Bab 12
Saat melihat pesan dari Annie, bulu mata Dreya bergetar pelan.
Dia menduga, urusan yang dimaksud mungkin tentang informasi putri dari narapidana yang pernah menyelamatkannya.
Dreya segera menelepon Annie dan menempelkan ponselnya di telinga.
Begitu tersambung, suara Annie terdengar, [Akhirnya bisa menghubungimu ... ]
"Kamu sudah dapat info tentang Elina?"
[Baru dapat info dasarnya. Katanya anak itu sudah dikirim ke panti asuhan sejak tiga tahun lalu. Panti asuhan mana masih belum tahu. Kemungkinan sih Panti Asuhan Cinta Kasih atau Panti Asuhan Mentari, dua ini yang paling dekat dengan rumahnya.]
"Infonya akurat?"
Annie terdengar agak ragu. [Aku nggak bisa pastikan itu. Ini masih hasil penyelidikan awal. Besok aku ada rapat penting, jadi mungkin baru bisa ke dua panti asuhan itu lusa.]
"Kalau begitu, biar aku yang pergi dulu besok," kata Dreya dengan mantap.
[Oke. kalau ada kabar baru, beri tahu aku juga.]
"Ya."
Setelah menutup telepon, Dreya meletakkan ponselnya di atas kartu nama hitam yang masih tergeletak di meja.
Dia hanya melirik sejenak, lalu membuka selimut dan berbaring kembali.
Awal rencananya, Dreya ingin pergi pagi-pagi ke panti asuhan untuk mencari tahu tentang anak itu. Namun, dia masih merasa kelelahan saat bangun, jadi dia pun memutuskan untuk berangkat di sore hari saja.
Dua panti asuhan tersebut berjarak agak jauh satu sama lain.
Di tempat pertama, pihak panti asuhan mengatakan bahwa mereka tidak pernah menerima anak bernama Elina Sovita.
Dia pun melanjutkan ke Panti Asuhan Mentari.
Setibanya di sana, dia bertemu dengan kepala panti asuhan.
"Anak itu memang pernah tinggal di sini selama setahun. Tapi kemudian dijemput oleh ayah kandungnya. Setelah itu, kami nggak pernah dengar kabarnya lagi. Bahkan arsipnya sudah dihapus."
Mendengar itu, Dreya merasa kecewa.
Yuna Sovita, narapidana yang dijatuhkan hukuman mati, sekaligus penyelamatnya, pernah mengatakan bahwa ayah dari anaknya adalah seorang penjudi. Elina telah lama diperlakukan buruk oleh ayahnya. Sebelum masuk penjara, Yuna sengaja mengirim Elina ke panti asuhan agar hidupnya lebih layak dan terhindar dari ayahnya.
Siapa sangka, Elina ternyata telah dijemput.
Setelah Dreya meninggalkan Panti Asuhan Mentari, dia berencana untuk memberi tahu Annie tentang situasi ini, agar dia dapat mencari cara untuk membantu menemukan alamat ayah kandung Elina.
Hanya dengan menemukan ayah anak itu, dia bisa menemukan Elina.
Saat dia mengeluarkan ponsel, tiba-tiba terdengar suara rendah dari belakangnya.
"Aku sudah suruh kamu pulang, 'kan?"
Dreya segera menoleh setelah mendengar suara itu.
Keningnya mengernyit menatap pria yang datang mendekat.
Pria itu memang adalah Javi.
"Kenapa kamu tahu aku di sini?" tanya Dreya dengan tatapan penuh waspada.
"Aku sudah bilang kamu harus pulang hari ini, kenapa nggak pulang? Kenapa malah ke tempat kumuh seperti ini?"
Begitu mendekat, Javi langsung menarik pergelangan tangan Dreya, mencoba membawanya ke seberang jalan.
Di sana, terparkir sebuah Rolls-Royce Cullinan yang sangat tidak asing..
Mobil milik Javi.
"Javi, kamu membuntuti aku?" tanya Dreya dengan suara yang berat.
Dia enggan mengikuti Javi, jadi segera menghentikan langkahnya. Kemudian, dia menatap pria di depannya dengan tatapan yang mengerikan.
"Kalau kamu nurut, aku nggak perlu suruh orang mengawasimu."
Dreya terkejut, spontan melihat sekelilingnya.
Namun, dia tidak menemukan orang yang mencurigakan.
"Kenapa kamu ngotot menyuruhku pulang ke Graha?" Dreya melepaskan tangan Javi dengan kasar. "Aku sudah terang-terangan minta cerai sama kamu, tapi kamu masih paksa aku pulang. Kamu sengaja cari masalah, ya?"
"Kalau hari kamu nggak pulang, besok aku dan Vano yang akan diusir Kakek." Javi tiba-tiba mendekatinya, menatapnya dengan tatapan meremehkan. "Nggak akan kubiarkan kamu hancurin keluarga ini."
Ternyata ...
Kakek yang menghalanginya untuk bercerai?
Tidak heran semalam Javi meneleponnya dan bersikeras menyuruhnya pulang.
Bahkan mengancam tidak akan menandatangani surat cerai itu jika tidak pulang.
Sebelum Dreya bisa menjawab, Javi membungkuk sedikit dan langsung mengangkatnya ke atas bahu.
Karena tiba-tiba terangkat, Dreya refleks memegang jas di bagian punggung Javi.
Setelah menstabilkan tubuhnya, dia memukul punggung Javi. "Turunkan aku!"
Namun, Javi sama sekali tidak menggubrisnya, terus berjalan ke arah mobil.
Setelah pintu mobil dibuka, dia langsung memasukkan Dreya ke kursi belakang.
Kemudian, dia memberi perintah ke asistennya, Evan Winata, "Jalankan mobilnya."
"Baik, Pak Javi."
Saat mobil hendak melaju, Dreya mencoba membuka pintu.
Namun, pergelangan tangannya kembali ditahan oleh pria di sampingnya.
Entah mengapa, dia tidak ingin kembali ke rumah di Graha itu. Rumah itu adalah rumah pernikahannya dengan Javi, tempat yang dia tinggal selama bertahun-tahun bersama suami dan anaknya.
Di tempat itu juga, Yevani menghancurkan hidupnya.
Karena itulah, dia merasa tidak suka terhadap tempat itu dari lubuk hatinya. Jika memungkinkan, dia tidak ingin menginjakkan kakinya di sana lagi seumur hidupnya.
"Lepaskan."
Dreya mengangkat pandangannya, menatap Javi dengan tatapan dingin.
"Duduk yang tenang. Aku nggak akan melakukan apa-apa padamu. Selama kita bisa menenangkan Kakek, semua bisa dibicarakan."
Javi semakin memperkuat genggaman di pergelangan tangan Dreya.
Dreya mengernyit karena kesakitan.
Setelah mengetahui motif Javi, amarah di hatinya perlahan terus bertambah.
Dreya menggigit pergelangan tangan Javi dengan sekuat tenaga.
Semua amarah dan kekesalan dia salurkan lewat gigitan itu.
Javi mengerang kesakitan, lalu mengernyit.
Setelah melepaskan tangannya, dia menatap bekas gigitan yang dalam di pergelangan tangannya.
Dreya nyaris menggigitnya hingga berdarah.
Javi begitu marah hingga dadanya naik turun.
Dalam ingatannya, Dreya selalu lembut dan tidak pernah sekalipun berkata kasar padanya, apalagi menggigitnya.
"Kamu lahir di tahun anjing kah?"
"Aku memang lahir di tahun anjing." Dreya tersenyum sinis. "Pak Javi memang gampang lupa karena sibuk. Sibuk memikirkan wanita-wanita di luar sana, 'kan?"
Javi tertawa getir karena saking marahnya.
Dreya tidak menghiraukannya, berbalik dan duduk di tempatnya sendiri, lalu menatap ke luar jendela.
Mobil sudah mulai berjalan, dia tidak bisa melarikan diri.
Dalam perjalanan pulang ke Graha, pikirannya dipenuhi ribuan macam perasaan dan pikiran.
Jalan ini telah dia lalui berkali-kali. Setiap kali pulang, selalu ada harapan samar akan kehangatan rumah.
Di rumah itu, setiap hari dia menunggu anaknya pulang sekolah, menunggu suaminya kembali dari kerja. Dia rela melepaskan semua hobi dan kariernya, hanya untuk memasak dan mengurus mereka. Namun, pada akhirnya, justru mereka yang mengirimnya ke penjara.
Kini waktu telah berlalu, saat kembali ke rumah itu lagi, yang tersisa hanya kehampaan di hatinya.
"Turun."
Suara Javi yang dalam masuk ke telinga Dreya.
Tanpa melihatnya, Dreya langsung keluar dari mobil.
Menatap vila dan halaman yang tidak dia lihat selama tiga tahun, hatinya seperti tenggelam ke dasar laut.
Tiba-tiba, tangan Javi yang besar itu kembali menarik pergelangan tangannya. "Masuk ke rumah, kita bicara langsung di dalam."