Bab 2
Pengacara langsung membalas pesan: [Oke, Nona Chivonia, akan kusiapkan sesegera mungkin."
Chivonia menyimpan ponsel dan melihat pemandangan di luar jendela.
Hilang ingatan adalah kesempatan yang diberikan langit padanya, kesempatan untuk melarikan diri dan memulai hidup baru.
"Jangan pulang dulu," katanya kepada sopir, "Ayo ke Biro Imigrasi."
Sopir itu terlihat terkejut dan meliriknya dengan heran melalui kaca spion, tetapi tetap berkata dengan hormat, "Baik, Bu."
Prosedur imigrasi berjalan lancar.
Staf bilang semua dokumen akan siap dalam dua minggu.
Saat masuk ke dalam mobil, Chivonia ragu sejenak sebelum berkata, "Jangan beri tahu Pak Stevino tentang masalah hari ini."
Sopir itu mencengkeram setir erat-erat. "Bu, Pak Stevino nggak pernah mengizinkan kami menyebutmu di depannya."
Chivonia mengatupkan bibir.
Ternyata Stevino begitu membencinya sampai tidak ingin mendengar namanya.
Sekembalinya di vila, Chivonia berdiri di pintu masuk dan melihat ke sekeliling.
Rumah ini terasa akrab sekaligus asing. Terasa akrab karena setiap dekorasi sesuai dengan seleranya, asing karena terasa begitu sepi sehingga terasa seolah tidak ada orang yang pernah tinggal di sana.
Chivonia mengelus bantal-bantal bersulam di sofa, mengira dia pasti sangat gembira saat baru mendekorasi rumah ini, menantikan kehidupan bahagia bersama Stevino.
Dalam foto pernikahan yang tergantung di dinding, tatapan Chivonia penuh cinta saat menatap Stevino, sementara wajah tampan pria itu sangat cuek.
Chivonia menggelengkan kepala dan naik ke atas.
Memasuki kamar tidur, Chivonia tanpa sadar membuka laci dan sebuah buku harian kulit jatuh ke lantai.
Begitu halaman pertama dibuka, tulisan tangan yang miring seolah ditulis dalam keadaan mabuk pun muncul di depan mata.
[Ini adalah hari pertama pernikahanku dengan Stev. Dia pergi ke ruang kerja tanpa bilang apa-apa. Nggak masalah, aku akan menunggu.]
Setelah membalik halaman demi halaman, setiap halaman terasa seperti pisau yang menikam hatinya.
[Ini percobaan bunuh diri yang ke-37, Stev masih nggak datang menemuiku. Asisten bilang Scarlet demam dan dia tetap di sisi kasurnya sepanjang malam. Aku berbaring di ruang gawat darurat, mendengarkan infus sambil menghitung sampai fajar.]
[Yang ke-89 kali, aku minum pil tidur. Saat bangun, kudengar dia berbicara di telepon di lorong, "Biarkan dia mati." Saat itu, aku sadar yang lebih menyakitkan daripada kematian adalah mendengar orang yang paling kamu cintai menginginkanmu mati.]
[Yang ke-108 kali, kuputuskan untuk menyerah. Kalau ini masih gagal, aku akan menghilang sepenuhnya. Toh nggak ada seorang pun di dunia ini peduli dengan keberadaanku.]
Chivonia menutup buku harian itu, dadanya terasa seperti disayat. Bekas luka di pergelangan tangan tiba-tiba terasa panas, setiap sayatan diam-diam menuduhnya atas keputusasaan masa lalu.
Chivonia perlahan berjongkok dan memeluk lututnya.
Jadi selama tiga tahun terakhir, Chivonia hidup begitu sederhana dan menyanjung pria itu mati-matian hanya agar mendapatkan perhatian.
"Nggak apa-apa." Chivonia menyeka air mata dan menyimpan buku harian itu di laci, "Vonia, nggak apa-apa kalau nggak ada yang mencintaimu."
Cahaya bulan dari jendela menyinari ruangan, memancarkan kilauan samar di kakinya.
"Selama kamu mencintai dirimu sendiri dengan baik, kamu belum kalah."
Chivonia tinggal di vila kosong ini selama beberapa hari, tetapi Stevino tidak pernah kembali.
Tanpa kenangan atau cinta, Chivonia sama sekali tidak merasa sulit tinggal sendirian di rumah kosong itu, malah merasa nyaman untuk menunggu hingga prosedur imigrasinya selesai.
Hingga panggilan dari ibu memecah kesunyian.