Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Di dalam ruang VIP, cahaya terang menyinari wajah Yavin. Wajahnya tenang seperti patung. Di antara jemarinya, sebatang rokok menyala, ujung merah membakar hingga menyentuh kulit jarinya, tetapi dia seolah tidak merasakan apa-apa. Yavin samar-samar mencium bau kulit terbakar. Itu bau kulitnya sendiri. Namun, sarafnya seperti mati rasa. Dia tiba-tiba berdiri, membungkuk dan memungut jas yang jatuh ke lantai. Ekspresinya tetap dingin, tetapi sorot matanya bergolak gelap. "Ada urusan mendadak di rumah sakit. Aku pergi dulu." Yavin berjalan dengan cepat. Seakan-akan ada angin yang mengembusnya. Seolah-olah dia tidak ingin tinggal sedetik pun lebih lama di tempat ini. Tobby mencoba mengejarnya, tetapi Yavin sudah menghilang. Dia pun kembali ke ruang VIP. Saat itu, seorang teman sekelas yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara dengan ragu. Suaranya yang sangat pelan itu langsung membuat satu ruangan hening. "Kalian nggak pernah dengar gosip itu?" "Gosip apa?" "Rani dan Yavin dulu sama-sama kuliah di Universitas Sikari. Mereka pacaran diam-diam selama tiga tahun." Ucapan itu membuat semua orang terkejut. Mulan berseru tajam, "Mona, candaan macam apa itu? Rani? Si gendut jelek itu? Mana mungkin Yavin sebegitu putus asa! Kamu sedang mengigau kah?" "Bener tuh, Mona. Kamu pasti salah ingat. Kalau Rani bisa dapetin Yavin ... aku sekarang sudah jadi istrinya." Seorang pria refleks membela, "Eh, jangan begitu. Memang dia gemuk, tapi nggak jelek kok. Kulitnya putih, suaranya lembut." Mona mengangguk, dia pun awalnya terkejut saat tahu, "Serius. Kakakku kuliah di Universitas Sikari. Gosip ini terkenal banget di sana. Seorang gadis gemuk pacaran diam-diam tiga tahun sama cowok paling populer di kampus. Kalau nggak percaya, tanya saja langsung ke Yavin." Masalahnya siapa yang berani bertanya langsung ke Yavin? Meskipun terdengar mustahil, karena Mona bicara dengan yakin, semua orang mulai percaya. "Tapi ... Rani benaran sudah meninggal?" Mulan mendengus dan berkata, "Kayaknya sih begitu. Tadi Siska bilang dia lihat sendiri ada tumor di perutnya." "Seharusnya dia sudah nggak ada. Kalau masih hidup, masa nggak ada satu pun yang bisa hubungi dia selama ini?" Semua orang merasa ucapan itu masuk akal. Jika seseorang benar-benar tidak bisa ditemukan di zaman ketika internet merajai hampir setiap aspek kehidupan, berarti mungkin memang sudah tiada. ... Yavin berbelok di sudut lorong, dan tiba-tiba bertabrakan dengan seseorang. Langkahnya tergesa. "Aduh!" seru pelan orang yang bertabrakan dengannya. Tubuh orang itu terhuyung beberapa langkah. Myria refleks meraih sesuatu untuk menahan diri. Saat dia sudah stabil, baru sadar bahwa yang dia genggam adalah kemeja pria di depannya. "Ma ... maaf." Myria buru-buru meminta maaf. Saat mengangkat kepalanya untuk menatap wajah pria itu, dia melihat wajah tampan yang tidak asing. Seketika, warna bibirnya memucat. Dia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Yavin. Apakah dunia ini sekecil itu? Setelah meminta maaf, Yavin melangkah pergi tanpa menoleh. Pikirannya kacau, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Aura dingin yang sempat memenuhi udara pun perlahan menghilang. Myria tetap berdiri di tempat. Dia hanya keluar sebentar untuk ke toilet, tidak menyangka akan bertemu lagi dengan orang yang dulu paling dia kenal. Saat menunduk, dia melihat sesuatu di lantai. Sebuah kancing manset pria, desainnya elegan dan detail. Myria memungutnya, lalu refleks berbalik dan melangkah mengejar Yavin, tetapi baru beberapa langkah, dia berhenti. Mereka sekarang sudah tidak ada hubungan lagi. Bertemu tanpa saling mengenal, itulah hubungan yang terbaik. ... Sesampainya di rumah, Myria mandi, lalu berbaring di tempat tidur. Dia menatap kancing manset yang dia letakkan di nakas. Jarinya dengan lembut mengusap kancing itu, sementara pikirannya tenggelam dalam kenangan lama. Kebiasaan dan selera dia, sepertinya tidak pernah berubah. Dulu pun dia sangat menyukai merek itu. Merek kecil, rendah hati, tetapi penuh kualitas. Sebuah dering ponsel memutus lamunan Myria. Melihat nama penelepon, Myria segera mengangkatnya. "Halo, Nenek." [Rani, kenapa kamu kirim uang lagi? Nenek nggak butuh, nggak ada keperluan apa-apa di rumah.] Mendengar suara nenek yang penuh teguran sekaligus perhatian, Myria tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, bantu aku simpan saja dulu, Nek." Mereka mengobrol sebentar. Myria belakangan ini sangat sibuk bekerja. Sebenarnya dia berencana pulang kampung bersama Fia sebelum tahun ajaran baru dimulai. Namun, karena pekerjaan yang menyita waktu, dia berpikir untuk menunggu sampai pekerjaannya sudah lebih stabil, baru akan menjemput neneknya untuk tinggal bersama beberapa hari. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Myria. Saat hendak menutup telepon, suara nenek kembali terdengar. [Rani, meski pamanmu itu ... Dia tetaplah pamanmu. Beberapa waktu lalu dia pulang, dan sempat menanyakan kabarmu.] Nada bicara Nenek terdengar ragu-ragu. Sebenarnya, Myria tidak ingin neneknya mengkhawatirkan hal-hal seperti itu. Sejak kecil, orang tuanya bercerai. Ibunya pergi dan tidak pernah kembali, bahkan saat kakeknya meninggal pun, ibunya tidak muncul. Saat itu Myria baru berusia dua tahun, dan nyaris tidak punya kenangan tentang ibunya. Kenangan tentang ayahnya, Myria hanya tahu bahwa ayahnya seorang penjudi. Ketika kalah, ayahnya akan bersembunyi. Ketika menang, ayahnya akan membelikan makanan enak untuknya. Saat bersembunyi, sang ayah akan menitipkan dia ke rumah kakek dan nenek. Karena itulah Myria dibesarkan oleh mereka. "Nenek, aku tahu," katanya lembut. Namun, itu hanya untuk menenangkan sang nenek. Dia tidak ingin membahas paman dan bibinya, dan tidak berniat menjalin kontak dengan mereka. Sekalipun mereka tinggal di kota yang sama. Setelah menutup telepon ... Myria memasukkan kancing manset itu ke dalam kantong plastik kedap udara, lalu menyimpannya dengan baik. Minggu ini, saat membawa putrinya ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin, dia sengaja menghindari jadwal Yavin. Yavin bertugas setiap hari Selasa, jadi Myria memilih datang hari Senin atau Rabu. Meskipun begitu, bukan berarti mereka tidak pernah bertemu lagi. Rumah sakit adalah tempat yang padat dengan orang. Setiap wajah orang dipenuhi kesedihan dan keletihan akibat kesibukan dan penyakit. Myria mengenakan masker, menggandeng tangan putrinya, dan masuk ke dalam lift yang penuh sesak. Orang keluar masuk. Seorang perawat berseru, "Dokter Yavin." Dari belakang, terdengar suara pria yang dalam dan tenang. Myria menggenggam tangan putrinya lebih erat. Dia dapat merasa Yavin berdiri tepat di belakangnya. Dia bahkan bisa merasakan suara napasnya yang naik turun. Saat tiba di lantai tiga, orang-orang keluar. Mereka berjalan menuju area konsultasi yang sama. Myria mengantre di depan ruang 06, dan melihat Yavin masuk ke ruang 08. "Mama, telapak tanganmu basah sekali." Fia tiba-tiba menengadah dan menggoyangkan tangannya. Myria menunduk pelan sambil melepaskan genggaman. Dia pun melihat telapak tangannya basah oleh keringat. Setiap kali bertemu kembali dengan Yavin, dia tidak bisa menahan rasa gugupnya. Sekalipun Myria tahu bahwa ... Yavin tidak akan mengenalinya. Pertemuan kembali dengan Yavin adalah kejadian di luar kendalinya. Namun, tetap muncul getaran di hati Myria. Dia meletakkan kancing manset yang Yavin jatuhkan saat malam berangin itu di meja informasi rumah sakit. ... Malam hari, Myria pergi ke kamar samping untuk melihat putrinya. Fia tertidur pulas, memeluk boneka kelinci di pelukannya. Wajah Fia sangat mirip dengan Yavin. Alis, mata, dan bentuk hidungnya. Myria kemudian masuk ke toilet, menatap bayangan dirinya di cermin. Tubuhnya ramping, kulitnya pucat, rambut panjang terurai di bahu, bola matanya bening, bibirnya berwarna merah muda lembut. Tidak ada seorang pun yang bisa mengaitkan dirinya sekarang dengan gadis gemuk tujuh tahun lalu. Di Kota Sikari, kota besar dengan populasi lebih dari sepuluh juta orang, pertemuan yang singkat mereka hanyalah sekejap perlintasan antara dua orang asing. ... Malam itu, Yavin kembali ke kediaman Keluarga Ronan. Saat makan malam, Pak Ferdi mendengus dingin dan meletakkan sendoknya, sementara Bu Ratna melirik suaminya dengan kesal, lalu menatap putra bungsunya. Setelah menikah dengan Pak Ferdi, di tahun pertama, sahabat dekat Bu Ratna meninggal dalam kecelakaan pesawat. Sahabat itu meninggalkan seorang putra berusia 12 tahun bernama Marco Sevon. Keluarga Ronan mengadopsinya, dan kemudian mengganti namanya menjadi Marco Ronan. Bu Ratna baru hamil di usia 33 tahun dan melahirkan seorang putri bernama Sekar Ronan. Grup Ronan kemudian dikelola oleh Marco dan Sekar. Di usia 45 tahun, Bu Ratna akhirnya melahirkan sepasang anak kembar, Yovan dan Yavin. Sayangnya, 20 tahun lalu, terjadi kasus penculikan besar yang mengguncang Kota Sikari. Dua putra Keluarga Ronan diculik, dan salah satunya tewas. Putra bungsu, Yavin, berhasil selamat dari ancaman maut tersebut. Mengingat putranya yang telah tiada, mata Bu Ratna memerah. Teringat malam ini adalah jamuan keluarga, dia hanya diam-diam menyeka air matanya dan mengalihkan perhatian pada putra bungsunya. Putra bungsunya itu memang membanggakan, sejak kecil tidak pernah membuat mereka khawatir. Kecuali dalam urusan asmara, seperti halaman kosong yang belum ditulisi. Bu Ratna bahkan beberapa kali curiga apakah putra bungsunya ini memiliki kondisi khusus hingga membuatnya sangat khawatir. Kini, di usianya yang telah melewati 70 tahun, Bu Ratna biasanya dikenal sebagai wanita tua yang ceria. Namun kali ini, raut wajahnya tampak serius saat berkata, "Yavin, janji untuk bertemu putri Keluarga Levano Rabu ini, kenapa kamu nggak pergi?" Yavin hanya bergumam singkat, "Hmm." "Hmm itu maksudnya apa?" Bu Ratna mengusap keningnya. "Putri Keluarga Levano, Intan Levano, Ibu sudah pernah bertemu dengannya. Cantik sekali. Waktu kecil sering main ke rumah kita. Pak Dirga dulu rekan perang kakekmu. Kamu temui dulu, kenalan. Kalaupun nggak suka, setidaknya kamu harus mengenalnya dulu ... Kamu itu sudah hampir 30 tahun." Yavin mengernyit dan berkata, "Kalau begitu, Ibu saja yang atur."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.