Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Yoga yang selalu tenang, tertib, dan mengendalikan diri itu ternyata langsung melangkah maju, dan menendang perut pemimpin preman itu dengan keras. Lalu, disusul pukulan kedua, tendangan ketiga ... Pria itu sepenuhnya meninggalkan keanggunan dan ketenangannya. Gerakannya nyaris liar, dan di matanya tampak keganasan yang belum pernah dilihat Wilma sebelumnya. Beberapa preman itu segera dipukulnya hingga menangis dan kabur terbirit-birit. Yoga tidak mengejar, melainkan langsung berbalik dan memeriksa keadaan wanita itu, memeriksa dari atas ke bawah. "Kamu nggak terluka?" Namun, wanita itu tiba-tiba mendongak, menatapnya dengan mata merah dan marah. "Yoga! Bukannya kamu sudah nggak peduli padaku? Buat apa datang ke sini?!" Yoga tidak menjawab, hanya mengangkat kedua lengannya dan memeluknya dengan erat dan kuat. Wanita itu masih tampak kesal, berusaha melepaskan diri, lalu menunduk dan menggigit keras leher Yoga yang terbuka! Wilma jelas melihat Yoga menahan sakit dengan mengerutkan alis, tetapi lengannya yang memeluk wanita itu sama sekali tidak melonggar. Pria itu menunduk menatap wanita dalam pelukannya, dan tatapan itu ... belum pernah dilihat Wilma seumur hidupnya, penuh rasa sakit, sedih, pasrah, dan kasih sayang yang pekat. Wilma berdiri terpaku, merasakan hawa dingin merambat dari telapak kaki ke kepala, membekukan tubuhnya seketika. Dalam waktu singkat, Wilma melihat kegelisahan, kemarahan, ketegangan, rasa sayang, sedih, cinta, dan kelembutan di wajah pria yang tidak pernah bisa dia goyahkan, meski sudah memakai segala cara. Semua emosi yang tidak pernah dia dapatkan, kini mengalir deras hanya karena wanita itu. Gunung es yang dingin dan mati selama bertahun-tahun itu, ternyata bisa runtuh demi seorang wanita lain. Lalu, apa artinya dia? Entah sudah berdiri berapa lama dia berdiri di bawah musik bising dan cahaya lampu yang memukau itu. Ketika akhirnya Yoga pergi sambil melindungi wanita tersebut, barulah Wilma seperti terbangun dari mimpi buruk. Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponsel dan mengirim pesan pada teman masa kecil yang paling tahu kabar di lingkaran mereka, dan melampirkan foto yang tadi sempat diambilnya dalam kepanikan. [Cari tahu siapa dia, dan apa hubungannya dengan Yoga.] Saat dia kembali ke rumah dengan hati hampa, berkas informasi dari temannya sudah terkirim. Wilma duduk di sofa, membaca setiap kata, dan seiring kalimat-kalimat itu, jantungnya perlahan tenggelam ke dasar lautan es, lalu tercabik dan hancur. Mia Jinata. Adik kelas Yoga di kampus, dua angkatan lebih muda darinya. Dulu, Mia-lah yang mengejar Yoga lebih dulu. Setelah berusaha keras, akhirnya wanita itu berhasil melelehkan gunung es itu. Setelah bersama Mia, Yoga benar-benar berubah menjadi pria yang berbeda. Hanya karena Mia berkata ingin makan kue dari sebelah barat kota, Yoga akan melewatkan rapat penting dan mengemudikan mobil melintasi sebagian besar demi membeli kue itu. Yoga pun pernah menyewa seluruh taman hiburan khusus untuk merayakan ulang tahun Mia. Karena Mia mengeluh dengan manja, Yoga juga pernah menggendongnya sepanjang jalan setapak yang panjang di bawah naungan pepohonan ... Semua orang di sekelilingnya mengatakan bahwa bersama Mia, Yoga akhirnya tampak seperti manusia hidup yang nyata, punya emosi dan semangat. Namun, ketika cinta mereka berada pada puncaknya, Keluarga Saputra, yang merendahkan latar belakang keluarga Mia yang biasa saja, sangat menentang hubungan mereka. Yoga pun dengan tegas melepaskan seluruh hak warisnya dan membawa Mia kabur. Mereka berciuman mesra di bawah pegunungan bersalju yang disinari cahaya emas, berpegangan tangan menyaksikan matahari terbit di penginapan tepi Danau Ersala, dan melaju bebas di hamparan Gurun Lembara yang luas di barat laut ... Yoga menemani wanita itu melakukan semua hal yang melanggar aturan, romantis, dan gila. Kisah cinta mereka yang membara itu hampir menjadi legenda tersembunyi dalam lingkaran sosial mereka. Namun pada akhirnya, Yoga tetap ditangkap dan dibawa pulang oleh Keluarga Saputra. Keluarga itu mengancam keselamatan dan nyawa Mia, memaksa pria itu menyerah, dan menyatakan bahwa jika dia tidak menikah dengan keluarga yang setara, Mia akan berada dalam bahaya. Yoga menyerah. Itulah sebabnya hari itu di kedai teh, Yoga menunggunya selama lima jam. Itulah sebabnya dia berjongkok, mengganti sandal di kakinya, dan berkata, "Tunanganku hanya perlu menjadi dirinya sendiri." Semua itu bukan karena Wilma begitu istimewa, melainkan agar pernikahan bisa segera diselesaikan, keluarga tetap stabil, dan dengan begitu ... melindungi wanita yang benar-benar tersimpan dalam hatinya. Seluruh tubuh Wilma terasa dingin, seolah-olah dia dilucuti lalu dilemparkan ke tengah laut dingin, setiap pori-porinya memancarkan rasa dingin yang menusuk dan keputusasaan. Dia bisa menerima kalau Yoga memang selamanya berhati dingin dan kaku seperti itu. Dia bisa menunggu dengan sabar, dan mencoba menghangatkan hati pria itu. Namun, Wilma tidak bisa menerima bahwa semua kehangatan dan perasaan pria itu diberikan kepada wanita lain, sementara dia, dari awal sampai akhir, hanyalah alat untuk melindungi wanita yang benar-benar dia cintai! Dia, putri sulung Keluarga Narendra yang sudah dua puluh empat tahun hidup bebas dan penuh percaya diri harus menjadi batu pijakan untuk menyelamatkan wanita yang dicintai Yoga?! Cinta Wilma tidak serendah itu! Malam itu, Yoga tidak pulang. Keesokan paginya, pada pukul sembilan, Wilma menatap langit yang mulai terang di luar jendela, lalu masuk ke kamar mandi. Dia merias wajahnya dengan riasan yang sangat menawan, mengenakan gaun panjang merah menyala, lalu mengemudi menuju kediaman lama Keluarga Narendra untuk menghadiri pertemuan bulanan keluarga. Begitu tiba di rumah tua itu, Pak Dion melihat Wilma datang seorang diri, dan alisnya langsung berkerut. "Yoga mana? Kenapa dia nggak ikut? Apa kamu bikin ulah lagi sampai bikin dia marah?" Dia menunjuk Wilma dengan nada penuh kekecewaan. "Coba kamu pikir! Kamu menikah dengan suami sebaik itu malah nggak tahu diri! Yoga punya kemampuan, punya tampang, dan selalu memanjakan kamu! Kalau tahu kamu begini, dulu harusnya aku biarkan adikmu yang menikah dengannya! Benar-benar menyia-nyiakan jodoh yang begitu baik!" Tatapan Wilma menyapu ruang tamu, melihat ibunya sibuk mengurus adiknya, Siana, menanyakan apakah dia lelah setelah baru masuk perusahaan, dan mengambilkan makanan favoritnya. Perhatian alami semacam itu sudah sangat lama tidak dirasakan Wilma. Dia terkekeh dingin, suaranya memotong omelan ayahnya dengan jelas. "Kebetulan banget!" Semua orang menatap ke arahnya. Wilma mengangkat dagunya, seperti seekor merak yang angkuh. Meski hatinya berlumur darah, dia tetap menjaga harga dirinya yang terakhir. "Aku datang hari ini untuk memberi tahu kalian bahwa aku siap bercerai. Kalian sampaikan pada Keluarga Saputra, selesaikan proses perceraian secepatnya."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.