Bab 4
Beberapa hari kemudian, aku keliling sambil meliput berita.
Materi berita yang kudapat makin banyak, tetapi yang bisa digunakan hanya sedikit.
Kisah tentang manusia lipan terus memenuhi pikiranku.
Aku adalah seorang jurnalis. Jika dalam perjalanan ini aku gagal meliput berita yang bagus, mungkin aku akan dipecat.
Aku mulai mencari tahu tentang manusia lipan. Namun, tidak ada satu pun yang tahu tentang kisah itu.
Tiga hari kemudian, aku sudah kehilangan minat dan ingin pulang.
Sampai aku bertemu lagi dengan pria yang satu perjalanan denganku.
"Di sana, ada jalur pegunungan yang sudah nggak dilalui orang, kamu harus pergi ke sana."
"Ikuti saja jalannya, pemandangannya alami dan klasik."
Pria itu menarik topi ke bawah, tanpa sengaja aku melihat pergelangan tangan pria itu.
Sepertinya, ada sesuatu yang bergerak di bawah kulit pria itu.
Pria itu segera menyadari tatapanku, akhirnya dia buru-buru menyerahkan peta padaku.
Mungkin aku salah lihat.
Lalu, aku mulai fokus membaca peta.
Jalan ini terlalu terpencil, bahkan tidak ada tempat penginapan di sekitarnya.
Sepertinya, pria itu ingin mengarahkan aku pergi ke sebuah tempat yang misterius.
Namun ... kemarin ada pemandu wisata yang melarang pergi ke sana.
"Kawan, jangan percaya omongan pemandu wisata itu, di sana memang sedikit penginapan dan tempat wisata. Penduduk desa nggak ikut terlibat dalam pembukaan tempat wisata, jadi mereka nggak dapat komisi."
"Jangan khawatir. Mending kamu pergi ke sana daripada menyesal seumur hidup."
"Selama sekian tahun, nggak ada insiden apa-apa, kok. Lagi pula, kamu punya peta, apa lagi yang kamu takutkan?"
Desa?
Apakah maksudnya Desa Lipan?
Aku mulai merasa tertarik setelah mendengar penjelasannya.
Ketika ingin bertanya lagi, pria itu sudah pergi.
Selain suara napasku sendiri, hanya terdengar suara angin dan suara serangga.
Cerita nenek itu dan sosok pria berwajah pucat itu terus terbayang di kepalaku.
Kenapa reaksiku jadi berlebihan seperti ini hanya karena cerita legenda?
Atau ... jangan-jangan itu bukan cerita legenda?
Saat berpikir begitu, tiba-tiba ada suara gesekan dari semak-semak di sampingku.
Aku kembali tersadar, ketakutan mulai menyelimuti hatiku.
Padahal baru pukul dua siang, tetapi langit tiba-tiba menggelap. Aku berjalan hanya dengan mengandalkan cahaya redup yang menembus celah daun.
Aku berjalan mengikuti peta, tetapi suara gesekan di belakang makin dekat.
Seperti suara perut lipan bergesekan dengan dedaunan yang sudah membusuk, suara kakinya yang banyak itu bergesekan dengan dahan kering.
Mereka seolah sebentar lagi menyusulku, merayap ke tubuhku melalui celana, lalu masuk ke dalam dagingku.
Aku bahkan bisa merasakan rasa sakit dari gigitan mereka.
Langkahku makin cepat.
Di sepanjang jalanan tua itu, lantainya banyak yang rusak dan penuh lumut.
"Ah!"
Suara embusan angin di telingaku tiba-tiba menjadi kencang.
Pergelangan kakiku terasa nyeri. Benturan membuat seluruh tulangku hampir remuk.
Setelah terjatuh dari tangga, belum sempat bangkit berdiri ...
Di detik berikutnya, sesuatu yang sangat mengerikan pun terjadi ...
Dengan bantuan cahaya redup dari ponsel, aku melihat ada hewan yang menempel di tanganku.
Meskipun sudah menggoyangkan tangan, hewan itu tidak mau lepas dari tanganku.
Hewan itu merayap dengan luwes, tubuhnya yang panjang bergerak mengikuti jalur pembuluh darahku.
Dengan panik, aku menyorot tanganku menggunakan cahaya ponsel.
Ternyata hewan itu tidak merayap!
Melainkan bergerak di bawah kulitku!
Aku menarik bajuku ke atas dengan tangan gemetar.
Tidak hanya ... tidak hanya di tangan, tetapi juga di kaki ... dan di perut!
Tubuh hewan-hewan itu menonjol dan terus bergerak di bawah kulitku yang putih.
Ini yang disebut manusia lipan!
Mereka sedang menggerogoti tubuhku.
Siapa pun ... siapa pun itu!
Tolong selamatkan aku!