Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Saat Nabila siuman, hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit rumah sakit, serta aroma kuat disinfektan di hidungnya. Melihatnya siuman, Nadia langsung menggenggam tangannya dan pura-pura cemas, "Kak, dokter bilang kamu nyaris mati. Tolong jangan salahkan Kak Tama, dia melakukan semua ini demi aku." Permintaan maaf Nadia ini malah terdengar seperti hasutan sekaligus sindiran. Melihat wajah Nadia yang mirip dengan wajahnya sendiri, semua ini terasa begitu absurd bagi Nabila. Orang sering bilang kalau anak kembar punya ikatan batin. Sejak kecil, mereka memang punya kebiasaan serta kesukaan yang sama. Kalau bukan orang yang benar-benar dekat, nyaris tidak ada yang bisa membedakan mana Nabila mana Nadia. Tapi, sekarang mereka sampai punya satu suami yang sama. Nabila diam-diam menarik tangannya. Dia menoleh ke jendela dan memilih diam. Sementara itu, Tama terlihat kasihan dan memilih membantu Nadia berdiri dengan lembut. Dia lalu menatap Nabila dengan wajah suram. "Nadia sudah baik mau minta maaf padamu. Padahal kamu yang salah. Bukankah kamu seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah kamu buat dulu?" Nabila refleks terkekeh mendengarnya. Dia menatap Tama dan membalas, "Kamu menyalahkanku hanya karena suaraku terdengar dari dalam video itu. Apa kamu nggak pernah berpikir kalau video itu cuma rekayasa?" Dia dan Tama sudah bersama selama bertahun-tahun, tapi pria itu masih saja tidak memercayainya. Konyol sekali. Tama sempat mau mengatakan sesuatu. Sorot matanya berkilat, terlihat menyembunyikan rasa bersalah. Tapi pada akhirnya dia hanya diam, lalu pergi meninggalkan ruangan bersama Nadia. Setelah mereka pergi, Nabila menerima telepon dari kantor pengurusan visa. Mereka mengatakan kalau Nabila jadi wanita pertama di dalam negeri yang bisa memenangkan Penghargaan Pulitzer, dan secara khusus mempercepat proses pengajuan visanya. Nabila bisa mendapatkan visanya minggu depan. Itu artinya, dia hanya perlu menunggu satu minggu lagi. Setelah seminggu berlalu, dia akan benar-benar bebas dari segala hal yang berhubungan dengan Tama. ... Dua hari kemudian, Nabila pulang dari rumah sakit sendirian. Tama hanya mengirimkan pesan singkat padanya. Tama: [Nadia bilang belum pernah kencan sebelumnya. Makanya, aku akan menemaninya kencan beberapa hari ini. Jaga diri baik-baik dan tunggu aku pulang.] Nabila nyaris tertawa membaca pesan barusan. Tawa getir seolah mengiris hatinya yang pedih. Waktu dia dan Tama baru jadian dulu, pria itu rela pulang dan meninggalkan urusan pekerjaan bernilai triliunan hanya demi merayakan ulang tahun Nabila. Tama mengecup lembut keningnya dan berkata, "Aku bukan cuma mau menemanimu merayakan ulang tahun. Tapi juga mau menemanimu melakukan semua hal yang biasanya dilakukan pasangan kekasih. Aku nggak tega membiarkanmu iri melihat orang lain berpacaran." Tama memang menepati janjinya. Meskipun setelah itu bisnisnya berkembang pesat, pria itu tetap meluangkan waktu untuk menemaninya secara rutin. Mereka pergi kencan, jalan-jalan, dan makan bersama seperti pasangan muda pada umumnya. Dulu, mereka juga pernah berdiri di depan pohon jodoh. Di sana mereka berjanji akan saling mencintai selamanya. Tapi kini janji itu sudah usang. Dari unggahan akun sosmed Nadia, Nabila bisa melihat Tama juga sedang berdiri di depan pohon jodoh yang dulu. Sayangnya, wanita yang berdiri di samping pria itu bukan lagi dirinya ... Tangan Nabila yang menggenggam ponsel pun gemetar. Hatinya digulung ombak kesedihan. Dia baru bisa tenang saat malam tiba. Dia lalu mengambil album foto dari laci di samping tempat tidur. Dia melemparkan semua kenangannya dan Tama ke perapian, lalu membakarnya sampai habis. Bukan hanya foto, tapi juga cincin yang secara khusus Tama pesankan dari luar negeri untuknya. Nabila mengambil palu dan menghancurkan cincin itu hingga menjadi serpihan tanpa ragu. Nabila membuang, membakar, dan menghancurkan semua barang yang menyimpan kenangan mereka di rumah ini tanpa sisa. Dia bisa menerima pengkhianatan, dia sanggup menghadapi semuanya. Kenangan yang dulu terasa berharga, kini sudah tiada artinya untuk disimpan. Tidak lama kemudian, rumah yang dulu hangat penuh cinta pun berubah berantakan. Sama seperti hubungannya dengan Tama yang mustahil bisa kembali seperti semula. Tiga hari kemudian, Tama tiba-tiba menyuruh tiga orang pengawal datang ke rumah. Tanpa banyak bicara, mereka membawa pergi Nabila secara paksa. Saat Nabila menyadari situasinya, dia sudah berada di depan ruang operasi. Seorang perawat mengulurkan dokumen persetujuan keluarga yang tebal. "Kalau nggak ada masalah yang lain, silakan tanda tangan di sini." Jantung Nabila berdebar kencang. Dia pun bertanya dengan bingung, "Kenapa harus tanda tangan?" Pengawal di sampingnya segera menjelaskan, "Nona Nadia mengalami luka bakar di wajah saat pergi kencan. Pak Tama ingin memakai kulitnya sendiri untuk transplantasi kulit Nona Nadia. Sebagai istri sah Pak Tama di dalam negeri, dia butuh tanda tangan Nona Nabila untuk melakukan operasi itu." Nabila sempat tidak tahu apakah dia harus tertawa saat mendengar sebutan istri sah dalam negeri barusan. Dia bingung apakah harus menjelaskan kalau dia sudah menceraikan Tama, atau mengagumi betapa cintanya Tama ke Nadia. Desakan para pengawal akhirnya membuatnya dengan berat hati membubuhkan tanda tangan di kolom keluarga pasien.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.