Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Matthew baru tiba di rumah ketika sudah tengah malam. Di sudut ruang tamu, koper yang dia bawa pulang kemarin masih tergeletak di sana, tak bergerak sedikit pun. Pikirannya langsung teringat pada Kayla. Selama tiga tahun ini dia tinggal di luar negeri. Setiap kali pulang, Kayla selalu menyambutnya dengan senyum manis. Koper yang berat itu selalu membuat tubuhnya yang kurus condong ke satu sisi, tetapi dia tetap berusaha membawanya naik ke lantai atas. Pandangannya selalu penuh bahagia dan malu-malu, sangat berbeda dengan kali ini. Di ponselnya, terlihat banyak panggilan tak terjawab, sebagian besar dari Chris. Tak ada satu pun panggilan dari Kayla. Matthew pun menelepon balik Chris. Setelah beberapa lama, telepon baru diangkat. [Kak, aku sedang lembur.] "Lembur dengan Kayla?" Matthew sedikit tidak percaya. Urusan pabrik memang mendesak, tetapi itu bukan masalah yang sulit ditangani. [Ya, masih di kawasan industri.] Alis Matthew berkerut. "Masalah kecil seperti ini saja masih belum selesai? Apa yang sebenarnya dilakukan Kayla?" Mendengar itu, Chris merasa kasihan pada Kayla dan berkata, [Masalah ini bukan kesalahan dari pemasok bahan seperti yang kita kira, yang hanya perlu mencetak ulang satu batch, atau mencari solusi lain. Ini sudah direncanakan, tujuannya memang agar pengiriman batch pertama nggak jadi dilakukan. Kalau bukan karena Kak Kayla, kita pasti sudah kebingungan.] Ada satu jenis manisan buah tradisional dari Kota Andara yang setiap tahun mengekspor produk senilai empat triliun ke Japara dan Korna. Tahun ini, dua triliun dari jumlah tersebut diserahkan kepada perusahaan perdagangan di bawah Grup Walker. Hari ini adalah jadwal pengiriman batch pertama, tetapi 100.000 kemasan bahan tidak memenuhi standar. Desainernya menghilang, produsen juga mengaku tidak tahu. Sementara perusahaan lain yang menyuplai bahan tidak memiliki stok yang cukup. Dalam waktu singkat, tidak mungkin untuk mengganti atau menambah bahan yang diperlukan. Matthew tiba di kawasan industri, dan begitu dia keluar dari mobil, Chris langsung memeluknya sambil merengek, "Kak, bisa bayangkan nggak? Semua orang di sini lembur untuk menempelkan label pada 100.000 kemasan. Sejak kecil aku belum pernah merasakan penderitaan seperti ini!" Matthew mengatupkan bibir dengan keras. Setelah mencari lama, akhirnya matanya tertuju pada Kayla yang sedang melepas baju APD. Di depan pintu ruang steril yang terang benderang, cahaya lampu menyinari wajahnya. Meskipun jaraknya cukup jauh, Matthew tetap bisa melihatnya dengan jelas. Struktur tulangnya tampak sangat indah, kulitnya putih bersih tanpa riasan apa pun. Meski dinginnya subuh menusuk kulit dan tubuh Kayla yang terbungkus selimut wol abu-abu yang kusam, tetapi penampilannya tetap memesona, seakan tak terpengaruh oleh segala hal di sekitarnya. Kayla sedang berbicara dengan si manajer umum. Pria berusia 40-an itu jauh lebih tinggi darinya, tetapi terlihat sangat menghormatinya. "Kak, Kayla bisa sampai di posisinya saat ini, bukan sepenuhnya karena bantuan ayah dan ibu angkat deh!" Chris mengingatkan Matthew bahwa dia tidak hanya tidak memahami Kayla, tetapi juga memiliki prasangka yang cukup dalam terhadapnya. ... Ketika Kayla berjalan ke hadapan Matthew, dia pura-pura tidak melihatnya. Kayla bukannya sengaja ingin buang muka padanya, hanya saja dia sudah tidak tidur semalaman dan sudah kehabisan energi. "Apa yang terjadi hari ini karena penilaianku yang salah. Maaf," ujar Matthew. Kayla terkejut mendengar Matthew meminta maaf. Dia terdiam sejenak, lalu memiringkan kepala menatapnya. "Aku sudah dengar dari Chris. Kalau bukan karena kamu, perusahaan pasti akan menghadapi masalah besar." Mencetak label produk yang kurang, lalu menempelkannya. Meski cara ini agak bodoh, tetapi itu adalah satu-satunya solusi yang bisa dilakukan saat itu. Kayla tetap tenang dalam situasi kritis dan cepat mengambil keputusan, menunjukkan dia memiliki kecerdasan serta kemampuan untuk memecahkan masalah. Kayla bisa melihat adanya apresiasi di mata Matthew, bukan kebencian atau penolakan yang dingin. Hidungnya seketika terasa masam. Tiga tahun sudah berlalu, dan baru kali ini Kayla dipandang dengan wajah ramah, bahkan di saat dia memutuskan untuk bercerai. Kayla mengalihkan pandangannya ke tempat lain, lalu berbisik pelan, "Ini kewajibanku, nggak mungkin 'kan aku ambil gaji buta." Setelah itu, keduanya terdiam. Matthew memandangi angin malam yang menerbangkan helai rambutnya, lehernya yang putih dan ramping semakin tersembunyi dalam selimut. "Aku memang nggak terlalu mengenalmu, tapi orang tuaku sangat menyukaimu, itu sudah cukup membuktikan kalau kamu orang yang baik dan luar biasa. Tapi, aku menyukai orang lain. Aku pernah berjanji untuk menikahinya, jadi aku nggak bisa ingkar janji. Ke depannya, apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu." Matthew berdiri di tempat yang berangin, angin yang berembus bercampur dengan aroma parfum wanita itu. Hati Kayla terasa sesak, seakan ada luka yang halus dan rapat. Matanya berkaca-kaca, dan dengan suara tercekat, dia berkata, "Semoga kamu berbahagia bersamanya."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.