja dia juga mendengar setiap ejekan yang terlontar dari mulut mereka. Soal sikap Tama, dia sudah tidak peduli lagi. Nabila masih sakit hati, rasanya seperti tertusuk jarum. Tapi dia memilih untuk mengabaikannya. Kedatangannya kali ini bukan untuk bertengkar, tapi untuk memberikan hadiah pada mereka. Nabila berjalan santai menghampiri mereka, lalu berkata, "Tante Chika, kamu barusan bilang kalau punya adik seperti Nadia merupakan keberuntungan bagiku. Kalau begitu, aku akan memberikan keberuntunganku itu padamu, apa kamu mau?" Usai bicara begitu, wajah Tante Chika yang mendengarnya malah berubah suram. Tapi dia hanya bisa tersenyum canggung karena merasa bersalah sudah membicarakan Nabila barusan. "Nabila, bicara apa kamu ini? Apa kamu nggak bisa menghormati orang tua?" Orang tua Nabila masih mau memarahinya, tapi siapa sangka kalau Nabila malah menunjukkan buku nikah Tama dan Nadia di depan semua orang. "Semuanya, hari ini bukan cuma pesta ulang tahun seorang bayi. Tapi juga ulang tahun pernikahan adikku dan suamiku. Sayang sekali mereka ceroboh, sampai lupa bawa buku nikah. Makanya, aku sengaja datang ke sini membawakannya, supaya semua orang bisa melihatnya jelas ... " Para tamu langsung berkerumun mengelilinginya. Saat melihat cap resmi di buku nikah itu, lalu nama yang tertulis di sana, orang-orang pun berseru kaget. "Bukankah Tama bilang dia nggak menyimpan rasa suka ke adik iparnya? Mereka menikah cuma demi melanjutkan garis keturunan saja, 'kan? Kenapa harus repot-repot ke luar negeri untuk menikah?" Seseorang lalu menimpali dengan sinis, "Kurasa, mereka memang sudah lama selingkuh. Mereka sengaja pakai alasan melanjutkan keturunan untuk menutupi aib." Ada makin banyak orang yang berbisik. Para tamu pun menatap Tama dan Nadia dengan tatapan menghina. Beberapa orang memilih tetap diam karena masih berteman, tapi tetap saja memaki dalam hati. Nadia tidak terima, dia diam-diam mencubit bayinya. Saat bayinya menangis, dia berkata dengan sedih, "Kak, Kak Tama yang menawarkan diri untuk mengesahkan pernikahan kami sebagai bentuk kompensasi. Kamu sudah punya segalanya, kenapa kamu masih mempermasalahkan hal ini denganku?" Nadia menangis tersedu dan terlihat menyedihkan. Dia benar-benar mencari kesempatan untuk lepas dari tanggung jawab. Orang tua Tama dan Nabila pun tidak tinggal diam. Mereka berteriak memanggil satpam untuk mengusir Nabila. Tama sendiri tampak tegang. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu dengan nada tinggi berkata, "Cukup! Semuanya diam!" Dia melangkah maju dan berdiri di depan Nabila. Suaranya terdengar sangat kecewa, "Apa kamu harus melakukan ini? Kamu mempermalukanku dan adikmu di depan semua orang. Apa ini yang kamu mau?" Belum sempat Nabila menjawab, layar besar di belakang para tamu tiba-tiba menyala. Sebuah video yang remang-remang pun terputar di layar. Dalam video tersebut, ada sosok Nadia yang tampak compang-camping dan berlumuran darah. Dia memohon ke kamera, "Kak Nabila, maafkan aku. Aku nggak seharusnya menyukai Kak Tama. Jangan pukul aku, sakit ... " Kemudian, suara Nabila terdengar dari dalam video tersebut. "Aku akan melepaskanmu, tapi kalau kamu berani membocorkan kejadian ini, aku akan langsung menyuruh belasan pria untuk menodaimu! Kita lihat, apa kamu masih bisa sok suci." Video kemudian berakhir. Semua orang beralih menatap Nabila dengan kaget. Nadia diam-diam tersenyum saat tidak ada yang melihatnya. Dia lalu bergumam sinis dalam hati, "Kak, bukan cuma kamu yang bisa menyiapkan hadiah, aku juga sudah menyiapkannya untukmu." Entah apakah video itu asli atau rekayasa, yang jelas Tama sudah menganggapnya asli. Urat-urat di lehernya terlihat menonjol, kedua matanya nyaris memancarkan api. "Pengawal, masukkan Nabila ke tangki air dan kunci dia di sana! Aku mau dia menderita." Nabila berpikir sejenak, lalu langsung sadar kalau dia sudah dijebak. Sebelum dia bisa menjelaskan atau membela diri, dua orang pengawal sudah datang dan memegangi lengannya. Tubuhnya seperti kain yang mudah diseret, lalu dilempar begitu saja ke dalam tangki air. Begitu tutup tangki di bagian atas terkunci rapat, dia benar-benar tidak bisa keluar lagi. Dia memukul-mukul tangki dengan panik. Tapi tidak lama kemudian, air mulai memasuki hidung dan mulutnya. Rasa sesak menjalar ke seluruh tubuh, membuat tangan dan kakinya kehilangan tenaga secara perlahan. Di tengah kesadarannya yang makin kabur, dia seolah melihat sosok Tama yang berlari panik ke arahnya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.