Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Mia tampaknya terhibur oleh kalimat itu, lalu mulai menangis pelan. "Kalau begitu ... karena aku sudah memukul Wilma, pasti dia nggak akan membiarkannya begitu saja, karena sifatnya yang keras. Apa yang harus kita lakukan ... " "Tenang, aku yang akan selesaikan." Selesai bicara, Yoga mendorong pintu ruang perawatan. Tepat berhadapan dengan tatapan Wilma yang sedang berada di dalam. Pria itu berjalan ke sisi ranjang, berbicara dengan nada datar. "Mia kemarin mabuk, dan salah mengira kamu sebagai pria yang mengganggunya, jadi nggak sengaja melukaimu. Itu hanya salah paham. Dia dulu ... adik kelasku. Mengingat hubungan itu, anggap saja masalah ini selesai." Wilma mendengar semua kebohongan yang diputarbalikkan itu, merasa jantungnya seperti ditusuk ribuan jarum bersamaan. "Salah paham? Yoga, kamu pikir aku percaya? Atau, kamu pikir aku ini bodoh?" Yoga mengerutkan keningnya. Wilma melanjutkan, suaranya mengandung ejekan, "Kalau masalah ini nggak bisa diselesaikan, aku akan melapor ke polisi. Keluarga Saputra memang berkuasa, tapi Keluarga Narendra juga nggak kecil. Kalau perlu, aku terus melapor, dan kamu terus melindungi. Kita lihat siapa yang pertama menyerah." Yoga memejamkan mata sejenak, jarinya menekan pangkal hidungnya. "Kamu mau bagaimana?" Wilma menatapnya tajam, lalu mengambil ponsel dan menekan sebuah nomor. Tidak lama kemudian, seorang pengawal masuk sambil membawa kotak pendingin kecil yang berisi belasan botol minuman keras. Wilma menunjuk kotak itu, dan menatap Mia. "Habiskan semuanya." Wajah Mia langsung pucat. "A ... aku ... nggak bisa minum." "Nggak bisa?" Wilma menaikkan alis sambil mencibir. "Kalau nggak bisa minum, kenapa semalam mabuk dan mengamuk? Atau, kemampuan salah mengenal orangmu cuma muncul di waktu tertentu? Perlu kubawakan beberapa pria hidung belang supaya kamu bisa masuk ke suasana?" Wajah Mia berubah menjadi pucat dan hijau, merasa sangat malu. Dia menatap tumpukan botol itu, menggigit bibir, lalu dengan tangan bergetar mengambil satu botol. Dia baru hendak membukanya, sebuah tangan ramping langsung meraih dan merebut botol itu. Yoga memandang Wilma tanpa ekspresi. "Aku minum sebagai gantinya." "Yoga! Nggak boleh! Kamu alergi alkohol!" Mia menjerit, hendak menghentikannya. Namun, Yoga hanya melirik sekilas. "Diam. Berdiri di samping." Wilma menyaksikan pria itu menenggak botol demi botol minuman keras itu, dadanya seperti dibakar, sakit hingga tubuhnya gemetar. Dia mencengkeram seprai kuat-kuat, kukunya hampir menancap ke kulitnya sendiri agar tidak goyah. Jelas sekali kemampuan minum Yoga sangat buruk, reaksi alerginya muncul dengan cepat. Leher dan pipinya mulai dipenuhi ruam merah, napasnya menjadi berat. Namun, pria itu tetap tidak berhenti. Baru setelah botol terakhir tandas, dia meletakkan botol itu dengan keras, tubuhnya goyah, menahan diri pada dinding agar tidak jatuh. Dia cepat-cepat mengambil obat alergi dari saku jasnya dan langsung menelan beberapa butir. Meski wajahnya memerah dan napasnya terengah, tatapannya pada Wilma tetap tenang tidak berombak. "Sekarang, sudah cukup?" Saat itu, perawat masuk. "Nona Wilma, giliran Anda untuk pemeriksaan CT kepala." Wilma menahan sakit di dahi dan luka di hati, bangkit dengan langkah gontai. Saat melewati Mia, dalam sekejap tanpa peringatan, dia meraih dua botol bir di samping dan menghantamkan keduanya ke kepala Mia! "Buk! Buk!" Dua suara tumpul terdengar, diikuti jeritan melengking dan pecahan kaca. "Jangan macam-macam!" Wilma menjatuhkan pecahan botol, tatapannya dingin bagai es. "Aku Wilma Narendra selalu membalas dendam, sakit dibayar sakit, dan selalu dua kali lipat." Setelah berkata begitu, dia berjalan keluar bersama perawat yang ketakutan. "Wilma!" Dari belakang terdengar Yoga untuk pertama kalinya berteriak menyebut namanya dengan penuh amarah, disusul suara hiruk pikuk. Pria itu mengangkat Mia yang menangis kesakitan, berteriak memanggil dokter. Wilma tidak menoleh. Saat pemeriksaan berlangsung, dia bisa mendengar suara bisik-bisik perawat di lorong. "Astaga, gadis yang dibawa Pak Yoga itu terluka parah sekali!" "Pak Yoga hampir gila, menggendongnya ke mana-mana, minta darah, panggil dokter spesialis ... " "Belum pernah aku lihat Pak Yoga sekacau itu. Biasanya dia tenang banget, 'kan?" "Jelas itu cinta sejati ... " Wilma berbaring di alat pemeriksaan yang dingin, matanya memerah, bibirnya tergigit keras. Namun, air mata panas tetap mengalir dari sudut mata, membasahi pelipisnya. Beberapa hari berikutnya, Wilma menjalani perawatan sendirian. Yoga tampaknya marah karena dia menyerang Mia, dan tidak pernah menjenguknya sekali pun. Wilma tidak peduli. Begitu agak pulih, dia langsung mengurus prosedur kepulangan dari rumah sakit. Begitu keluar dari rumah sakit, dia menghubungi sahabat paling liar di lingkarannya dan menuju klub pribadi paling mewah. Sahabatnya menggoyangkan pinggulnya sambil berteriak di telinganya, "Wilma, kamu benar mau cerai dari Yoga? Kamu 'kan cinta banget sama dia ... " Wilma menenggak minuman keras, rasa panasnya menghangatkan tenggorokan, tetapi senyumnya makin liar. "Menurutmu aku ini orang seperti apa?" Sahabatnya berpikir sejenak. "Cantik, bebas, santai, bisa mencintai ... dan bisa melepaskan." "Itu dia." Wilma mengangkat sudut bibirnya, tersenyum cerah, tetapi rapuh. "Aku memang mencintainya, tapi kalau harus melepaskan ... aku bisa." Sahabatnya menatapnya lama. Dia mengangkat alis. "Kenapa?" Sahabatnya menghela napas. "Nggak apa-apa. Hanya saja ... sayang banget Yoga kehilangan kamu. Dengan sifatmu yang tegas dan nggak pernah menoleh ke belakang, jika suatu hari dia menyesal, sekalipun mati, sepertinya nggak akan bisa membuatmu kembali." Wilma tertawa, dengan nada menyindir diri sendiri. "Mati? Barangkali waktu kiamat baru aku akan melihat Yoga mati demi aku." "Sudahlah, jangan bahas hal yang merusak suasana. Ayo, panggil beberapa model pria yang bagus. Malam ini aku mau bersenang-senang!" Sahabatnya tertawa dan segera memanggil serombongan model pria bertubuh tinggi dan tampan, semuanya bertelanjang dada memamerkan otot. Wilma mengulurkan tangan, ujung jarinya hampir menyentuh perut salah satu dari mereka, ketika sebuah tangan panjang meraih pergelangan tangannya!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.