Bab 3
Saat melihat Clarice bergerak lambat, wajah Justin langsung menggelap.
"Pura-pura lemah lagi? Clarice, aku kasih tahu, setelah Tika mahir parkir mundur, baru kamu bisa pergi. Nggak ada gunanya menunda, lebih baik menurut saja, jangan paksa aku menyuruh orang mengikatmu di situ!"
Clarice tahu kesabarannya terbatas. Justin akan melakukan apa yang dia katakan. Clarice memakai lutut untuk berdiri dan kembali ke posisi.
Bam! Dia kembali ditabrak hingga menghantam pembatas bunga dan memuntahkan darah hitam pekat.
Matanya berkunang-kunang, kesadarannya mulai hilang. Dia hanya mengandalkan naluri untuk bangkit kembali dan ditabrak sekali lagi.
Sepanjang sore, entah sudah berapa kali Clarice ditabrak, darahnya mewarnai tanah.
Dia merasa organ tubuhnya seperti berpindah posisi, sakit membuat tubuhnya gemetar tak terkendali.
Ketika tenaga terakhirnya terkuras, dia membuka mata kosongnya dan melihat wajah Tika yang tersenyum penuh semangat.
Andrew mengambil saputangan untuk menyeka keringat di tangannya dengan lembut. Sedangkan Justin menatapnya dengan bangga.
"Dengan penanda, Tika jadi belajar cepat. Tiga jam saja sudah bisa. Pintar sekali."
"Kakak benar-benar senang untukmu. Hari ini kamu sudah capek belajar. Malam ini mau makan apa? Kami temani, anggap sebagai hadiah."
"Aku mau makan makanan barat. Aku dengar ada restoran baru di Benhil. Mari kita pergi mencobanya."
Mereka bertiga sibuk membahas makan malam, tidak ada yang peduli pada hidup mati Clarice.
Dia terbaring di genangan darah dan merasa detak jantungnya semakin lemah, pandangannya semakin kabur.
Saat hampir pingsan, mobil yang berhenti mendadak melaju, menabrak kedua kakinya.
Kesadarannya langsung pulih karena rasa sakit luar biasa, jeritan tragis bergema di halaman rumput.
Tika panik dan membuka pintu. Saat melihat Clarice berlumuran darah di tanah, dia langsung menangis histeris.
"Aku nggak sengaja menginjak gas menjadi rem. Apakah Nona Clarice sudah mati ditabrak olehku? Apakah aku harus masuk penjara?"
Ketika melihatnya menangis, Andrew langsung memeluknya, Justin menutup matanya dengan penuh kasih.
"Jangan takut, ada kami ada di sini. Kami mana mungkin tega membiarkanmu dipenjara? Dia nggak akan mati, paling hanya cacat. Itu hukuman dari langit, nggak ada hubungannya denganmu!"
Keduanya menenangkan Tika sambil mengawalnya masuk mobil, lalu meninggalkan vila.
Saat melihat Maybach itu menjauh, air mata perlahan jatuh dari sudut mata Clarice.
Napasnya semakin lemah, pupil matanya perlahan melebar dan kegelapan tak berujung datang menenggelamkan dirinya sepenuhnya ....
Saat tersadar, Clarice mendapati dirinya sudah dibawa ke rumah sakit.
Dokter berdiri di samping tempat tidurnya dan menarik napas lega saat melihatnya sadar. "Kamu kehilangan terlalu banyak darah, Pak Justin memerintahkan seluruh bank darah di kota ini untuk membantu. Kami baru berhasil menyelamatkanmu setelah sehari semalam. Meski nyawamu nggak terancam, tapi kakimu cedera parah. Pak Andrew memanggil ahli ortopedi terbaik di seluruh negeri untuk konsultasi, tapi tetap nggak bisa disembuhkan sepenuhnya. Kamu nggak bisa melakukan aktivitas fisik berat lagi seumur hidupmu."
Clarice tidak menyangka dirinya masih bisa hidup.
Tapi dia tahu, alasan Andrew dan Justin menyelamatkannya hanyalah untuk terus menyiksanya.
Bagi Clarice saat ini, hidup dan mati tidak ada bedanya. Soal cedera kaki, lebih tidak berarti lagi.
Dia menggelengkan kepala, memaksakan suara serak keluar dari tenggorokannya untuk menjawab dokter.
"Nggak apa‑apa, lagi pula ini sudah kali ke‑996."
Belum selesai bicara, pintu kamar terbuka. Andrew dan Justin masuk dengan wajah dingin.
"Kali ke‑996 apanya?"
Clarice menunduk, menghindari tatapan mereka, suaranya jauh lebih lemah.
"Nggak apa‑apa."
Keduanya tidak peduli dengan apa yang dia ucapkan. Mereka berdiri jauh di pintu dan berkata dingin.
"Dokter bilang kakimu lumpuh, nanti jalan pun sulit? Itu memang hukuman yang pantas kamu terima, bukan salah Tika. Kamu sebaiknya nggak menyulitkannya karena masalah ini. Kalau nggak, tanggung sendiri konsekuensinya."
"Andrew benar, kamu hanya kehilangan sepasang kaki. Tapi Paman Gio, Bibi Karin, dan orang tua kita kehilangan nyawa! Kamu nggak berhak menyalahkan siapa pun. Semua yang kamu alami sekarang hanyalah balasan dari langit!"
Clarice menggenggam tangan sekuat tenaga, tapi rasa sakit yang menyebar di hatinya tetap tidak bisa ditekan.
Akhirnya dia membuka mulut, tapi sangat lirih. "Aku nggak akan menyalahkan siapa pun dan akan membiarkan kalian menumpahkan sakit di hati kalian. Setelah melunasi semua utangku, aku akan melakukan seperti yang kalian inginkan ...."
Selama bertahun‑tahun ini, Andrew dan Justin sudah terlalu sering mendengar ucapan penyesalan semacam itu. Tapi tetap saja tidak bisa memadamkan kebencian yang membara di hati mereka.
Setiap kali melihat wajah Clarice, mereka akan teringat pada empat jasad yang terbaring di ruang jenazah, membuat dada sesak.
Saat ini, telepon dari Tika masuk. Jadi mereka tidak mendengar habis kata‑katanya, langsung membanting pintu dan pergi.
Kata "dan mati" yang ingin diucapkan Clarice tenggelam begitu saja dalam suara pintu menutup.
Selain dirinya, tidak ada yang mendengarnya.