Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8 Wanita Ini Memiliki Keberanian yang Luar Biasa

Kemampuan bermain biliar Donny biasa saja, tetapi dia yakin bisa dengan mudah mengalahkan Nadine. Mereka berdua bermain dengan aturan gaya Marica, sehingga hak break jatuh ke tangan Donny. Donny memegang tongkat biliar dengan percaya diri. Gayanya pun terlihat sangat keren, tetapi setelah dua bola masuk, bola ketiga malah meleset. Donny mengusap dagunya, lalu mencoba mencari alasan, "Ck, hampir saja, permukaan meja ini kurang rata." Semua orang tertawa terbahak-bahak. Nadine mengatupkan bibirnya, tanpa berkata apa-apa. Dia membungkuk dan memasukkan bola pertama dengan gerakannya yang lugas. Kemudian, Nadine berhasil memasukkan bola kedua, bola ketiga ... Dengan suara "tong tong" yang nyaring, melihat bola-bola yang tersisa di meja semakin sedikit, suasana di sekitar meja semakin tegang. Mata Donny mulai terlihat panik. "Apa-apaan ini, Adik? Kamu ternyata bisa main ya, jadi kamu tadi hanya berpura-pura saja?" Nadine tetap diam dan fokus, hingga dia memasukkan bola terakhir di atas meja. Nadine berdiri tegak, lalu meletakkan tongkatnya, dan menjelaskan dengan serius, "Aku bisa main sedikit, hanya saja nggak terlalu jago." Donny sampai tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa dirinya telah dijebak. Nadine takut Donny tidak mau mengaku kalah. "Pak Donny, semua orang sudah mendengar taruhannya tadi." Usai berbicara, Nadine menatap Ravin dengan penuh harap dan mendapati Ravin sedang menyingkirkan rokok dari bibirnya. Ravin mengangkat kelopak matanya dan menatap Nadine dari jauh, dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Donny tertawa sinis. "Baiklah, baru kali ini aku melihat orang segigih ini. Ayo, bubar semua. Cepat beri mereka ruang." Sekelompok orang yang ramai itu langsung mengosongkan ruangan itu. Nadine pelan-pelan berjalan ke arah pintu dan menutup pintu ruang biliar. Lalu, dia berbalik dan melangkah perlahan menuju sofa. Ravin masih merokok dengan santai, ekspresinya tampak tenang seperti seekor harimau yang sedang beristirahat. Sementara itu, Nadine merasa seolah-olah dia sedang menguji nyalinya. Nadine melangkah beberapa langkah ke sisi sofa, lalu tiba-tiba berjongkok di samping kaki Ravin. Nadine meraih pergelangan tangan Ravin, lalu mengeluarkan kancing manset dari saku belakangnya. Kedua tangan Nadine yang mungil memainkan pergelangan tangan pria itu sebentar, lalu kancing itu sudah kembali terpasang rapi. Pandangan mata Nadine tertuju pada tangan pria yang bersendi jelas itu. Dia lalu berbisik, "Entah kancing atau tangan Pak Ravin yang lebih indah." Sambil berbicara, Nadine dengan lembut menggambar lingkaran di telapak tangan pria itu menggunakan dua jari tangannya. Baru saja menggambar dua lingkaran, tangan mungilnya itu langsung digenggam erat oleh telapak tangan besar yang hangat. Seluruh tubuh Nadine bergetar dan hampir jatuh berlutut ke lantai. "Mau ngapain kamu?" Suara pria itu begitu dalam dan berat, cengkeramannya makin kuat. Nadine merasa sendi-sendinya hampir remuk dicengkeramnya. Nadine dengan susah payah bangkit dari lantai dan duduk di sofa, lalu dia memohon dengan wajah memelas, "Pak Ravin, tolong lepaskan, sakit banget." "Kalau tahu sakit, cepat pergi." Ravin menghempaskan tangan Nadine tanpa ampun. Nadine berusaha menahan rasa sakit di sendi jarinya beberapa saat. Kemudian, dia menggertakkan giginya dan mengangkat rok ketatnya. Lalu, dia mengayunkan kaki dan langsung duduk di pangkuan pria itu. Mungkin karena pria itu tidak menyangka Nadine akan seberani itu, sehingga dia tidak sempat mengelak. Nadine menengadah dan bertatap mata dengan pria itu sejenak. Ravin mengangkat kelopak matanya, tetapi dia tidak langsung mendorong Nadine. Nadine mengambil kesempatan dan melingkarkan lengannya di leher Ravin, lalu tanpa ragu mencium wajah tampan di hadapannya itu. Kak Sabrina pernah berkata "hati sekeras apa pun akan luluh juga". Nadine tidak percaya hati pria ini bisa melebihi kerasnya batu. Nadine tidak memiliki teknik berciuman. Dia hanya memiliki keberanian yang luar biasa. Gerakan Nadine begitu kaku, tetapi penuh gairah. Dia mencium dari mata pria itu, lalu turun ke hidungnya yang mancung, hingga akhirnya sampai ke bibir tipis pria itu. Nadine tidak sabar menyelipkan kelembapan manisnya ke dalam mulut Ravin, tetapi bibir pria itu seperti pintu yang terkunci rapat. Dia sudah berusaha mati-matian, tetapi tetap tidak bisa terbuka. Nadine memejamkan mata. Napasnya mulai terengah-engah. Dia memanfaatkan dua paha putihnya itu untuk menopang dirinya, lalu menggeser tubuh bagian atasnya dari kiri ke kanan di dada pria itu. Lalu, kedua tangannya mengusap tengkuk pria itu tanpa henti.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.