Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

"Mungkin sampai sekarang, kamu bahkan belum pernah merasakan manisnya cinta, 'kan? Waktu aku sama Victor dulu, dia sering masak untukku. Waktu aku sakit, dia selalu orang pertama yang datang. Kalimat paling lembut yang pernah dia ucapkan padaku adalah Clara, aku harap kamu selalu bahagia ...." "Julie, pernah nggak Victor bilang dia mencintaimu? Dulu, dia sering banget bilang itu ke aku, meski aku suka bilang dia kekanak-kanakan ...." Julie hanya diam mendengarkan. Kemudian, dia teringat tiga tahun hidup bersama Victor. Victor tidak pernah sekalipun masuk dapur .... Bahkan saat dia sakit, Victor tidak pernah mengatakan sepatah kata pun yang menunjukkan kepeduliannya. Soal cinta, dia tidak pernah mengatakannya. Julie menatapnya dengan tenang. "Kamu sudah selesai bicara?" Clara tertegun. Entah karena Julie terlalu tenang atau karena sorot matanya yang begitu jernih. Tatapannya seakan bisa menembus hati orang. Sampai Julie pergi, Clara masih belum tersadar dari lamunannya. Entah kenapa, saat ini, Clara tampak kembali seperti yatim miskin yang dulu harus menerima bantuan Keluarga Purnama. Di hadapan putri besar Keluarga Purnama, dia selamanya hanyalah badut yang memalukan. ... Mana mungkin Julie benar-benar tidak terusik oleh kata-kata Clara? Pria yang sudah dia kejar dan cintai dua belas tahun lamanya, ternyata juga pernah begitu menggebu-gebu menyukai orang lain dulu. Telinganya kembali terasa sakit. Saat Julie melepas alat bantu dengarnya, dia baru sadar ada darah yang menetes. Seperti biasa, dia menghapus darah itu lalu meletakkan alat bantu dengar ke samping. Dia tidak bisa tidur .... Julie membuka ponselnya, lalu membuka WhatsApp. Di sana, dia melihat begitu banyak unggahan yang menandai dirinya. Begitu dibuka, semua itu adalah foto yang diposting Clara dengan pengaturan hanya dirinya yang bisa melihat. Foto pertama, Clara dan Victor ketika kuliah. Mereka berdiri berdampingan. Tatapan Victor tampak begitu lembut. Foto kedua, tangkapan layar percakapan. Victor menulis mesra, [Clara, selamat ulang tahun. Aku akan membuatmu jadi wanita paling bahagia di dunia.] Foto ketiga, punggung Victor dan Clara saat berjalan berpegangan tangan di tepi pantai .... Foto keempat, kelima, keenam ... bahkan lebih banyak lagi. Sejumlah foto itu menekan Julie sampai dia hampir tidak bisa bernapas. Dia tak berani lagi melihatnya. Lalu, dia buru-buru menutup ponselnya. Di saat itu juga, tiba-tiba dia merasa harus menyerah. Hari itu, Julie menulis satu kalimat di buku hariannya. "Aku bisa saja bertahan dalam gelap, asal aku tidak pernah melihat cahaya." Keesokan harinya, dia menyiapkan sarapan seperti biasa. Namun hingga lewat pukul enam, Victor belum juga pulang. Julie baru teringat bahwa dia pernah bilang tidak akan sarapan di rumah lagi. Julie mengira Victor memang tidak akan kembali. Dia duduk termenung di sofa sendirian, lalu tertidur. "Bukannya sudah kubilang, jangan siapkan sarapan untukku?" Suara kesal terdengar. Julie terbangun kaget, lalu membuka matanya dan melihat Victor berjalan melewatinya dengan wajah tidak sabar. Dia refleks meminta maaf. "Maaf, aku lupa." Selalu lupa, selalu maaf .... Victor menoleh dengan tatapan sedingin es. Hari ini Julie masih mengenakan pakaian abu-abu pucat yang sederhana. Seolah-olah dia miskin, hingga selalu terabaikan. "Kenapa kamu nggak sekalian lupa pulang? Kenapa nggak lupa kalau kita menikah atau lupa dirimu sendiri?" "Nggak rela, 'kan? Sayang uang Keluarga Luliver! Nggak rela sama aku, si mesin pencetak uang ini!" Kata-katanya bagaikan pisau yang menusuk langsung ke hati Julie. Julie menunduk. "Victor, aku tak pernah menginginkan uangmu." Hal yang dia pedulikan sejak awal hanyalah Victor sebagai pribadi. Victor tertawa dengan nada mengejek. "Lalu, kenapa ibumu datang ke kantorku pagi ini, memohon agar kita melahirkan seorang anak?" Julie tercengang. Julie menatap mata Victor yang dingin. Dia baru sadar bahwa ternyata bukan karena marah soal tadi malam. Victor tidak mau banyak bicara. "Julie, kalau kamu masih mau bertahan di Keluarga Luliver, kalau ingin Keluarga Purnama tetap berdiri, suruh ibumu tahu diri." Setelah berkata singkat, dia masuk ke ruang kerja mengambil barang, berganti pakaian, lalu pergi. ... Sebelum Julie mencari Poppy. Poppy yang datang. Berbeda dari sikapnya yang dingin, kali ini dia menggenggam tangan Julie dengan lembut. "Julie, pergilah memohon pada Victor. Biarkan dia memberimu seorang anak. Meski lewat cara medis sekalipun." Lewat cara medis! Saat Julie menatapnya dengan ekspresi kaget, dia mendengar ibunya melanjutkan. "Clara bilang ke Ibu. Dalam tiga tahun ini, Victor sama sekali tak pernah menyentuhmu." Kalimat itu mungkin menjadi hal terakhir mematahkan semangat Julie. Di dunia ini, tidak pernah ada yang benar-benar bisa merasakan hal yang sama. Semua orang hanya memikirkan kepentingan masing-masing. Julie tidak mengerti kenapa Victor harus memberi tahu Clara tentang hal ini. Mungkin dia memang benar-benar mencintainya .... Memikirkan itu, tiba-tiba Julie merasa agak lega. "Ibu, menyerahlah." Poppy tertegun, lalu alisnya berkerut. "Kamu bilang apa?" "Aku lelah, aku ingin bercerai dengan Victor ...." "Plak!" Sebelum Julie menyelesaikan kata-katanya, Poppy menampar Julie dengan keras. Seketika, bayangan ibu yang penyayang lenyap. Poppy menunjuk Julie dan berkata dengan tegas. "Kamu kira punya hak apa bicara soal cerai? Cerai dari Keluarga Luliver, kamu yang cacat dan pernah menikah, bisa menikah dengan siapa?" "Kenapa aku bisa punya anak yang tak berguna seperti kamu! Kamu sama sekali tak mirip aku! Kalau tahu begini, dulu aku tak akan membawamu pulang!" Julie mati rasa. Sejak kecil sampai dewasa, Poppy memang tidak pernah menyukainya. Poppy adalah seorang penari terkenal. Namun, putrinya, Julie terlahir dengan gangguan pendengaran. Hal ini menjadi duri dalam daging baginya seumur hidup. Karena itu, Poppy menyerahkan Julie sepenuhnya pada pengasuh dengan kejam. Sampai tiba usia sekolah, Julie baru dibawa kembali ke Keluarga Purnama. Dulu, Julie pernah mendengar gurunya berkata, tidak ada seorang ibu pun yang akan membenci anaknya sendiri. Karena itu, Julie berusaha keras menjadi anak yang hebat. Dia sebisa mungkin menyenangkan hati ibunya. Meski punya gangguan pendengaran, dalam hal tari, musik, seni lukis dan bahasa, dia selalu berada di jajaran terdepan. Namun, sekarang Julie baru sadar. Tidak peduli sebaik apa pun dirinya, di mata Poppy, dia tetap bukan putri ideal. Seperti yang dikatakan Poppy, Julie adalah orang yang tidak sempurna. Hal yang tidak sempurna bukan hanya tubuhnya, tetapi juga kasih sayang keluarga dan cinta .... Setelah Poppy pergi. Julie menutupi bekas tamparan merah di wajahnya dengan bedak, lalu dia naik mobil seorang diri menuju kantor pengacara. Di dalam kantor. Jesper, pengacara yang dulu menangani urusan hukum ayahnya Julie semasa hidup, menerima surat kuasa darinya, lalu membacanya sebentar. Kemudian, dia menatap Julie dengan bingung. "Kamu benar-benar mau menyerahkan seluruh warisan yang diam-diam ditinggalkan Pak Gavin untukmu pada Victor? Kamu tahu, dia sama sekali tak butuh uang segini." Julie mengangguk. "Aku tahu, tapi ini adalah utangku padanya. Aku harus mengembalikannya." Tiga tahun lalu, Ayah Julie meninggal secara mendadak. Semasa hidupnya, ayahnya sudah menyiapkan tiga wasiat. Karena tahu Poppy tidak menyayanginya, dia meminta Steve untuk diam-diam menyampaikan wasiat terakhir kepada Julie. Dalam wasiat terakhir itu tertulis, tiga tahun setelah Julie menikah, jika dia merasa tidak bahagia atau ingin membangun kariernya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, dia bisa menggunakan warisan tersebut.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.