Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Pria di sofa itu akhirnya duduk tegak, matanya terkejut. "Kamu bersedia? Wulan, apa kamu sudah nggak waras?" "Memang Keluarga Silendra dan ibumu pernah punya janji lisan, tapi kedua kaki Yogi Silendra itu lumpuh, seumur hidup hanya bisa duduk di kursi roda. Menikah dengannya nggak ada bedanya dengan menjadi janda hidup." Ucapan Cahyo Estiawan panjang dan lebar, tetapi Wulan hanya menanggapi dengan tawa dingin. "Aku menikah dengan Yogi, lalu biarkan perempuan jalang itu menikah dengan Sigit. Bukankah itu sesuai dengan keinginanmu? Untuk alasan di baliknya, kamu nggak perlu ikut campur." "Baik, jangan menyesal nanti." Wulan berdiri dan berjalan ke arah pintu, tetapi tiba-tiba dia berkata, "Jangan dulu beri tahu Sigit soal ini." "Tenang saja, aku nggak sebodoh itu." Memberi tahu Sigit bukannya hanya akan membuat pemuda itu ribut? Cahyo tidak sebodoh itu. Saat Wulan sampai di depan rumahnya, waktu sudah hampir subuh. Sekilas saja, dia melihat Sigit sedang berjongkok di tepi jalan, seluruh tubuhnya berbau alkohol, tampak menyedihkan seperti anak anjing yang dibuang. Mendengar langkah kaki, Sigit segera mendongak. Saat melihat Wulan, matanya langsung berbinar. "Wulan, akhirnya kamu datang. Aku sudah menunggumu begitu lama!" "Kenapa kamu nggak datang mencariku? Kamu tahu nggak, aku sedih banget ... " Sigit memiliki sepasang mata yang indah. Saat dia menatap seseorang, orang itu selalu akan merasa pria itu penuh perasaan. Berkali-kali di masa lalu, setiap kali dia membuat Wulan marah, dia akan memandang Wulan dengan cara yang menyedihkan dan manja seperti itu. Dan Wulan pun tidak tega untuk terus marah. Namun kali ini, di benak Wulan hanya terngiang kata-kata yang diucapkan Sigit tadi, berulang tanpa henti. "Ada urusan apa?" "Kok kamu dingin banget sama aku ... Wulan, biarkan aku masuk, ya? Aku tadi minum, dan kehujanan juga, aku merasa nggak enak badan ... " Sigit meraih ujung baju Wulan, suaranya lembut dan manja. Namun, belum sempat Wulan menjawab, ponsel Sigit sudah berdering. Wulan samar-samar mendengar suara di seberang, sepertinya Tina. "Kalau nggak enak badan, pergilah ke dokter. Untuk apa kamu telepon aku?!" Nada Sigit terdengar jengkel, lalu dia segera memutus sambungan. Hujan di luar belum juga reda, dan Wulan memperhatikan rona merah yang tidak wajar di wajah Sigit. Pada akhirnya, hatinya melunak juga. Bagaimanapun, mereka tumbuh bersama sejak kecil. Dia mengajak Sigit masuk ke rumah, mengambilkan obat flu, menaruhnya di sofa. Setelah itu, dia pergi ke kamar untuk beristirahat. Setelah semalaman bekerja, Wulan sangat lelah. Dalam keadaan setengah sadar, dia merasa seperti ada yang mencoba membuka pintu kamarnya. Namun, Wulan memang selalu tidur dengan pintu terkunci. Setelah gagal, Sigit segera menyerah. Keesokan paginya, Sigit sudah pergi. Di meja makan masih ada sarapan yang ditinggalkannya. Awalnya, Wulan mengira Sigit pergi pagi-pagi sekali. Namun, sesampainya di teater, dia langsung melihat bekas merah di leher Tina. "Tina, cowok yang baru saja mengantarmu itu pacarmu, ya? Tampan sekali!" "Iya! Dan mobilnya juga mahal, pasti orang kaya!" "Aku iri padamu, Tina. Pacarmu tampan dan juga baik sekali padamu ... " Tina tersenyum malu, lalu mengedipkan mata ke arah Wulan. Wulan segera mengerti. Semalam, setelah tahu kamarnya terkunci, Sigit pasti langsung pergi menemui Tina. Sarapan di meja itu pun pasti sekadar sambil lalu. Wulan menunduk sambil mengenakan sepatu tarinya, senyum di sudut bibirnya penuh ejekan. Setelah satu sesi latihan selesai dan waktu istirahat tiba, Wulan tidak tertarik mendengar orang-orang memuji Tina. Dia pergi keluar sendirian untuk menghirup udara segar. Namun, Tina justru mengikutinya keluar. "Kak, kudengar semalam kamu pulang ke rumah. Kamu nggak pergi mengadu, 'kan?" Wajah Tina yang lembut menampakkan senyum mengejek. Wulan menatapnya sekilas, malas menjawab. Namun, pergelangan tangannya tiba-tiba ditarik Tina. "Kak, kenapa kamu selalu merendahkan aku? Sekarang Keluarga Estiawan adalah keluargaku, ayah adalah milikku, posisi penari utama juga milikku, bahkan Sigit pun akan jadi milikku." "Gila." "Kamu pikir Sigit benar-benar mencintaimu? Padahal setiap detik bersamaku, dia sama sekali nggak memikirkan kamu." "Laki-laki pada dasarnya memang makhluk yang dikendalikan oleh nafsu." Wulan menarik tangannya dengan keras dan menatapnya dingin. "Soal itu, kamu dan ibumu yang paling tahu. Satu jadi simpanan, satu lagi menyusul. Ternyata, bakat itu bisa diwariskan juga." Ekspresi Tina sempat menegang, tetapi segera pulih seperti biasa. Matanya berputar cepat, lalu wajahnya berubah seketika, suaranya pun menjadi sangat sedih. "Kak, aku tahu aku salah. Aku ... aku seharusnya nggak bermimpi mendapatkan cinta Sigit. Itu salahku." "Tapi, aku hanya ingin berada di sisinya, Kak. Kumohon, lepaskan aku." Selesai berkata, Tina langsung berlutut di depan Wulan. Sebelum Wulan sempat mengerti apa lagi yang dia rencanakan, suara Sigit terdengar dari belakang. "Wulan! Kenapa kamu selalu menyakiti Tina?!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.