Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Sebuah dorongan kuat datang dari belakang, tubuh Wulan kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh dari tangga. Dia berusaha menstabilkan diri, dan akhirnya bisa berdiri tegak. Ketika dia mendongak, Sigit sudah menarik Tina dari lantai dan melindunginya di belakang. Mata Sigit dipenuhi amarah, juga ketidakpuasan dan tuduhan. "Wulan, kamu sudah keterlaluan. Bagaimanapun juga, Tina itu adikmu. Bagaimana bisa kamu memperlakukan dia seperti itu?!" "Adik?" Wulan tidak bisa menahan diri, lalu tertawa. Dulu, di hari pertama Tina datang, dia memegang tangan Wulan dengan akrab dan memanggilnya kakak. Namun, Sigit segera mendorongnya menjauh dan berdiri di depan Wulan untuk melindunginya. Saat itu Sigit berkata, putri seorang simpanan tidak pantas memanggil Wulan "Kakak". Bertahun-tahun berlalu, sepertinya semua telah berubah. "Sudahlah, Kak Sigit. Kak Wulan juga nggak sengaja. Dia benar, aku memang nggak tahu malu, berani-beraninya ingin jadi adiknya." "Aku nggak menyadari posisiku sendiri, itu salahku ... " Tina berbicara dengan mata yang dipenuhi air mata. Entah sejak kapan, para penari di teater sudah keluar dan mengelilingi mereka. "Tina, kamu terlalu baik! Karena itu orang lain berani menginjak kepalamu!" "Benar! Pacarnya Tina, biar aku kasih tahu, selama ini Wulan selalu bersikap tinggi hati di teater. Seolah-olah hanya dia yang bisa menari!" "Iya, sekarang Tina sudah jadi penari utama, aku ingin lihat bagaimana dia bisa sombong lagi." "Cuma karena lebih tua sedikit, dia merasa bisa menindas orang. Menari sehebat apa pun percuma kalau nggak punya moral!" Semua orang saling menimpali, seolah-olah Wulan telah melakukan kejahatan besar. Sigit tidak membantah soal dirinya sebagai pacar Tina, dia hanya menatap Wulan dengan tajam. "Wulan, minta maaflah. Setelah itu, aku anggap semua sudah selesai." "Minta maaf?" Wulan menunduk, tertawa pelan. Dia memijat pergelangan kakinya yang nyeri, lalu berdiri tegak dan melangkah perlahan menuju Tina. "Perhatikan baik-baik, inilah yang disebut menindas." Wulan mengangkat tangan dan menampar Tina tiga kali, cepat dan keras. Semua orang terdiam, tidak bereaksi. Setelah menampar, Wulan mengibaskan tangannya dan menoleh ke arah Sigit dan suaranya dingin. "Sekarang kamu sudah lihat?" "Kalau aku, Wulan, menindas orang, aku nggak akan pernah minta maaf. Dia pantas mendapatkannya." Dia berbalik dan meninggalkan teater. Tubuhnya tegak dan langkahnya mantap, karena hanya dengan begitu tidak ada yang akan melihat matanya yang memerah dan bibirnya yang bergetar. Sejak kematian ibunya, Wulan tidak pernah mengizinkan dirinya tampak lemah. Dia tahu, terlalu banyak orang yang menunggu untuk melihat kehancurannya. Malam itu, Cahyo memanggil Wulan pulang ke rumah dengan alasan perjodohan. Begitu memasuki rumah, Wulan langsung melihat Tina duduk di sofa dengan wajah bengkak karena menangis, sementara Sigit duduk di sampingnya dengan wajah muram dan diam. Cahyo mengambil cangkir teh di meja dan melemparkannya ke arah Wulan. Untung saja dia sempat menghindar, sehingga cangkir itu tidak menghantam kepalanya. "Kurang ajar! Berlutut!!" "Atas dasar apa?" Ekspresi Wulan dingin, suaranya datar. Cahyo memberi isyarat pada dua pengawal di sampingnya. Mereka segera maju dan menekan Wulan ke lantai. Meski Wulan berusaha melawan, mustahil baginya menandingi dua pria muda bertubuh kekar. Gadis itu menggigit bibirnya, dan matanya dipenuhi amarah. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Cahyo sudah tercabik berkeping-keping. Cahyo menyeringai dingin. "Tina itu adikmu. Nggak menjaganya saja sudah salah, tapi kamu malah berani memukulnya." "Wulan, selama ini aku terlalu memanjakanmu." "Pelayan! Ambilkan cambuk!" Dia hendak menggunakan hukuman keluarga. Wulan tertawa, suaranya tajam. "Cahyo, kamu sok jadi orang suci! Dulu kamu menipu ibuku agar mau menikah denganmu, lalu memakai warisan kakekku untuk menyelamatkan perusahaanmu dari kebangkrutan. Kalau dipikir-pikir, kamu itu hanya menumpang hidup!" "Dan kamu masih berani berselingkuh. Tina memanggilku kakak, tapi siapa tahu siapa yang sebenarnya lebih tua di antara kami berdua?!" "Dengan apa kamu merasa pantas menghukumku, dasar bajingan hina!" Setiap kali Wulan berbicara, wajah Cahyo makin muram. Ketika pelayan membawa cambuk, dia mengambilnya dan menyerahkannya pada Sigit. "Kalau aku nggak pantas, Sigit pantas." "Sigit, kamu akan menjadi bagian dari Keluarga Estiawan. Kamu yang lakukan sepuluh cambukan ini."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.