Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 10

Beberapa hari berikutnya, bagi Lidya, bisa dibilang seperti neraka di dunia. Di sana, sebagai putri sulung Keluarga Senjaya yang sombong dan menawan, dia menderita tanpa henti. Orang-orang satu sel dengannya sepertinya mendapat "instruksi khusus". Mereka menganiaya Lidya habis-habisan, memukul dan menendang, pergelangan tangannya yang sudah cedera diinjak dan dihancurkan berulang kali, tulang-tulangnya retak sedikit demi sedikit ... Beberapa hari kemudian, saat Lidya dibebaskan, dia hampir tidak lagi menyerupai manusia, sekujur tubuhnya penuh luka, napasnya pun tinggal satu-satu. Yang mendukung dirinya merangkak keluar dari neraka itu adalah sebuah pesan yang baru masuk di ponselnya. Visa-nya ... akhirnya disetujui. Dia naik taksi kembali ke vila, hendak mengambil barang-barangnya dan langsung menuju bandara. Namun, baru saja masuk rumah, dia bertemu dengan sahabat baiknya, Wilma, yang baru pulang dari perjalanan keliling dunia dan bergegas pulang setelah mengetahui semuanya. Melihat kondisi Lidya, Wilma langsung menangis sejadi-jadinya, dan memeluknya sambil terus meminta maaf. "Lidya! Maaf! Semua salahku! Waktu itu aku memang nggak suka mantan pacar pamanku. Aku tahu dia masih mengingat perempuan itu, makanya aku sengaja memprovokasimu untuk mendekatinya ... Aku nggak menyangka akan jadi seperti ini ... Aku benar-benar nggak tahu kalau cinta pertamanya itu ternyata Yasmin! Kalau aku tahu, sampai mati pun nggak akan kubiarkan kamu mendekati pamanku ... " Lidya menggeleng pelan, suaranya serak. "Bukan salahmu. Semua sudah berlalu, aku ... sudah melepaskannya." "Wilma, aku berniat pergi ke luar negeri. Mungkin selamanya nggak akan kembali." Wilma tertegun, lalu buru-buru memohon, "Lidya, jangan pergi ... Tetaplah di sini, aku akan merawatmu, aku akan melindungimu ... " "Nggak perlu." Lidya berkata dengan lembut. "Di sini sudah nggak ada apa pun yang layak membuatku bertahan." Wilma menangis makin keras. Namun, melihat kehampaan dan keteguhan di mata Lidya, dia tahu temannya itu tidak bisa lagi dibujuk. Dia hanya bisa membantu Lidya membereskan barang-barang terakhir dengan mata merah. Sebelum pergi, untuk terakhir kalinya, Lidya menatap rumah besar yang menyimpan semua kenangan masa kecilnya, rumah yang kini ditempati ayahnya bersama wanita simpanan dan putri haramnya. Dia mengeluarkan bensin yang sudah dia siapkan, mengabaikan teriakan para pekerja, menyiramkannya tanpa ekspresi, lalu menyalakan api. Lidah-lidah api menjulang tinggi, melahap seluruh masa lalu Lidya. Dia mengambil koper terakhir, lalu berbalik dengan penuh ketegasan. Wilma mengantar dengan mobil menuju bandara. Sepanjang jalan, dia masih terus meminta maaf, bahkan menawarkan seluruh koleksi mobil mewahnya sebagai kompensasi. Lidya menggeleng, dan menyandarkan kepala pada jendela, memandangi pemandangan yang melintas cepat di luar. "Nggak perlu." "Harus mengucapkan selamat tinggal pada yang salah, agar bisa bertemu yang benar." Lidya memaksakan senyum, dengan kelegaan dan kelelahan setelah semua yang terjadi. "Aku ini cantik banget. Selama aku mau, pria masa depanku akan lebih baik, lebih kaya, dan lebih mencintaiku ... " Wilma langsung mengangguk keras. "Benar! Lidya paling cantik! Kamu pasti akan bertemu seseorang yang akan menjagamu sepenuh hati!" Sesampainya di bandara, Wilma memeluknya erat-erat, tidak rela melepaskannya, dan menangis tersedu-sedu. "Lidya, kamu harus hidup dengan sangat baik, sangat bahagia, dan buat mereka semua menyesal!" Lidya memeluknya kembali, menepuk punggung Wilma dengan pelan, lalu melepaskan pelukan itu. Dia melambaikan tangan dengan anggun, kemudian berbalik menuju pintu pemeriksaan. Wilma hanya bisa menatap sosoknya menghilang di ujung lorong, lalu tidak sanggup menahan diri lagi. Dia berjongkok dan menangis sekeras-kerasnya. Entah sudah berapa lama dia menangis, barulah dia mengumpulkan keberanian, dan dengan dada penuh kemarahan dan ketidakadilan, dia menekan nomor Jeremy. Telepon berdering lama sekali sebelum diangkat. "Paman." Suara Wilma penuh isak, nadanya marah. "Aku tahu kamu suka Yasmin, tapi bagaimanapun juga Lidya sudah bersamamu tiga tahun! Dia sekarang dia pergi! Nggak akan kembali lagi! Masak kamu ... bahkan nggak mau mengantar kepergiannya?!" Di ujung telepon, Jeremy diam total. Beberapa detik kemudian, suara Jeremy terdengar, membawa ketegangan dan serak yang sangat jarang terdengar. [Kamu bilang ... ] [Siapa yang pergi?]

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.