Bab 3
Air mataku sontak terjatuh ke atas rumput.
"Kamu baik-baik saja?" Tiba-tiba, dari atas kepalaku terdengar sebuah suara lembut, tetapi dingin.
Aku refleks menengadah. Ternyata yang bertanya adalah pamannya Rivano, Jayden Jonel.
Aku menunduk dan mengusap air mataku sekaligus menghindari tatapannya.
Dia seolah tidak menyadari jarak yang kuciptakan, malah berjongkok dan menarikku berdiri. "Kenapa? Rivano membuatmu marah?"
Aku menggelengkan kepala, lalu bangkit berdiri dengan bantuan Jayden.
"Makasih, Paman. Tolong lepaskan aku."
Jayden seolah tidak mendengarkan, tangannya yang hangat masih memegang lenganku dengan erat.
Ibu jarinya mengusap dengan lembut, tetapi nada bicaranya terdengar serius.
"Jawab aku, apa dia bersenang-senang dengan mahasiswa atau perempuan bayaran lagi? Biar Paman wakili kamu untuk memberinya pelajaran."
Benar. Waktu sebelumnya Rivano berselingkuh, Jayden-lah yang selalu menjadi orang pertama yang memberitahuku.
Aku tahu betul kenapa dia melakukannya, Jayden juga tidak pernah menyembunyikannya.
Aku tiba-tiba teringat kata-kata Rivano hari ini. Bahwa yang namanya pria itu pasti menghadapi banyak godaan.
Bah.
Rivano tidak tahu bahwa pamannya juga terus "menggoda"-ku.
Pada musim kering di tahun pertama aku tiba di Keluarga Jonel, orang pertama yang kulihat bukan Rivano, melainkan Jayden.
Walaupun status mereka adalah paman dan keponakan, selisih usia mereka hanya empat tahun.
Aku pikir Jayden-lah tunangan yang dijodohkan kakekku denganku, jadi aku mulai mengajaknya bicara dengan malu-malu.
Kemudian saat Kakek Arnos memperkenalkan anggota keluarganya, baru kusadari dia terlihat seusia denganku walaupun hierarkinya lebih tinggi. Aku pun menyapanya dengan sebutan "paman" dengan telinga yang memerah malu.
Kakek Arnos bilang Jayden jarang ada di rumah.
Aku merasa lega.
Namun, setelah itu setiap kali aku di rumah Keluarga Jonel, aku selalu melihat Jayden.
Jayden yang turun minum tanpa baju di pagi hari, Jayden yang baru berenang di malam hari hanya dengan memakai celana renang di malam hari, Jayden yang selalu tampan dan dingin setiap hari.
Awalnya aku tidak ambil pusing, sampai hari kelulusanku dan Rivano. Kami pergi merayakan dan Jayden ikut untuk pertama kalinya.
Di pesta itu, baik Rivano maupun Jayden mabuk.
Rivano ingin menyewa kamar di hotel untuk tidur, tetapi Jayden bersikeras pulang ke rumah.
Aku terpaksa memesan taksi untuk mengantar Jayden pulang.
Di dalam mobil, Jayden yang mabuk menggenggam erat tanganku dan terus memanggil namaku.
Aku hanya duduk diam di mobil, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Sejak saat itu, Jayden tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Dia selalu menatapku dengan sorot menggoda dan terus memberikan berbagai isyarat melalui kata-katanya.
Sebelumnya, setiap kali menghadapi isyarat halus dari Jayden, aku selalu berpura-pura tidak mengerti dan menghindar.
Namun, hari ini di hadapan ibuku, aku menggenggam tangan Jayden yang besar dan hangat untuk pertama kalinya.
"Paman, Paman tahu kalau aku cuma mengakui perjodohan yang ditetapkan ibuku."
"Siapa dari Keluarga Jonel yang akan memenuhi perjodohan ini, semuanya tergantung keputusan Kakek Arnos."
Jayden sontak tersenyum dan saat itu juga sinar matahari tiba-tiba menjadi sangat terang,
"Milea, aku sudah menunggu kalimat itu selama tujuh tahun."
"Tunggu aku, serahkan semuanya padaku."