Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 1

Hari mendung, hujan turun deras. Di depan rumah sakit. Tubuh Julie tampak ringkih. Jemarinya yang kurus itu mencengkeram hasil tes kehamilan. Di atas kertas jelas tertulis dua kata. Tidak hamil! "Tiga tahun menikah, masih belum hamil?" "Kenapa kamu tak berguna? Kalau tak bisa hamil, kamu akan diusir dari Keluarga Luliver. Saat itu, bagaimana dengan keluarga kita, Keluarga Purnama?" Poppy melangkah dengan sepatu hak tinggi. Dia dandanan mewah, lalu menunjuk Julie dengan kecewa. Tatapan Julie tampak kosong. Semua kata tertahan di dadanya. Akhirnya, hanya satu kata yang terucap. "Maaf." "Aku tak butuh maafmu. Aku butuh kamu melahirkan anak untuk Victor. Mengerti?" Tenggorokan Julie seolah tercekat. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tiga tahun menikah, Victor tidak pernah sekalipun menyentuhnya. Bagaimana mungkin dia bisa hamil? Melihat putrinya yang lemah, Poppy merasa Julie sama sekali tidak seperti dirinya. Akhirnya, Poppy berkata dengan nada dingin. "Kalau kamu benar-benar tak bisa, carikan saja wanita lain untuk Victor. Setidaknya, dia masih akan mengingat kebaikanmu." Julie terpaku menatap punggung Poppy yang pergi. Sorot matanya penuh dengan ketidakpercayaan. Ibu kandungnya sendiri menyuruhnya mencarikan wanita lain untuk suaminya. Seketika, angin dingin menusuk hingga ke hatinya. ... Dalam perjalanan pulang. Kata-kata terakhir Poppy terus bergema di kepalanya. Telinganya dipenuhi dengung yang mencekam. Julie tahu, penyakitnya makin parah. Saat itu, sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan itu dari Victor. Sama seperti tiga tahun terakhir, isinya hanya satu kalimat, [Malam ini tak pulang.] Tiga tahun menikah, Victor tidak pernah menginap di rumah. Dia juga tidak pernah menyentuh Julie. Julie masih ingat, di malam pernikahan mereka, Victor pernah mengatakan padanya. "Keluargamu berani menipu pernikahan ini, bersiaplah hidup sebatang kara sampai mati." Hidup sebatang kara .... Tiga tahun lalu, Keluarga Purnama dan Keluarga Luliver melakukan pernikahan bisnis. Awalnya, semua keuntungan sudah dijanjikan dengan jelas. Namun di hari pernikahan, Keluarga Purnama ingkar janji. Mereka memindahkan semua aset, termasuk belasan miliar yang diberikan Victor untuk menikahi Julie. Mengingat itu, sorot mata Julie suram. Seperti biasa, dia hanya membalas pesan Victor dengan satu kata, [Oke.] Tanpa sadar, laporan kehamilan di tangannya diremas hingga berkerut. Saat sampai rumah, Julie langsung melempar kertas itu ke tempat sampah. Setiap bulan, di waktu seperti ini, tubuhnya akan terasa sangat lelah. Dia tidak menyiapkan makan malam. Julie bersandar di sofa dengan linglung. Di telinganya selalu terdengar suara gemuruh. Hal itu yang dibenci Victor darinya. Julie menderita gangguan pendengaran. Di keluarga kaya, itu dianggap cacat. Dengan kondisi seperti itu, mana mungkin Victor mau melahirkan anak dengannya? Jam dinding gaya klasik berdentang berat. Pukul lima dini hari. Satu jam lagi, Victor akan pulang. Julie baru sadar jika dirinya tertidur di sofa semalaman. Julie segera bangkit, lalu menyiapkan sarapan untuk Victor. Dia takut terlambat sedetik pun. Victor selalu teliti dan disiplin soal waktu. Dulu, Julie pernah terlambat menyiapkan sarapan karena pergi ke pemakaman ayahnya. Sejak itu, Victor tidak pernah mengirim satu pesan pun selama sebulan penuh. Dia bahkan tidak berbicara sepatah kata padanya. Tepat pukul enam, Victor pulang. Dia mengenakan setelan jas yang rapi, tubuh tinggi semampai, aura tenang, wajah tampan maskulin. Namun, di mata Julie, sosok itu tampak dingin dan jauh. Victor langsung menarik kursi dan duduk tanpa menoleh sama sekali. "Mulai sekarang, tak perlu menyiapkan sarapan untukku lagi." Julie tertegun. Entah karena naluri atau kerendahan hati, kata-kata yang keluar pun terdengar menyedihkan. "Apa aku ada salah?" Victor mendongak, lalu menatap wajah Julie yang tanpa ekspresi. Bibirnya yang tipis terbuka dengan perlahan. "Aku mau istri, bukan pembantu." Selama tiga tahun, Julie selalu mengenakan pakaian abu-abu pucat. Bahkan membalas pesan pun, hanya dengan satu kata oke. Jujur saja, jika bukan karena pernikahan bisnis, jika bukan karena tipu daya Keluarga Purnama .... Victor sama sekali tidak akan menikahi wanita seperti Julie! Julie sama sekali tidak pantas untuknya! "Aku mau istri, bukan pembantu!" Dengungan di telinga Julie makin keras. Tenggorokannya tercekat. Kemudian, dia hanya mengucapkan satu kata yang paling dibenci Victor. "Oke." Hati Victor mendadak merasa sumpek. Bahkan sarapan favoritnya pun jadi hambar hingga sulit tertelan. Dia bangkit, lalu menarik kursi dengan kasar dan bersiap pergi. Entah dari mana keberanian Julie muncul. Tiba-tiba, Julie menahan tangannya. "Victor, kamu punya wanita yang kamu sukai?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat tatapan Victor menjadi masam. "Maksud kamu apa?" Julie mendongak, lalu menatap pria di depannya. Victor bukan hanya suaminya selama tiga tahun, tetapi pria yang sudah dikejarnya selama dua belas tahun. Namun, sekarang .... Julie menahan getir di tenggorokannya. Dia teringat ucapan ibunya, lalu berkata dengan perlahan. "Victor, kalau kamu punya wanita yang kamu sukai ... kamu bisa bersamanya ...." Kalimatnya belum selesai, Victor sudah menyelanya. "Dasar gila." ... Akhirnya, hidup hanyalah tentang terus melepaskan. Setelah Victor pergi, Julie duduk sendirian di balkon sambil memandang ke arah hujan dingin di luar. Harus diakui, meski sudah mencintai Victor dua belas tahun, dia tetap tidak pernah benar-benar mengerti pria itu. Suara hujan kadang jelas, kadang samar. Sebulan lalu, dokter pernah berkata. "Julie, saraf pendengaranmu mengalami kerusakan parah. Karena itu, pendengaranmu kembali menurun." "Tak ada cara untuk mengobatinya?" Dokter menggeleng. "Gangguan pendengaran akibat saraf yang menurun dalam waktu lama tak ada obatnya. Saranku, tetap gunakan alat bantu dengar untuk rehabilitasi." Julie mengerti maksud dokter. Dia tidak ada cara untuk sembuh. Dia melepas alat bantu dengarnya. Seketika, dunia Julie menjadi sunyi. Dia tidak terbiasa dengan keheningan itu. Kemudian, dia berjalan ke ruang tamu dan menyalakan televisi. Setelah volume dibesarkan sampai maksimal, telinganya baru sedikit menangkap suara. Entah kebetulan atau tidak, televisi sedang menayangkan wawancara kembalinya diva pop internasional, Clara Randana. Tangan Julie yang memegang remote bergetar. Bukan karena apa pun, tapi karena Clara adalah cinta pertamanya Victor. Bertahun-tahun tidak bertemu, Clara masih sama cantiknya. Di depan kamera, kini dia begitu percaya diri. Dia tidak lagi seperti gadis pemalu dan minder yang dulu meminta bantuan Keluarga Purnama. Sekarang, saat ditanya wartawan alasan pulang, dia menjawab dengan percaya diri dan berani. "Kali ini, aku pulang untuk merebut kembali cinta pertamaku." Remote di tangan Julie terjatuh. Hatinya ikut sedih. Hujan di luar seakan makin deras. Harus diakui, Julie takut Clara akan merebut Victor darinya. Dulu, saat masih menjadi putri kesayangan Keluarga Purnama, Julie bahkan tidak mampu menandingi Clara yang tanpa latar belakang. Sekarang, Clara sudah jadi diva pop internasional. Dia percaya diri dan berjaya. Julie jelas makin tidak bisa dibandingkan dengannya. Julie mematikan televisi dengan panik, lalu membereskan sarapan yang tidak tersentuh. Saat masuk dapur, dia baru sadar ponsel Victor tertinggal. Julie mengambilnya, lalu tanpa sengaja membuka ponsel itu. Kebetulan, di layar muncul pesan yang belum sempat dibaca
Previous Chapter
1/100Next Chapter

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.