Bab 5
Tapi tangannya lemah, pecahan kaca hanya menggores sedikit kulitnya, tidak mengenai arteri.
Saat melihat sedikit darah yang merembes keluar, Andrew dan Justin yang sedetik sebelumnya begitu panik, akhirnya mengembuskan napas lega.
Setelah memastikan nyawanya aman, mereka berdua secara naluriah menganggap tindakannya tadi hanya akting. Wajah mereka semakin gelap.
Justin melangkah maju dan menamparnya dengan keras, memarahinya penuh kepalsuan.
Andrew memanggil pengawal, memerintahkan mereka menyeret Clarice ke pemakaman untuk berlutut tiga hari tiga malam sebagai penebusan dosa.
Clarice menutup wajahnya yang bengkak, diseret pergi oleh beberapa orang, tanpa sedikit pun martabat tersisa.
Hujan deras membasahi tubuhnya, Clarice berlutut di depan makam, air mata mengalir deras.
"Ini sudah kali ke-997. Ayah, Ibu, Paman Gio, Bibi Karin, Kakak dan Andrew tetap nggak mau memaafkanku. Aku sebentar lagi akan datang langsung untuk meminta maaf pada kalian. Maaf, aku tahu hidupku kalian yang beri, tapi aku benar-benar nggak sanggup lagi."
Hujan turun tiga hari penuh, Clarice juga berlutut selama tiga hari.
Air hujan membasuh luka-lukanya hingga memutih. Rasa dingin yang lembap merayap ke tubuhnya, menyiksa sarafnya.
Dia demam tinggi, roboh di tanah, napasnya terengah-engah, dan kesadarannya perlahan menghilang.
Tidak tahu berapa lama berlalu, beberapa suara familier membangunkannya.
"Kak Andrew, benaran nggak bawa Nona Clarice ke rumah sakit? Dia sakit parah, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu?"
"Dia sangat menghargai hidupnya, kalau benar-benar mau mati, nggak akan bertahan sampai sekarang. Saat di pesta ulang tahunmu, dia seolah mau bunuh diri, tapi luka yang dibuat bahkan bisa sembuh sebelum dibawa ke rumah sakit. Jelas itu hanya akting."
"Orang sepertinya, mana mungkin bunuh diri? Dia ingin hidup lebih dari siapa pun. Kalau mati, dosa-dosanya akan membawanya ke neraka, nggak akan bisa bereinkarnasi."
Mendengar suara penuh kebencian Andrew dan Justin, Clarice membuka mata dan menemukan dirinya dilempar di bagasi mobil.
Goncangan sepanjang jalan membuat lukanya robek lagi. Darah merembes dan segera membasahi pakaiannya.
Tika yang duduk di kursi depan menutup hidungnya dan mengeluh beberapa kali.
"Aroma apa ini? Bau sekali."
Justin mengerutkan dahi, menyuruh sopir berhenti, lalu turun membuka bagasi.
Saat melihat Clarice sadar, matanya langsung redup.
"Kalau sudah bangun, turun dan jalan pulang sendiri. Jangan mengotori mobilku."
Seluruh tubuh Clarice kesakitan. Dia memaksakan diri merangkak keluar dari bagasi, tapi jatuh tersungkur, sehingga lukanya bertambah banyak.
Tika yang melihat dari jendela mobil terkejut dan menjerit, lalu menarik tangan Andrew.
"Nona Clarice terlihat sangat lemah. Kak Andrew, kita antar dia pulang saja. Jalan pulang ke rumah sangat jauh, dia mau jalan sampai kapan?"
Andrew melirik Clarice sekilas, wajahnya sedingin es.
"Hidup matinya bukan urusanku."
Selesai bicara, sopir menyalakan mesin dan mobil melaju pergi, meninggalkan Clarice sendirian.
Clarice berdiri sendiri di pinggir jalan, menatap mobil yang menjauh dari pandangannya, lalu melangkah perlahan menuruni gunung.
Jaraknya sejauh tiga puluh kilometer. Clarice berjalan dari siang sampai malam, kakinya sampai melepuh dan berdarah barulah dia tiba di rumah.
Tidak ada seorang pun di vila itu, dia bersandar ke dinding ingin masuk kamar, tiba-tiba mendengar suara aneh.
Dia mengikuti suara itu, melihat kucing peliharaan Tika meloncat ke altar ruang tamu.
Plak! Papan peringatan Johan dan Azura jatuh, pecah berkeping-keping.
Hati Clarice berdebar, buru-buru menangkap kucing itu.
Kucing menggigit tangannya, rasa sakit membuat dia melepaskan tangan. Kucing itu jatuh ke lantai, kakinya berdarah dan terus merintih.
Detik berikutnya, Tika membuka pintu dan masuk. Saat melihat darah di tubuh kucing, matanya langsung memerah.
"Nona Clarice, Kiko nggak bersalah padamu, kenapa kamu menyakitinya?"
Andrew dan Justin mendengarnya, wajah mereka langsung menggelap
Clarice terkejut, otaknya kosong. "Bukan seperti itu ... ia yang menyenggol papan peringatan Ayah dan Ibu. Aku menangkapnya, ia menggigitku, makanya aku melepaskan tangan. Tapi nggak sengaja membuatnya terluka."
"Omong kosong apa kamu? Kiko sangat jinak. Saat aku nggak ada di rumah ia nggak pernah keluyuran sembarangan, apalagi sampai merusak papan peringatan! Kamu sendiri yang merusak papan peringatan, malah menyalahkan kucing. Kamu nggak merasa konyol?"
"Aku nggak bohong ...."
Ketika melihat Tika memeluk kucing sambil menangis, lalu melihat papan peringatan yang pecah di lantai, wajah Justin berubah menjadi sangat gelap. Dia langsung menyela Clarice dengan marah.
"Cukup! Clarice, kamu melakukan kesalahan, malah menyalahkan kucing! Aku rasa kamu sudah gila! Kamu nggak pantas jadi putri Keluarga Centella!"
"Ambilkan hukuman keluarga!"