Bab 4
Sekarang, jika dipikir-pikir, mungkin ayahnya sudah sejak lama melihat bahwa Victor tidak mencintainya.
Namun, demi kebahagiaan putrinya, ayahnya tetap menandatangani kontrak dengan Keluarga Luliver, agar Julie bisa menikah dengan Victor sesuai dengan keinginannya.
Sayangnya, sebelum pernikahan berlangsung, ayahnya mengalami kecelakaan mobil.
Jika ayahnya tidak pergi ....
Adik dan ibunya pun tidak bisa melanggar kontrak itu ....
Julie menyerahkan dokumen peralihan harta kepada Steve. Dalam perjalanan pulang Julie, Julie melihat poster-poster promosi Clara di pinggir jalan.
Dalam poster itu, Clara tampak begitu bersinar, ceria dan cantik.
Julie tahu sudah saatnya melepaskan. Dia harus membiarkan Victor bebas, sekaligus membebaskan dirinya sendiri.
Sesampainya di Vila Glendale, Julie mulai berkemas.
Tiga tahun lebih menikah, semua barang miliknya hanya muat dalam satu koper.
Sejak tahun lalu, Julie sudah meminta Steve menyiapkan surat cerai.
Mungkin di hadapan Victor, dia memang terlalu minder, terlalu rendah diri dan terlalu emosional.
Jadi, Julie sudah lama tahu hubungan mereka pasti akan berakhir. Dia telah menyiapkan diri untuk pergi terlebih dulu ....
Malam itu, Victor tidak mengirim pesan apa pun.
Julie memberanikan diri mengirim pesan singkat padanya, [Malam ini kamu ada waktu? Aku ingin bicara denganmu.]
Namun, tidak ada jawaban.
Sorot mata Julie menjadi suram. Sekarang, dia tahu bahkan membalas pesan pun Victor enggan.
Hal yang bisa dia lakukan hanya menunggu sampai pagi ketika Victor pulang.
Di sisi lain.
Kantor Direktur Grup Luliver.
Victor hanya melirik pesan itu, lalu meletakkan ponselnya ke samping.
Sahabatnya, Steve, yang duduk di sofa sebelah itu memperhatikannya, lalu dia tidak untuk tahan bertanya, "Dari Julie?"
Victor tidak membenarkan, juga tidak menyangkal.
Steve mengejek dengan tidak sungkan, "Si Tuli itu benar-benar mengira dirinya istrimu. Dia bahkan belajar mengawasi suami segala."
"Victor, jangan bilang kamu mau terus bertahan dengannya? Sekarang, Keluarga Purnama sudah runtuh. Adiknya, Samuel, itu bodoh. Dia sama sekali tak bisa mengurus perusahaan. Tak lama lagi, keluarga mereka pasti bangkrut."
"Sementara ibunya itu suka menghamburkan uang!!"
Victor mendengarkan dengan wajah tenang.
"Aku tahu."
"Lalu, kenapa kamu belum menceraikannya? Clara sudah lama menunggumu," desak Steve.
Di matanya, Clara yang polos dan rajin itu jauh lebih baik daripada Julie yang penuh perhitungan.
Namun, saat bicara soal cerai, Victor terdiam.
Melihat itu, Steve refleks menyemburkan kata-katanya.
"Jangan bilang kamu jatuh cinta pada Julie?"
Suma sama dia?
Victor tertawa, dengan senyum mengejek.
"Dia pantas?"
Dia menyerahkan sebuah kontrak akuisisi kepada Steve.
Begitu melihatnya, Steve sadar betapa kejamnya Victor!
Dia hanya ingin Victor menceraikan Julie. Dia tidak menyangka Victor bahkan ingin sekaligus menguasai Grup Purnama.
Saat itu, Steve justru merasa sedikit iba pada Julie.
Bagaimanapun, mereka sudah menikah tiga tahun. Selain itu, kebaikan Julie pada Victor tanpa batas itu nyata di mata semua orang.
Victor benar-benar berhati dingin. Dia sama sekali mustahil mencintai Julie!
...
Julie mengira Victor tidak akan pulang.
Namun, pukul dua belas malam, Victor kembali.
Julie belum tidur. Dia melangkah maju, lalu menerima mantel dan tas kerja Victor dengan cekatan.
Rangkaian gerakannya, begitu mirip pasangan suami istri biasa.
"Jangan seenaknya kirim pesan lagi."
Namun, suara Victor yang dingin memecah ketenangan itu.
Baginya, Julie tidak bekerja. Dia hanya di rumah setiap hari. Apa sih urusannya?
Tangan Julie yang sedang menggantung mantel bergetar. Lalu, dia bergumam dengan lirih, "Oke, mulai sekarang tak akan lagi."
Victor tidak menyadari nada aneh di ucapannya. Dia langsung menuju ruang kerja.
Selama ini, setiap pulang, sebagian besar waktunya dihabiskan di ruang kerja.
Padahal mereka berada di bawah satu atap, tetapi Julie selalu sendirian.
Mungkin dalam pandangan Victor, dunia seseorang dengan gangguan pendengaran itu sunyi.
Mungkin, dia memang tidak pernah peduli pada Julie.
Jadi, begitu masuk ke ruang kerja, Victor tetap membicarakan urusan bisnis seperti biasa. Meski yang dibicarakan adalah bagaimana mengakuisisi Grup Purnama ....
Julie membawakan semangkuk sup hangat untuknya seperti biasa. Saat mendengarkan Victor memberi instruksi pada bawahannya dengan penuh semangat, hatinya merasa getir.
Dia tahu adiknya memang tidak berguna. Cepat atau lambat, perusahaan mereka pasti akan hancur. Namun, dia tidak menyangka, orang pertama yang menyerang justru suaminya sendiri.
"Victor."
Sebuah suara menyela Victor.
Victor tertegun. Entah karena merasa bersalah atau alasan lain, dia buru-buru menutup panggilan telepon.
Dia juga menutup laptopnya.
Julie berpura-pura tidak melihat gerak-geriknya. Dia masuk ke dalam, lalu menaruh sup hangat di depannya.
"Victor, habiskan supnya dan istirahatlah. Kesehatan lebih penting dari apa pun."
Entah kenapa, mendengar suara Julie yang merdu, hati Victor yang sempat tegang sedikit mereda.
Dia seharusnya tidak mendengarnya!
Jika mendengarnya, Julie pasti sudah ribut dengannya!
Entah karena rasa bersalah atau hal lain, Victor memanggil Julie yang hendak pergi.
"Kamu bilang ada yang mau dibicarakan. Apa itu?"
Mendengar itu, Julie menatap wajah yang paling dikenalnya dan berkata dengan lembut, "Aku hanya ingin tanya. Pagi ini, kamu ada waktu? Bisa nggak kita urus surat cerai bersama?"
Suara Julie terdengar begitu tenang dan santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang besar.
Mengucapkan kata "cerai" sama entengnya seperti membicarakan masalah sehari-hari.
Mata Victor menyempit dengan ekspresi tidak percaya.
"Kamu bilang apa?"
Tiga tahun menikah, tidak peduli seberapa kejam sikapnya, Julie tidak pernah menyebut soal perceraian.
Sebenarnya Victor tahu persis betapa Julie mencintainya.
Sejak dulu, saat keluarga mereka masih bertetangga, dia sudah tahu gadis kecil itu menyukainya. Julie menyimpan rasa padanya selama belasan tahun.
Lalu, barusan dia bilang apa?
Tatapan kosong Julie mendadak begitu jernih.
"Pak Victor, selama ini aku mengganggu hidupmu."
"Ayo kita bercerai."
Tangan Victor yang terkulai di sisi tubuhnya, tanpa sadar menggenggam dengan erat.
Dia teringat di kantor tadi, Steve sempat menyarankan agar dia menceraikan Julie. Saat ini, dia tidak menjawab. Namun, sekarang Julie justru mengatakannya dulu.
Apa haknya?
"Tadi kamu dengar, 'kan? Keluarga Purnama memang sudah di ujung tanduk. Aku mengambilnya atau orang lain yang mengambil. Apa bedanya?"
"Kamu minta cerai, sebenarnya apa maumu? Anak? Uang? Atau mau aku berhenti melawan keluargamu?" tanya Victor dengan nada dingin.
"Ingat, aku sama sekali tak mencintaimu. Ancamanmu ini tak ada gunanya bagiku!"
Naluri Victor merasa Julie ingin memanfaatkan perceraian sebagai ancaman. Dia yakin Julie tidak akan berani benar-benar pergi.
Keluarga Purnama tidak sanggup bercerai dengannya!
Julie sendiri pun pasti tidak rela!
Tiba-tiba, bayangan Victor di mata Julie terasa asing. Tenggorokannya tercekat. Telinganya kembali sakit. Meski memakai alat bantu dengar, dia tidak bisa menangkap suara Victor dengan jelas.
Dia hanya bisa menjawab dengan lirih, "Aku tak menginginkan apa pun."
Takut Victor melihat sesuatu yang janggal. Julie segera keluar dari ruang kerja.
Victor menatap punggungnya. Entah kenapa, dia merasakan kejengkelan yang belum pernah ada sebelumnya.
Selama ini, dia tidak pernah menahan emosi demi orang lain. Kali ini, dia langsung membalik meja di depannya.
Sup yang dimasak Julie tumpah berceceran ke lantai ....
...