Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 11

Raut wajah Javi menggelap saat menatap putranya, suasana di sekelilingnya pun menegang. Dia dapat merasakan Dreya berubah drastis sejak keluar dari penjara. Rasa marah dan frustrasi yang dia rasakan ... Semuanya berasal dari perubahan sikap Dreya. Mungkin Dreya sudah tidak begitu mencintainya lagi, atau mungkin semuanya sudah keluar dari kendalinya. "Konyol! Reya sudah minta cerai, dan kamu masih bisa ngomong seenaknya seperti itu." Suara tua dan berat terdengar dari arah tangga. Ditemani Feli, Kakek Arian perlahan menuruni tangga. Setelah tiba di hadapan ketiga orang itu, wajahnya makin muram. "Kakek, aku hanya bicara jujur! Begitu bebas, dia langsung minta cerai. Dia bisa ke mana kalau benaran pergi dariku?" Javi berkata dengan suara berat. "Kamu meremehkan Reya?" Kakek Arian marah besar. "Reya bisa mengurus rumah, memasak, bahkan menjahit sendiri pakaian anakmu selama bertahun-tahun. Dia itu istri yang luar biasa. Javi, apa yang sebenarnya kamu nggak puas?" Kata-kata itu langsung membuat Javi terdiam. Yevani yang di samping juga tidak berani bicara. "Dia sudah sangat baik, jauh lebih dari cukup untukmu, tapi kamu malah nggak tahu cara menghargainya. Bahkan, kejadian waktu itu, kamu langsung jadi saksi orang lain tanpa menyelidiki dulu. Suami dan anaknya sendiri yang mengirimnya ke penjara. Nggak heran kalau dia merasa sakit hati dan ingin bercerai." Yevani seketika mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca. "Maksud Kakek Arian, aku yang sudah salah menyalahkan dia?" "Reya pasti akan selidiki masalah ini. Nggak perlu bilang aku bantu siapa. Yang bersih akan tetap bersih. Aku percaya sama Reya." Sikap Kakek Arian sangat jelas. "Ayah, jangan marah lagi ... " Feli yang berdiri di samping, mencoba menenangkan. Dia meminta mereka pulang untuk meredakan suasana, bukan malah memperburuknya. "Dia memang pernah menyelamatkanmu, tapi orang bisa berubah. Kakek lihat sendiri hari ini, dia bahkan tega menyakiti anak kecil. Apa lagi yang nggak bisa dia lakukan?" "Piring saus itu juga lewat tangan Nona Yevani, kenapa kamu nggak bilang itu ulahnya?" Kakek Arian mengetuk lantai dengan tongkat kayu cendana di tangannya. Suara keras itu membuat semua orang terdiam. Ekspresi kesedihan di wajah Yevani seketika menghilang. Kepanikan sesaat Yevani sudah tertangkap oleh mata Kakek Arian. "Kakek, semua harus berdasarkan bukti, tanpa bukti ... " "Lalu saat kamu menuduh Reya, kenapa nggak bicara soal bukti? Saat aku bilang dia, kamu malah bicara soal bukti." Kakek Arian memperkuat genggaman di tongkatnya. "Sebagai CEO, kalau terlalu egois, suatu hari bisa jadi senjata makan tuan." "Ayah, sudahlah." Feli memberikan lirikan ke cucunya. "Vano masih nggak enak badan. Jangan bicara terlalu keras di depannya, nanti dia jadi takut ... " Yovano menangkap isyarat mata neneknya. Dia segera turun dari sofa dan berjalan menuju Kakek Arian, "Kakek Buyut, jangan marah lagi, ya. Kalau nggak, nanti jenggotnya makin panjang ... " Ucapan polos Yovano membuat Kakek Arian tersenyum dan emosinya mereda. Dia menatap Yovano sejenak, lalu berkata, "Malam ini, Vano nginap di sini. Neneknya yang jaga. Kalian berdua segera pergi dari sini." Javi ingin bicara, tetapi tidak berani. "Satu hal lagi ... " Setelah berdiri, dia menatap Javi dan melanjutkan ucapannya, "Kudengar Reya nggak pulang ke rumah di Graha. Besok jemput dia pulang. Kalau dia nggak pulang, aku akan usir kamu." Setelah mengatakan itu, dia menggandeng Yovano dan naik ke lantai dua. Yovano sempat menoleh ke ayahnya, tetapi akhirnya tetap tidak berani bersuara. ... Sesampainya di rumah, Dreya mandi dan langsung berbaring. Demamnya mulai turun, kepalanya juga tidak lagi terasa berat. Saat melihat tas di samping tempat tidur, dia mengambilnya dan mengeluarkan selembar kartu nama mewah berwarna hitam. Kemudian, dia kembali berbaring, menatap kartu nama itu dalam cahaya yang datang dari arah berlawanan. Rafael Boris. CEO Grup Quanta. Bulu mata Dreya bergetar saat membaca nama tulisan itu. Pria ini yang paling berkuasa di Keluarga Boris. Dreya mengeluarkan ponselnya dan menyimpan nomor yang tertera di kartu nama di kontaknya. Saat ini belum membutuhkan, tetapi kelak tidak ada yang pasti .... Baru selesai menyimpan nomor ponsel itu, muncul panggilan masuk di layar ponselnya. Dia langsung mengenali deretan nomor itu. Pemiliknya adalah Javi. Dreya membeli kartu SIM baru setelah keluar dari penjara. Bagi Javi, bukanlah hal sulit untuk menemukan nomor ponsel baru itu. Setelah berpikir sejenak, dia pun menjawab. Suara yang dingin langsung terdengar dari ujung telepon. [Aku nggak peduli kamu di mana. Besok kamu harus segera pulang ke Graha.] Di benak Dreya, masih terngiang kata-kata yang dia dengar di ruang kerja Rafael. Semua hinaan itu bagaikan duri tajam yang menusuk ke lubuk hatinya yang terdalam. Meski begitu, dia tidak merasa sakit sedikit, hanya merasa ironi. "Pak Javi mabuk, ya? Aku sudah minta cerai di depan semua orang. Kamu masih suruh aku pulang? Ucapanku yang nggak jelas, atau telingamu yang bermasalah?" ujar Dreya dengan dingin. Javi langsung terdiam. Jika Dreya tidak pulang besok, kemungkinan kakek akan mengusirnya lusa. Hal tersebut, Dreya tidak mengetahuinya. [Soal cerai, kita bahas lagi besok. Aku tunggu kamu di rumah. Kalau kamu nggak setuju, aku nggak akan tanda tangan surat cerai itu.] "Apa lagi yang perlu dibahas?" Spontan, Dreya menggenggam ponselnya lebih erat. Masalah perceraian, dia sudah pasti dan tidak akan mengubah keputusannya. Selama tiga tahun di penjara, hal yang paling ingin dilakukannya adalah bercerai dari Javi. Namun, Javi malah menunda-nunda seperti ini. Hal ini memang di luar dugaan Dreya. [Kalau kamu ingin aku tanda tangan, pulang besok. Kalau nggak, aku nggak keberatan mengulur-ngulurnya.] Tanpa menunggu jawabannya, Javi langsung memutuskan telepon. Dreya mengernyit. Dia menatap layar yang gelap dengan marah. "Dia yang nggak bisa lupain wanita pujaan hatinya, tapi juga nggak mau segera bercerai!" cibirnya dalam hati. Dreya tiba-tiba merasa bingung. "Apa sih maunya orang ini?" lanjutnya dalam hati. "Ding!" Sebuah pesan masuk. Dari sahabatnya, Annie. [Aku coba telepon kamu, tapi sedang sibuk. Aku ada urusan penting, hubungi aku secepatnya.]

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.