Bab 3
Ruang tamu seketika sunyi.
Pak Dion dan istrinya saling berpandangan, wajah mereka tampak sangat terkejut.
"Apa kamu bilang?"
"Aku bilang, aku mau bercerai dengan Yoga." Wilma mengulang setiap kata dengan jelas.
Detik berikutnya, Pak Dion memukul meja dengan marah. "Omong kosong! Kamu benar-benar makin nggak tahu aturan! Keluarga Saputra dengan martabat seperti itu, dan Yoga orang seperti itu, apa lagi yang nggak memuaskan kamu?!!"
Bu Tanti ikut menimpali di sampingnya, menyebutkan satu per satu kebaikan Yoga.
Wilma hanya mendengarkan tanpa ekspresi.
Melihat dia tidak tergoyahkan, amarah Pak Dion makin menjadi. Dia meraih cangkir teh di meja dan membantingkannya ke lantai!
"Kalau nggak dikasih pelajaran, kamu itu benar-benar nggak tahu diri! Pelayan! Seret anak durhaka ini ke ruang leluhur! Hukum sesuai aturan keluarga! Pukul sampai dia bilang nggak jadi cerai!"
Dua pelayan maju dan menangkap Wilma.
Di ruang leluhur, tongkat hukuman yang dingin menghantam punggung dan kakinya berulang kali, terasa sakit dan panas menyengat.
Wilma menggertakkan giginya, keringat dingin membuat riasannya basah, gaun merahnya makin gelap oleh noda darah yang merembes.
"Katakan! Kamu masih mau cerai atau nggak?!" Pak Dion bertanya dengan tajam.
"Cerai." Suara Wilma bergetar karena sakit, tetapi sangat jelas.
Satu pukulan lagi jatuh.
"Cerai atau nggak?"
"Cerai!"
...
Entah berapa pukulan yang dia terima, Wilma merasa penglihatannya menggelap dan hampir tidak mampu berdiri. Namun, dia tetap memaksa mengeluarkan satu kata dari celah giginya. "Cerai ... "
Pak Dion gemetar karena marah. "Kamu benar-benar mau cerai, ya? Baik! Kasih Ayah satu alasan! Apa yang salah dari Yoga?!"
Wilma tiba-tiba mendongak, wajahnya penuh keringat dan darah, tetapi matanya bersinar tajam. "Karena dia nggak mencintai aku! Ada wanita lain di hatinya! Puas?! Aku bukan tempat barang bekas, aku nggak menerima sembarang orang!"
Dia mengira akan melihat wajah ayah dan ibunya terkejut atau marah.
Namun, setelah keheningan sesaat, yang muncul di wajah mereka justru rasa bersalah.
Bu Tanti menghela napas. "Kamu ... kamu sudah tahu?"
Saat itu, jantung Wilma seperti ditembus seketika, sakitnya membuatnya hampir tidak bisa bernapas.
Mereka ... sudah tahu sejak lama?
Mereka sudah tahu bahwa di hati Yoga ada cinta pertamanya.
Karena itu, mereka menyuruh dia, putri sulung yang sudah tidak terlalu mereka sayangi, untuk menikah dengan Yoga!
Namun, mereka tidak lupa mengingatkan Wilma, bahwa mereka tidak membiarkan adiknya menggantikan Wilma untuk pernikahan yang begitu baik, dan untuk itu, Wilma seharusnya bersyukur dan berterima kasih!
Wilma tiba-tiba tertawa pelan, tawa itu makin lama makin keras, penuh kesedihan dan penghinaan.
Dia masih ingat saat kecil, dia juga putri kecil kesayangan mereka.
Saat itu orang tuanya bertanya apakah dia ingin punya adik, dan dengan polos, dia bertanya, "Kalau ada adik, apakah kalian masih akan menyayangiku seperti sekarang?"
Mereka bilang tentu saja, dia akan selalu menjadi kesayangan mereka.
Namun, setelah adiknya, Siana, lahir, semuanya berubah.
Mereka selalu berkata, "Wilma, kamu itu kakak, harus mengalah pada adikmu."
Lalu, mainannya, kamarnya, perhatian orang tua, semuanya diambil sedikit demi sedikit, sampai hampir tidak tersisa.
Maka dia mulai menjadi liar, arogan, sengaja mencari masalah, hanya supaya mereka mau memperhatikannya sedikit saja, mau memarahinya sekali saja, seperti mereka memperhatikan Siana.
Namun sekarang, semua itu terasa seperti lelucon besar.
"Kenapa kamu tertawa?!" Pak Dion makin marah karena tawanya.
Saat Wilma hendak berbicara, sebuah suara ragu-ragu terdengar dari tangga. "Ayah, Ibu, jangan paksa Kakak lagi ... "
Itu Siana.
Dia mengenakan gaun putih, seperti bunga kecil yang rapuh, turun dengan perlahan.
"Siana, kenapa kamu turun? Ini bukan urusanmu, cepat naik dan istirahat." Bu Tanti langsung menunjukkan ekspresi penuh kasih.
Siana menggeleng, berjalan ke sisi ayahnya, dan berkata dengan lembut, "Ayah, Ibu, kalau Kakak ingin cerai, biarkan saja. Sebenarnya ... aku menyukai Pak Yoga. Kalau mereka cerai, aku setuju."
Mendengar itu, orang tuanya saling bertukar pandang, di wajah mereka muncul keraguan dan pertimbangan.
Hati Wilma serasa ditikam lagi, darah seperti mengalir terus.
Dia dipukul ratusan kali pun tidak membuat orang tuanya setuju, tetapi satu kalimat ringan dari Siana seolah-olah memiliki bobot seribu kilo.
Siana menatap Wilma, matanya jernih, tetapi nadanya membawa ambisi samar. "... Mungkin Kakak memang nggak mampu mendapatkan hati Pak Yoga. Kalau aku ... mungkin akan berbeda? Setelah Kakak cerai, aku akan berusaha ... agar Pak Yoga melihatku."
Suasana tenggelam dalam keheningan panjang.
Beberapa saat kemudian, Pak Dion menghela napas. "Baiklah! Kalau kamu memang bersikeras, kami nggak akan menghalangimu! Kami akan pergi ke Keluarga Saputra untuk membicarakan perceraian!"
Dia melambaikan tangan, menyuruh pelayan melepaskan ikatan Wilma. "Pulang dan tunggu kabar! Jangan bikin kami marah lagi!"
Melihat adegan seabsurd itu, Wilma merasa semuanya begitu gila.
Dengan tubuh penuh luka, dia berdiri perlahan, menatap orang tua dan adiknya, dan tersenyum. Senyumnya begitu dingin, putus asa, dan penuh penghinaan.
"Tenang, aku juga nggak akan kembali ke rumah ini."
Pak Dion dan Bu Tanti tertegun.
"Apa maksudmu?!" Pak Dion membentak.
"Sesuai perkataanku barusan." Wilma meluruskan punggungnya yang hampir retak, kata demi kata, jernih tak terbantahkan. "Aku bisa hidup tanpa suami, juga tanpa ayah, ibu, dan adik."
"Perceraian ini adalah bantuan terakhir yang kuminta dari kalian."
"Mulai sekarang, anggap saja Wilma ... sudah mati."