Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Sebelum operasi, Justin dan Andrew tiba-tiba mengeluarkan beberapa permen dari saku. Lalu meletakkannya di telapak tangan Clarice yang dingin. "Operasinya akan segera selesai." Tindakan ini terlalu familier, begitu familier sampai Clarice hampir mengira semua siksaan lima tahun ini hanyalah mimpi buruk. Dia masih adik yang dulu dimanja oleh kakaknya. Andrew masih tunangan yang berjanji memberikannya kebahagiaan seumur hidup. Lampu indikator merah ruang operasi tiba-tiba menyala, cahaya menyilaukan itu menariknya kembali ke kenyataan. Clarice menggenggam permen di tangan. Dia tiba-tiba menyadari harga dari kelembutan itu. Mereka hanya menginginkan ginjalnya dan berharap prosesnya berjalan lebih lancar. Obat bius perlahan masuk ke pembuluh darah, Clarice merasakan kesadarannya perlahan memudar. Tangannya kehilangan tenaga, satu per satu permen jatuh ke lantai dan mengeluarkan suara renyah. Dia merasa seolah sedang bermimpi dan mengapung dalam gelap cukup lama, lalu mendengar empat suara hangat dan ramah. "Clarice, pergi telepon minta tolong. Kami akan bertahan dan menunggumu kembali." Itu suara Ayah, Ibu, Paman Gio, dan Bibi Karin. Itu kata terakhir mereka sebelum meninggal. Clarice memanggil mereka, membuka mata dengan wajah penuh air mata, tapi yang dilihat justru wajah muram Andrew dan Justin. Andrew menatapnya tajam, nada suaranya dingin. "Kamu tadi mimpi apa?" Clarice berkata pelan, "Aku mimpi, mimpi mereka melambaikan tangan padaku. Apakah mereka ... sudah memaafkanku?" Kalimat itu seperti jarum tajam, menusuk bagian paling sakit di hati kedua pria itu. Justin terengah, lalu menggertakkan giginya. "Nggak, nggak ada yang akan memaafkanmu! Nggak satu orang pun!" Clarice menatap mereka dengan tatapan kosong. Jantungnya terasa seperti dicengkeram tangan tidak terlihat, sakit sampai hampir tidak bisa bernapas. Air mata yang baru berhenti, mengalir lagi. Dia menggeleng dengan keras kepala, suaranya penuh rasa tersakiti. "Nggak mungkin, aku sudah menebus dosa sebanyak 999 kali, mereka pasti akan memaafkanku, pasti akan." Saat melihatnya menangis begitu putus asa, hati Andrew dan Justin bergetar. Saat hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara bahagia asisten dari belakang. "Pak Andrew, Pak Justin, Nona Tika sudah bangun." Ketika mendengar kabar itu, kedua pria itu langsung berbalik, hendak meninggalkan ruang perawatan. Clarice mengerahkan sisa tenaganya, memanggil mereka. "Kakak, Kak Andrew, selamat tinggal." Langkah mereka berhenti, tapi hanya satu detik, bahkan kepala pun tidak menoleh. "Jangan panggil aku kakak, aku nggak punya adik sepertimu." "Hal yang paling aku sesali seumur hidupku adalah jatuh cinta padamu." Saat pintu ruang perawatan tertutup, Clarice tersenyum. Dia perlahan mencabut infus di tangan, berjalan tanpa alas kaki ke jendela. Bulan malam ini begitu besar, begitu bulat. Ini kali terakhir Clarice melihatnya. Dunia memang indah, tapi di kehidupan berikutnya, dia tidak ingin kembali lagi. Dia menatap langit dengan diam. Cahaya bulan yang dingin menerangi wajahnya yang pucat. Cahaya itu juga menerangi Andrew dan Justin yang baru kembali dari membeli ronde kesukaan Tika. Mereka bergegas menuju ruang VIP untuk menemuinya. Mereka khawatir pada Tika, jadi melangkah tergesa-gesa. Ketika sebuah jeritan pecah menembus malam, Andrew dan Justin baru saja tiba di pintu rumah sakit. Mereka refleks menengadah, melihat satu sosok jatuh dari lantai delapan belas seperti kupu-kupu yang sayapnya patah. "Bruk!" Clarice jatuh dengan keras di depan mereka, darah perlahan menyebar di bawah tubuhnya. Senyum lega masih menghiasi sudut bibirnya, tapi mata yang dulu penuh cinta, kini tertutup untuk selamanya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.