Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Begitu jam pulang kerja sore itu, kantor hampir kosong. Rosie berdiri di dekat jendela, melihat Hayden di bawah sambil membawa bunga menunggunya. Dia bahkan merasa geli. Hayden itu wakil direktur di dalam kota. Jabatan itu didapat karena ayahnya memakai koneksi. Jadi hanya nama saja. Ayahnya adalah direktur showroom mobil terbesar di Kota Ampera. Dia sangat menentang hubungannya dengan Rosie, malah lebih menyukai latar belakang keluarga Selina. Makanya Selina harus didapatkan, tapi karena Hayden masih bersama Rosie, maka keduanya hanya bisa bertemu secara rahasia. Rosie berdiri di depan pintu lift, memasang earphone, menerima telepon Hayden. Sambil melihat komik di tablet dengan wajah penuh jijik tapi memujinya dengan suara manja. "Baik sayang, kamu pergi dulu. Nanti aku akan menyusul, aku pasti tepat waktu, tenang saja." Dia tidak menyadari, sebenarnya lift sudah terbuka, tapi Samuel menahan pintu lift dengan tangan, tidak membiarkannya menutup. Wajah manja palsu membuat Carlo yang ada di dalam lift tersenyum samar. Samuel tidak berani tertawa dan cepat-cepat menoleh ke arah lain. "Benar, kamu juga tahu, bos kami seperti vampir." Dia masih ingin melanjutkan bicara, tapi tanpa sengaja menatap wajah Carlo yang gelap dan ekspresi Samuel yang melihatnya dengan iba. Dia kaget dan langsung menutup telepon. "Pak Carlo ...." "Hmm." Entah kenapa, dia seperti melihat ada sedikit senyum tipis di sudut bibir Carlo. "Masuk!" Samuel buru-buru kasih kode dengan mata. Rosie memaksakan senyuman, masuk, dan berdiri di samping lift. Suasana canggung langsung menyelimuti mereka bertiga. Satu kalimat bisa menimbulkan malapetaka sebesar ini, mungkin begitulah rasanya. "Bu Rosie mau pergi kencan?" tanya Carlo. "Nggak, hanya ingin mengantar teman ke krematorium." Rosie menjawab tanpa berpikir. "Butuh bantuan?" Carlo tidak terkejut dengan jawaban itu. "Untuk sementara nggak perlu." Dia tersenyum lagi. Samuel menangkap maksud tersembunyi dari perkataannya. Karena, hubungan Hayden dan Rosie bukan rahasia lagi di antara mereka bertiga. Ting .... Lantai 18, lantai departemen promosi, tiba-tiba tujuh hingga delapan orang masuk. Samuel dan Rosie buru-buru geser ke belakang. "Pak Carlo, halo!" Semua orang menyapa, mereka tidak merasa canggung. Carlo hanya mengangguk sedikit. Orang di departemen promosi memang santai, selalu tertawa. Mereka bahkan mengobrol di dalam lift. "Aku nggak dapat tempat, geser sedikit." Entah siapa yang bicara, lift semakin padat. Saat itu Rosie merasa pinggangnya tiba-tiba ditekan, panas tubuh menembus kemejanya yang tipis. Badannya terdorong ke samping Carlo. Pipinya yang berbedak sampai menempel ke jas hitamnya, meninggalkan bekas putih tipis. Tapi Carlo segera melepaskan tangannya. Dalam sekejap, mukanya panas seperti terbakar. Lift sampai di lantai satu, orang-orang departemen promosi berdesakan keluar dan samar-samar terdengar bisikan. "Lihat nggak, ada bekas cupang di leher Pak Carlo!" "Katanya pagi ini Pak Carlo sarapan bersama seseorang, entah siapa. Tapi dari bekas cupang di lehernya, itu pasti seorang wanita!" ... Ya ampun, departemen promosi memang pantas disebut departemen promosi! Saat ini, Rosie ingin ikut keluar, tapi melihat Hayden masih menunggu di pintu depan, dia buru-buru mundur. Carlo menatapnya, tanpa ekspresi. "Kamu nggak keluar?" Samuel tanya sambil tersenyum. Rosie yakin, dia pasti tahu sesuatu. Kalau keluar, dia harus bertemu bajingan itu. Kalau tidak keluar, memangnya harus pergi bersama mereka? Apalagi hari ini dia sudah datang dengan mobil bos, tentu tidak mungkin pulang dengan mobil bos juga, 'kan? "Aku sepertinya ketinggalan barang di atas. Kalian duluan saja, nanti aku balik lagi." Rosie asal cari alasan. Rasanya lama sekali, lift yang hanya turun satu lantai saja jadi terasa panjang. Seperti ada pisau di lehernya, siap menusuk kapan saja. Lalu sampai di lantai bawah tanah, mereka akhirnya keluar juga. Dia tidak bisa pergi, lebih baik kembali ke kantor untuk menggambar saja. ... Lantai 28. Rosie akhirnya bisa bernapas lega. Dia kembali ke jendela, menatap gemerlap lampu kota. Dia duduk lagi di mejanya, menyalakan musik, dan mulai menggambar. Entah setelah berapa lama, Hayden telepon lagi. Dia tidak angkat dan langsung mematikan ponsel. Dia membuat kopi di pantry dan meneruskan menggambar. Lihat bagaimana aku mengerjaimu, si ahli manajemen waktu. Jam setengah sebelas. Rosie mengatupkan bibir, melihat hasil sketsa dan merasa cukup puas! Dia menutup laptop, meregangkan badan, mengambil tas, dan berjalan menuju lift. "Hah?" Dua lift lampunya mati? Dia membuka ponsel dan melihat pesan di grup. Katanya lift sedang diperbaiki, baru bisa digunakan besok pukul delapan pagi. Itu berarti dia harus turun 28 lantai dengan tangga? Dia mengangkat ponsel dan memotret lift. [Aku terjebak, ada yang mau datang menolong ....], dia menambahkan foto dan mengunggah status. Kemudian dia berjalan lemas ke arah tangga darurat yang gelap. Dia menghela napas, mengumpulkan keberanian, dan mulai turun. Baru turun dua anak tangga, ponselnya berbunyi. Dia kaget sampai menjerit dan ponsel jatuh di tengah tangga sebelum sempat melihat siapa yang telepon. Suara dering bergema, lalu berhenti. Seketika gelap gulita, hanya ada suara napasnya sendiri. Dia meraba-raba mengambil ponsel, tapi layar sudah hitam, sepertinya rusak gara-gara jatuh. Ya ampun! Sial sekali! Dia menekan tombol power, berusaha menyelamatkan bencana tiba-tiba itu dan berharap ponsel bisa menyala lagi. Tapi layar tetap mati, malah lampu sensor di lantai atas menyala. Lalu terdengar suara langkah menuruni tangga. "Tok, tok, tok ...." Suara sepatu kulit, sama napas yang samar. "Siapa? Siapa di situ?" Rosie bergeser sedikit ke sudut, keringat dingin muncul di dahinya. Begitu dia selesai bicara, ada sosok tinggi muncul di tangga. Dia berdiri melawan cahaya, siluet yang sempurna tenggelam dalam bayangan. Lampu sensor yang redup menyinarinya, tapi wajahnya tidak terlihat jelas. "Aku, bos vampir." Rosie mengenali kalau itu suara pria itu. "Pak Carlo, kenapa kamu ada di sini juga?" Rosie yang ketakutan bertanya dengan suara gemetar. "Vampir biasanya beraksi di malam hari, 'kan?" Terdengar godaan dalam suara Carlo. "..." Orang ini cukup pendendam. Tapi Rosie setidaknya jadi agak lega, setidaknya bukan orang jahat. Namun sudahlah, dia juga bukan orang baik-baik. "Naiklah." Dia berkata. "Aku mau pulang." Rosie tiba-tiba merasa, pria di depannya ini jauh lebih menakutkan daripada keadaan apa pun yang pernah dia alami. Carlo menghela napas yang hampir tidak terasa. "Lantai satu dikunci, kamu nggak bisa keluar." Dia berhenti sebentar, "Lift biasanya diperbaiki selama satu atau dua jam. Kalau kamu nggak keberatan, naik minum kopi dulu." Apakah Rosie boleh bilang dia sangat keberatan? Tapi sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Carlo tidak menunggu jawabannya dan langsung berjalan naik. Rosie melihat ke bawah yang gelap seperti lubang tanpa dasar, lalu memilih untuk naik bersamanya. Di lantai 30, bahkan pintu tangga darurat pun memakai akses.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.